Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Bukan Presiden Pendongeng?

jokowi bukan presiden pendongeng

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (tengah) mengundang anak-anak untuk berpartisipasi dalam sebuah acara yang bertemakan “Bermain, Berdendang, dan Berimajinasi” di Istana Merdeka, Jakarta, pada 20 Juli 2018 silam. (Foto: Biro Pers Setpres)

Dongeng dan cerita akan negeri yang jaya di masa lampau kerap mengisi kisah-kisah rakyat di banyak kebudayaan dan, bahkan, terkadang menjadi inspirasi di masa kini. Perlukah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) membuat kisah dan dongeng serupa?


PinterPolitik.com

We are, as a species, addicted to story. Even when the body goes to sleep, the mind stays up all night, telling itself stories.” – Jonathan Gottschall, The Storytelling Animal (2012)

Kisah, dongeng, cerita, atau story kerap mengisi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Setiap kebudayaan bahkan memiliki cerita-cerita rakyatnya sendiri yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi secara turun-temurun.

Sebagian besar cerita memiliki pola yang hampir sama. Kebanyakan dimulai dari satu sosok atau kelompok yang menghadapi sebuah persoalan atau lawan.

Dalam perjalanannya, tokoh utama ini akhirnya menghadapi sejumlah hambatan dalam upayanya untuk mencapai sebuah tujuan. Tidak jarang, tokoh-tokoh antagonis muncul untuk menghadang.

Kisah dalam seri komik dan film Avengers, misalnya, juga diisi oleh dua pihak yang saling bermusuhan, yakni antara para pahlawan super dan Thanos yang ingin membasmi separuh makhluk hidup di alam semesta. Namun, banyak dari penonton pastinya akan mendukung para pahlawan yang dianggap memperjuangkan kebaikan.

Dari sini, dapat dipahami bahwa kebanyakan kisah yang ada selalu diisi oleh narasi permusuhan antara sisi yang dianggap baik melawan sisi yang dianggap buruk atau jahat. Inilah mengapa, dalam naratologi – ilmu yang mempelajari struktur narasi, ada sebuah konsep yang disebut hero’s journey (petualangan sang pahlawan) dalam melalui berbagai tantangan.

Bukan tidak mungkin, petualangan sang hero ini juga dipahami oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam sejumlah pidatonya, misalnya, Jokowi seakan-akan membayangkan dirinya – bersama para pemimpin negara lainnya – menghadapi sebuah hambatan besar seperti perlambatan ekonomi global.

Lawannya pun beragam. Meski sering menggunakan analogi seperti Thanos ala Avengers atau the Winter ala seri Game of Thrones (2011-2019), Jokowi melihat ada ancaman bersama – mulai dari keputusan unilateral dalam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) hingga pandemi Covid-19 yang membayangi banyak negara.

Apa yang dilakukan Jokowi dalam pidatonya di berbagai forum dunia pada tahun 2018 dan 2019 silam itu sebenarnya masuk akal. Seperti kutipan di awal tulisan, kisah dan cerita selalu mengisi berbagai aspek kehidupan manusia.

Lantas, bagaimana dengan dimensi politik? Apakah narasi dalam kisah dan cerita juga memiliki kekuatan tersendiri dalam politik – khususnya politik internasional? Bila benar demikian, mengapa bisa?

Menyingkap Kekuatan Para Pendongeng

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, hampir setiap aspek kehidupan kita merupakan sebuah cerita. Bahkan, setiap individu kita merupakan karakter dalam kisah yang kita jalankan sendiri.

Bukan tidak mungkin, ini berlaku juga dalam dunia politik. Bila kisah sering diisi dengan konflik antara pihak baik dan pihak buruk, persaingan antarkubu juga menjadi esensi dari politik itu sendiri – di mana satu entitas berusaha memperebutkan kekuasaan.

Mengacu pada tulisan Linus Hagström dan Karl Gustafsson yang berjudul Narrative Power, narasi seperti kisah dan cerita merupakan bagian integral dari politik internasional. Hampir setiap aktor politik internasional membangun kisahnya sendiri-sendiri.

Kelompok-kelompok teroris yang merupakan aktor non-negara seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), misalnya, membangun sebuah kisah yang mana kelompok Muslim mengalami ketidakadilan akibat globalisasi yang dijalankan oleh tatanan dunia ala Barat. Alhasil, dengan kisah ini, ISIS mampu menarik simpati sejumlah orang yang akhirnya rela bergabung sebagai pasukan asing (foreign fighters).

Tidak hanya ISIS, negara pun membangun kisah mereka sendiri sebagai identitas mereka dalam mengarungi panggung politik internasional. Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi Jinping, misalnya, selalu mendasarkan kebijakan luar negerinya berdasarkan identitas mereka sebagai Kerajaan Tengah (Middle Kingdom).

Alhasil, berbagai manuver luar negeri yang dilakukan Tiongkok juga didasarkan pada kejayaan kerajaan di masa lalu – seperti klaim atas Laut China Selatan (LCS) yang didasarkan pada sejarah masa lalu. Tidak hanya LCS, negara Kerajaan Tengah tersebut juga mengklaim pakaian tradisional Korea (hanbok) sebagai bagian dari budaya mereka karena memiliki unsur pengaruh budaya Tiongkok di masa lampau (kurang lebih pada abad ke-7 M).

Selain Tiongkok, pembangunan cerita dan kisah seperti ini juga digunakan oleh AS dan Jepang di masa lampau. Pada abad ke-19 silam, misalnya, AS memiliki sebuah konsep yang disebut sebagai Manifest Destiny – yang mana di dalamnya mereka dianggap ditakdirkan untuk menduduki seluruh wilayah Amerika Utara.

Di Indonesia, Jepang pun membangun kisah yang dianggap propaganda kala era Perang Dunia II. Kisah itu disebut sebagai Gerakan 3A (Cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Pemimpin Asia) – membangun narasi bahwa Jepang adalah penyelamat Indonesia dari ancaman kolonisasi Barat.

Secara tidak langsung, kisah-kisah seperti inilah yang akhirnya membangun identitas dan citra nasional sebuah negara di panggung politik dunia. Bila mengacu pada perspektif konstruktivisme dalam studi hubungan internasional, masyarakat internasional dijalankan berdasarkan peran dan identitas yang dibangun oleh mereka sendiri.

Bila kisah ini akhirnya mampu membangun peran negara-negara tersebut di panggung politik dunia, lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memiliki kisah, cerita, dan dongeng yang akhirnya mampu menginspirasi para pengambil kebijakan luar negeri kita?

Mencari Presiden Pendongeng

Dari presiden ke presiden, Indonesia sebenarnya telah membangun narasi yang akhirnya mengisi peran dan identitas nasional di panggung politik internasional. Identitas inilah yang akhirnya turut mengisi arah politik luar negeri Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat internasional.

Presiden Soekarno yang memimpin di masa awal-awal kelahiran Indonesia sebagai negara-bangsa, misalnya, menempatkan negara kepulauan ini sebagai kekuatan anti-imperialisme. Di tengah persaingan antara Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet, mengacu pada tulisan Ardhitya Yeremia yang berjudul Sukarno and Colonialism, Soekarno berusaha menampilkan Indonesia sebagai negara yang tidak bisa dipengaruhi oleh kedua belah pihak.

Selain Soekarno, Soeharto pun membangun narasi dan kisahnya sendiri pasca-Peristiwa 1965 – yang mana Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai aktor pemberontakan. Dalam banyak narasi sejarah, Soeharto akhirnya dilihat sebagai pahlawan yang memberantas komunisme di Indonesia – terbawa pada arah kebijakan luar negeri Indonesia yang anti-komunis.

Lantas, bagaimana dengan pembangunan kisah oleh para presiden pasca-Orde Baru? Setelah Soeharto lengser, Indonesia dianggap membangun narasi dan citra bahwa negara ini adalah negara yang mendukung prinsip-prinsip demokrasi – seperti pluralisme yang didorong Abdurrahman Wahid (Gus Dur), anggapan soal penegakan konstitusi oleh Megawati Soekarnoputri, hingga perdamaian internasional oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun, narasi Indonesia sebagai promotor demokrasi mengalami perubahan di bawah pemerintahan Jokowi. Anna Grzywacz dalam tulisannya yang berjudul Democracy in Indonesian Strategic Narratives menilai muncul inkoherensi akan narasi tersebut dengan anggapan soal kemunduran demokrasi yang terjadi saat ini.

Ini yang akhirnya membuat Indonesia kesulitan untuk mendapatkan apresiasi yang sama dari negara-negara Barat seperti pada era-era pemerintahan sebelumnya. Alhasil, bukan tidak mungkin minimnya kisah kuat yang mendasari politik luar negeri Indonesia membuat negara ini kehilangan arah. 

Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa bahkan menilai Indonesia kini kerap tidak punya posisi dalam memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi di panggung politik internasional. Seakan-akan, Indonesia tidak lagi menjadi “pemain utama” dalam kisahnya sendiri.

Lantas, siapakah sosok yang bisa membangun kisah dan dongeng akan posisi dan peran Indonesia di panggung internasional? Tentu, ini tidak bisa dijawab secara pasti.

Namun, apabila sejarah berjalan berbeda pada tahun 2019 silam – kala Pemilihan Presiden (Pilpres) digelar, bukan tidak mungkin narasi dan kisah soal ke-Indonesia-an akan terbangun. Terlepas dari kubu yang mana yang lebih baik, jargon dan narasi nasionalisme ala Prabowo Subianto – mulai dari “Make Indonesia Great Again” hingga penguatan pertahanan nasional – bukan tidak mungkin turut membangun kisah dan cerita soal Indonesia di masa mendatang.

Lagipula, dengan cerita yang tepat, masyarakat pun akan merasa lebih mengenal siapa diri mereka sebagai sebuah negara-bangsa di mata internasional. Aspirasi ini pula yang akhirnya dapat menjadi arahan bagi para pengambil kebijakan dalam politik luar negeri Indonesia.

Seperti kutipan tulisan Jonathan Gottschall di awal tulisan ini, kita semua selalu suka dengan kisah dan cerita – bahkan termasuk saat tengah tertidur dan bermimpi. Jadi, kisah yang seperti apa yang ingin ditulis oleh Indonesia saat ini? (A43)


Exit mobile version