Jika mengacu pada pernyataan terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) semestinya tetap ditegakkan. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat seolah tak gentar dengan Covid-19. Lantas, apakah sudah waktunya TNI lebih diberikan porsi dan peran spesifik untuk mendisiplinkan masyarakat?
PinterPolitik.com
Tidak habis pikir. Mungkin begitulah yang ada di benak berbagai pihak yang secara sadar memahami bahwa Covid-19 saat ini masih mengancam, ketika melihat sebuah cuplikan viral saat pengunjung sebuah pusat perbelanjaan mengalami histeria massa. Seolah kebutuhan, keadaan, dan hasrat mereka untuk kembali beraktivitas normal adalah segalanya.
Meskipun setelah ditelusuri ada faktor diskon dari pusat perbelanjaan tersebut, yang menciptakan kerumunan orang secara masif, faktor lain berupa pengabaian protokol kesehatan dalam beraktivitas di tengah pandemi agaknya memang terjadi pada masyarakat Indonesia.
Fenomena yang sedikit menyentak namun dinilai tidak terlalu mengagetkan itu seolah menjadi akumulasi tidak efektifnya penerapan dan penegakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal tersebut telah tercermin di lingkungan masyarakat selama ini, di mana minimalisasi berbagai aktivitas hanya hangat di awal-awal sebelum kemudian akhirnya cenderung kembali normal seperti sedia kala.
Alih-alih mengarah kepada “new normal” di tengah tantangan peradaban berupa pandemi Covid-19, perilaku kolektif masyarakat Indonesia belakangan ini justru menyiratkan kembalinya “old normal”. Mulai dari aktivitas berkerumun melebihi batas jumlah orang yang ditentukan, mengabaikan social dan physical distancing, hingga tidak melengkapi diri dengan proteksi Covid-19.
Berangkat dari “bandel-nya” masyarakat ini, muncul salah satu opsi menarik tersendiri untuk mendisiplinkan masyarakat membandel tersebut dengan memberikan peran lebih bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) daripada sekadar menjadi komponen filter checkpoint PSBB.
Selain dikarenakan dapat dimanfaatkannya doktrin dan sifat alamiah kedisiplinan, pelibatan militer untuk mendisiplinkan masyarakat saat berbagai bentuk lockdown, baik penuh atau parsial, cukup efektif seperti apa yang terjadi di negara tetangga, Malaysia.
Negeri Jiran mengimplementasikan peran militer – yakni Angkatan Tentera Malaysia-(ATM) – secara jelas, tegas, dan komprehensif, sehingga menjadi salah satu faktor dan kecenderungan keadaan Movement Control Order (MCO) yang kondusif dan dipatuhi masyarakat.
Kemudian, mengacu pada korelasi dan kecenderungan tersebut, apakah Presiden Jokowi tampaknya akan lebih memaksimalkan peran TNI untuk menertibkan serta mendisiplinkan PSBB dan perilaku masyarakat di tengah semakin mengkhawatirkannya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia?
Kearifan Lokal yang Berbahaya
Selain faktor adanya bias psikologis di masyarakat terkait Covid-19 dan PSBB, sering berubahnya “wejangan” pemerintah juga menjadi pendorong tersendiri bagi abainya banyak kalangan di tanah air akan pandemi yang masih berlangsung ini.
Lebih lanjut, ABC Life Literacy Canada juga menyoroti pentingnya aspek literasi kesehatan atau health literacy masyarakat. Health literacy sendiri merupakan kemampuan seorang individu dalam menghimpun dan memahami informasi kesehatan untuk menetukan keputusan dan perilaku yang tepat, terutama di tengah pandemi.
Kurangnya health literacy akan mengarah pada rendahnya tanggung jawab secara sosial ketika harus mengubah atau menyesuaikan perilaku yang tidak aman bagi kesehatan. Juga, hal tersebut akan mengarah pada risiko mispersepsi atau mispeception risk yang disebut oleh Amy Gunia dalam “Millennials Aren’t Taking Coronavirus Seriously” sebagai kecenderungan untuk tetap melakukan mobilitas tinggi, beraktivitas di kerumunan, hingga tidak menerapkan upaya preventif dan poteksi diri.
Lalu, ABC Life Literacy Canada juga mendapati temuan bahwa sekitar setengah dari masyarakat Kanada belum memiliki health literacy yang memadai di kala pandemi. Jika membandingan temuan tersebut, plus poin penting Gunia sebelumnya, dengan tendensi health literacy dan fenomena kekinian di masyarakat tanah air, tampaknya Indonesia lebih unggul dibandingkan Kanada, namun dalam konteks yang cenderung negatif.
Health literacy di Indonesia sendiri dinilai tidak terlalu jauh berubah signifikan pada saat sebelum atau saat terjadi pandemi Covid-19. Hal ini kemudian mengarah kepada perilaku, yang oleh Leena Paakkari dalam “Covid-19: Health Literacy is an Underestimated Problem”, disebut menganggap remeh atau underestimate setiap berbagai upaya preventif dan intangible yang seharusnya dilakukan.
Berbagai latar belakang tersebut, termasuk underestimate yang Paakkari sebutkan di atas tampaknya tercermin secara tepat pada fenomena tren peningkatan berbagai aktivitas masyarakat belakangan ini, di mana kebanyakan tanpa mengindahkan pedoman PSBB dari pemerintah.
Bahkan di Indonesia, pada beberapa kasus terdapat kecenderungan ketika perilaku individual maupaun kolektif underestimate di dalam masyarakat ini direpresentasikan pula berupa sikap skeptis dan negatif kepada masyarakat lain yang tetap waspada dengan Covid-19, PSBB, serta social dan physical distancing.
Dengan bebagai kondisi dan fakta di masyarakat tersebut, langkah cepat dan lebih tegas harus ditempuh oleh Presiden Jokowi dengan kewenangannya mengingat kabar terbaru dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa dunia di ambang gelombang kedua Covid-19 yang lebih mematikan.
Memberikan kewenangan bagi aparat, dalam hal ini TNI, untuk mendisiplinkan pendekatan PSBB yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi sendiri, dinilai menjadi salah satu opsi terbaik jika di sisi lain pemerintah menginginkan perekonomian seminimal mungkin tetap berjalan.
Selain untuk mencegah memburuknya angka kasus pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya, indikasi keberhasilan opsi langkah cepat dan tegas dengan memaksimalkan peran militer di negara lain, dinilai dapat pula memulihkan legitimasi Presiden Jokowi dan pemerintah secara keseluruhan jika dilaksanakan dengan paripurna. Benarkah demikian?
Saatnya Membalik Situasi?
Karen Starr dalam “The Game-Changers: Exploring Radically Transformational Challenges Confronting Education Business Leadership” menggarisbawahi pentingnya game-changing decision atau keputusan yang mengubah stuasi di mana merupakan sebuah keputusan pemimpin dengan pendekatan serta indikasi hasil yang memiliki dampak signifikan pada konteks tertentu.
Starr menambahkan, game-changing decision memiliki tendensi konstruktif karena kunci dari keputusan tersebut berlandaskan ketegasan dan komprehensivitas.
Berdasarkan intisari tulisan Starr di atas, lebih memaksimalkan peran TNI secara komprehensif dalam pendisiplinan PSBB oleh Presiden Jokowi dinilai secara logis akan menajamkan pendekatan non-lockdown yang diinisiasinya itu.
Kemudian Katharine E. McGregor dalam publikasinya “History in Uniform: Military Ideology and The Construction of Indonesia’s Past” menyatakan bahwa militer, berdasarkan sejarah panjangnya, punya kekuatan dan efektivitas terhadap masyarakat Indonesia dalam aspek enforcement dan dukungan teknis lainnya atas berbagai kebijakan pemerintah.
McGregor menambahkan, efek dari peran militer tersebut bahkan sampai saat ini masih ada dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia mulai dari sisi historis, kultural, dan psikologis.
Berdasarkan temuan McGregor tersebut, memaksimalkan peran TNI secara proporsional dan komprehensif dinilai menjadi opsi terbaik mendukung disiplinnya perilaku masyarakat dalam mendukung kebijakan PSBB.
Terlebih, domainnya adalah fakta underestimate sebagian masyarakat terhadap PSBB, dapat membuat sebagian besar masyarakat lain yang peduli akan bahaya Covid-19 serta pentingnya upaya preventif boleh jadi akan mendukung kebijakan memaksimalkan peran TNI secara proporsional tersebut.
Jika mengacu pada efektivitas pelibatan militer dalam penegakan lockdown serta pendekatan serupa, seperti di Italia, Kanada, Malaysia hingga Afrika Selatan, tampaknya hal itu akan menjadi teladan tersendiri bagi Presiden Jokowi.
Lalu, Undang-Undang No. 34/2004 tentang TNI mengenai operasi militer selain perang juga akan memperkuat justifikasi aspek legal hukum lainnya terkait PSBB dalam memaksimalkan peran TNI dalam pendisiplinan masyarakat.
Lebih dalam maknanya, gagasan yang lebih tegas terhadap PSBB akan menjadi game-changing decision seperti yang disampaikan Starr sebelumnya di mana berpotensi memulihkan kepercayaan kepada ketegasan Presiden Jokowi.
Selain itu, semakin terkikisnya legitimasi Presiden Jokowi akibat kesan plin plan selama ini juga dinilai dapat direstorasi. Skeptisme publik juga bisa Jokowi balik menjadi apresiasi dan dukungan dari kalangan yang geram dengan tidak disiplinnya sebagian masyarakat Indonesia di masa PSBB.
Terlebih dukungan pendisiplinan PSBB juga dari tenaga medis sebagai “prajurit” Jokowi di garda terdepan saat ini yang sudah sangat kewalahan dan geram dengan sebagian masyarakat yang masih banyak membandel di kala pandemi Covid-19, yang bahkan beberapa waktu lalu diekspresikan dengan “Indonesia Terserah”.
Akan tetapi, wacana pelibatan TNI dalam mendisiplinkan PSBB sepertinya memiliki ganjalan besar tersendiri. Pasalnya, merujuk pada kritik keras wacana pendekatan “darurat sipil” yang beberapa waktu lalu sempat viral. Jika nantinya Presiden Jokowi melibatkan TNI untuk mendisiplinkan PSBB, kritik yang lebih keras, bahkan mengarah pada tudingan telah diterapkannya “darurat militer” bukan tidak mungkin dapat mengemuka.
Boleh jadi pula, kekhawatiran akan sentimen negatif atas pelibatan TNI tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi Presiden Jokowi. Apalagi, masyarakat Indonesia memiliki kenanganan pahit atas masifnya aktivitas TNI yang terjadi di era Orde Baru.
Bagaimanapun, tentu kita berharap Presiden Jokowi memiliki opsi terbaik dari yang terbaik untuk mendisiplinkan PSBB. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.