Pandemi Covid-19 sepertinya menyibak satu sisi menarik perihal kepemimpinan. Dari berbagai pemimpin negara yang ada, pemimpin perempuan terlihat menonjol dalam menangani pandemi. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
“Hasil kerja laki-laki dapat ditumpuk hingga menggunung dan ditakar dengan uang. Hasil kerja perempuan seperti tak kelihatan” – Katrine Marҫal dalam Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?
Di luar respons pro dan kontra, feminisme telah lama menjadi -isme keadilan yang menitikberatkan kritiknya pada bias gender. Melihat realitas sosial, seperti turun-temurunnya perempuan ditempatkan di dapur, sedangkan laki-laki mencari nafkah, mungkin banyak yang menyebutkan bahwa sangat sukar menghapus bias gender, karena konstruksi sosial semacam itu telah mendarah daging.
Akan tetapi, Anil Ananthaswamy dan Kate Douglas dalam tulisannya The Origins of Sexism: How Men Came to Rule 12,000 Years Ago tampaknya akan memberikan kita sudut pandang yang berbeda.
Mengutip pernyataan antropolog dan primatolog dari University of California, Sarah Hrdy, seksisme yang menjadi akar bias gender justru disebut sebagai budaya yang baru terjadi sejak 12 ribu tahun yang lalu. Dalam temuannya, ketika manusia masih hidup dengan cara berburu, sistem patriarki justru tidak terjadi karena posisi perempuan dan laki-laki adalah setara atau egaliter karena para perempuan pemburu prasejarah memiliki dukungan yang besar dari kelompok yang dibesarkannya.
Akan tetapi, sistem tersebut berubah sejak 12 ribu tahun yang lalu ketika manusia mulai hidup dengan cara bercocok tanam. Dengan munculnya pertanian dan manusia mulai menetap, kelompok-kelompok manusia mulai memperoleh sumber daya – seperti tanah dan hasil tanam – untuk dipertahankan, dan kekuasaan bergeser ke laki-laki yang secara fisik lebih kuat.
Ayah, anak laki-laki, paman, dan kakek mulai tinggal berdekatan, harta warisan kemudian diturunkan melalui garis laki-laki, yang mana ini berimbas pada terkikisnya otonomi perempuan. Pergeseran budaya tersebut kemudian melahirkan apa yang kita sebut sebagai patriarki saat ini.
Masalahnya, pergeseran tersebut telah bertransformasi menjadi semacam kutukan sosial. Bagaimana tidak, suka atau tidak perempuan telah menjadi gender marginal. Mengutip filsuf feminis Simone de Beauvoir, perempuan tidak ubahnya sebagai second sex.
Mulai dari urusan ekonomi, pendidikan, hingga politik, perempuan kerap dinilai kurang cakap karena domain-domain tersebut dinilai sebagai kepakaran laki-laki. Akan tetapi, pandemi Covid-19 saat ini tampaknya telah menjadi tamparan atas stereotip tersebut.
Lantas, tamparan seperti apa yang dimaksud?
Pemimpin Perempuan
Bill Bostock dalam tulisannya di Business Insider dengan mengutip studi Supriya Garikipati dari University of Liverpool menemukan bahwa negara yang dipimpin oleh perempuan, tampaknya telah diuntungkan dalam krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.
Garikipati misalnya mencontohkan negara yang dipimpin perempuan seperti Jerman, Denmark, Selandia Baru, Taiwan, Islandia, dan Finlandia, tercatat memiliki tingkat kematian Covid-19 yang rendah.
Berbeda dengan Garikipati, Kim Elsesser dalam tulisannya Are Female Leaders Statistically Better At Handling The Coronavirus Crisis? justru memberikan perspektif lain dalam kesuksesan pemimpin perempuan dalam menangani pandemi.
Menurutnya, komparasi secara statistik seperti tingkat kematian sebenarnya tidak relevan. Elsesser misalnya mencontohkan pemimpin-pemimpin laki-laki di Uni Eropa tidak memiliki perbedaan signifikan dengan pemimpin perempuan dalam hal tingkat kematian Covid-19.
Selain itu, tingkat kematian juga ditegaskan tidak dapat menjadi tolak ukur karena faktor yang memengaruhinya begitu kompleks. Mulai dari kepadatan populasi, aksesibilitas perawatan kesehatan, protokol pelaporan, hingga suhu dan tingkat kelembapan.
Kendati tidak memiliki perbedaan statistik yang berarti, Elsesser menegaskan bahwa terdapat perbedaan gaya kepemimpinan yang mencolok antara pemimpin perempuan dengan pemimpin laki-laki. Mengutip studi Profesor Emeritus Psikologi di Northwestern University, Alice Eagly, gaya kepemimpinan perempuan lebih condong bersifat kepemimpinan partisipatif dan relasional. Sementara, laki-laki lebih ke arah kepemimpinan otokratis yang lebih top-down.
Menurut Eagly, gaya partisipatif akan lebih produktif dalam krisis seperti saat ini. Eagly misalnya mencontohkan kasus di Amerika Serikat (AS), di mana presiden harus bekerja sama dengan gubernur, wali kota, sektor swasta, hingga para ilmuwan. Dengan gaya kepemimpinan top-down, kebijakan yang merangkul berbagai pihak untuk menghadapi pandemi dinilai lebih sukar diwujudkan.
Selain itu, perempuan yang lebih komunal dan lebih mudah berempati dari laki-laki, dinilai menjadi keunggulan tersendiri karena di tengah krisis, empati yang dirasakan publik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpin.
Kendati anasir-anasir yang ada tentunya tidak dapat digeneralisir, kita dapat menyimpulkan satu hal, yakni stereotip yang menyebutkan bahwa perempuan tidak memiliki kecakapan dalam memimpin tampaknya sudah tidak relevan untuk diyakini.
Oleh karenanya, alih-alih hanyut dalam dikotomi pemimpin perempuan dengan pemimpin laki-laki, sudah saatnya kedua gaya kepemimpinan ini dilebur untuk mewujudkan kebaikan bersama. Tidak hanya di level daerah maupun negara, melainkan juga di dunia internasional.
Konteks keterbelahan ini sedikit tidaknya pernah disinggung oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Februari lalu. Tuturnya, ketidakpastian global yang terjadi sejak 2019 berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh laki-laki.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini misalnya mencontohkan Brexit di Inggris, hingga perang dagang antara AS dan Tiongkok, yang juga berimbas pada pelemahan ekonomi global. Kendati terdengar sedikit mengada-ada bagi sebagian pihak, kritik Sri Mulyani ini sebenarnya telah lama menjadi diskursus hangat dalam dunia ekonomi.
Feminist Economics
Sebelum memahami konteks pernyataan Sri Mulyani, terlebih dahulu kita perlu memahami yang disebut dengan Homo Economicus atau Manusia Ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, untuk mempermudah dalam membuat kalkulasi ekonomi, manusia yang merupakan aktor ekonomi diasumsikan memiliki sifat seperti Homo Economicus, yakni bersifat rasional dan self-interest.
Contohnya, dengan mengasumsikan aktor ekonomi bersifat rasional dan self-interest, dapat dibuat kebijakan pemasaran dengan tidak menjual donat dengan harga Rp 7 ribu kepada masyarakat yang rata-rata daya belinya hanya Rp 4-5 ribu. Pasalnya, asumsi Homo Economicus menekankan bahwa manusia sejatinya tidak ingin merugi. Artinya, sukar dibayangkan bahwa aktor ekonomi akan memilih merugi Rp 2-3 ribu untuk membeli donat.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, asumsi ini getirnya justru dipahami sebagai realitas ekonomi itu sendiri. Artinya, aktor ekonomi benar-benar dipahami mestilah bersifat rasional dan self-interest. Oleh karenanya, realitas ekonomi kerap kali disamakan seperti hitungan matematis, ataupun berbagai permodelan seperti dalam ilmu eksakta.
Sebastian Dullien, Hansjörg Herr, dan Christian Kellermann dalam buku mereka yang berjudul Decent Capitalism, menyebutkan bahwa pendekatan ekonomi yang disebut dengan ekspektasi rasional ini setidaknya memiliki tiga masalah fundamental.
Pertama, tidak terdapat konsensus universal yang menentukan hubungan sebab-akibat (kausalitas) bagaimana ekonomi bekerja. Masalah ini kemudian kerap melahirkan diversitas jawaban dan penjelasan, misalnya dalam menerangkan mengapa krisis ekonomi terjadi. Pertanyaannya, jika pakar saja kesulitan melakukan analisis, lantas bagaimana dengan aktor ekonomi yang tidak memiliki kecakapan serupa, seperti pelaku ekonomi kecil?
Kedua, konsep ekspektasi rasional mengasumsikan aktor ekonomi tidak memerlukan waktu untuk memahami struktur-struktur fundamental perekonomian. Artinya, setiap perubahan yang ada diasumsikan dapat langsung dipahami. Ini tentunya sulit terjadi.
Ketiga, karena masa depan tidak diketahui, setiap penjelasan ekonomi selalu disandarkan pada pengalaman masa lalu. Dengan kata lain, ramalan kondisi ekonomi masa depan diasumsikan dapat dibuat berdasarkan pengalaman tersebut.
Secara satire, ketiga ekonom tersebut bahkan menegaskan bahwa diperlukan kebodohan pada tingkat yang cukup tinggi untuk menyebut bahwa semua aktor ekonomi dapat mengevaluasi struktur-struktur fundamental ekonomi dengan cara yang sama dan meramalkan masa depan sesuai dengan kenyataan.
Singkatnya, Homo Economicus yang mengasumsikan manusia sebagai aktor ekonomi yang rasional dan self-interest, dinilai tidak mencukupi sebagai landasan untuk menggambarkan realitas ekonomi.
Dewasa ini, kerapuhan asumsi Homo Economicus atau Manusia Ekonomi banyak datang dari feminist economics atau ekonomi feminis. Katrine Marҫal dalam bukunya Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? bahkan dengan gamblang menyebutkan bahwa Manusia Ekonomi yang selama ini dibahas, bukanlah seorang perempuan.
Ini adalah pernyataan satire Marҫal untuk menyebutkan bahwa Manusia Ekonomi tidak menggambarkan manusia secara seutuhnya. Menurut jurnalis asal Swedia ini, bayangan ekonom tentang Manusia Ekonomi hanya disematkan pada maskulinitas.
Mereka itu rasional, berjarak, objektif, kompetitif, sendirian, mandiri, egois, digerakkan oleh akal sehat, dan dalam proses menaklukkan dunia. Asumsi Homo Economicus, tidak ubahnya asumsi ideal yang tidak bertubuh, mereka adalah aktor ekonomi yang tidak bergender, sehingga dinilai dapat melakukan aktivitas yang sama.
Singkatnya, model-model ekonomi tidak mampu menghadirkan realitas yang utuh karena mereka lupa memasukkan variabel-variabel non-eksakta, seperti diskriminasi, bias gender, budaya marginalisasi perempuan, hingga sifat altruis manusia.
Kembali mengacu pada Sri Mulyani, apa yang hendak disebutkannya bertumpu pada kritik ekonomi feminis. Rasionalisasi laki-laki yang mengasumsikan dirinya hendak menaklukkan dunia, telah berkonsekuensi pada kebijakan-kebijakan destruktif, sehingga sulit mewujudkan kebaikan bersama.
Akan tetapi, perlu untuk ditekankan, maksud dari kurangnya peran perempuan di sini, tidak boleh hanya dipahami sebagai kehadiran perempuan dalam artian biologis, melainkan kehadiran kualitas atau pikiran yang memahami bahwa ekonomi ataupun realitas tidak seperti dalam penjelasan eksakta.
Kemudian, dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, belum terlihatnya sense of crisis seperti yang kerap diungkapkan oleh Presiden Jokowi, tampaknya bermuara pada belum hadirnya “kualitas perempuan”, karena gaya kepemimpinan maskulin yang justru jamak ditonjolkan.
Mari kita nantikan, sejauh mana pemerintahan di bawah Presiden Jokowi dapat menangani pandemi Covid-19 dengan baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)