Sejauh ini, posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kerap dianggap bersebrangan. Namun, semua berubah setelah kunjungan Jokowi untuk meninjau persiapan Formula E yang digarap oleh Anies. Lantas, mungkinkah pertemuan tersebut dapat dianggap sebagai simbol Jokowi membuka pintu buat Anies untuk dapat dukungannya di 2024?
Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam rangka peninjauan persiapan Jakarta menjadi tuan rumah Formula E mendapat banyak sorotan publik.
Pertemuan ini dianggap sebagai pertemuan yang tidak biasa oleh sebagian orang. Hal ini dikarenakan dalam beberapa pekan terakhir, Jokowi sering memperlihatkan pertemuan dengan beberapa tokoh politik yang digadang-gadang akan menjadi calon pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Tokoh-tokoh yang dimaksud antara lain, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan yang terakhir adalah Anies. Pertemuan Jokowi dengan sejumlah tokoh tersebut digadang-gadang menjadi semacam isyarat politik dukungan yang akan diberikan saat kompetisi di 2024.
Ketiga orang yang digadang menjadi kandidat, sering kali mendominasi urutan teratas lembaga survei politik jelang Pilpres 2024. Artinya, kehadiran mereka saat mendampingi Jokowi di berbagai kegiatan bisa bermakna politis, semacam tanda membuka ruang komunikasi politik.
Lain dibandingkan Prabowo dan Ganjar, Anies sejauh ini masuk dalam kategori pesaing langsung Jokowi (direct competitor). Hal ini ditengarai faktor perubahan angin politik pasca masuknya kelompok yang dianggap dapat menjadi oposisi seperti Prabowo dan Sandiaga Uno dalam kabinet.
Kelompok yang tidak sejalan dengan Jokowi akibat Pilpres 2019, tidak terkanalisasi sehingga Anies mendapat angin dukungan mereka. Anies dinilai jadi sosok yang dapat diandalkan untuk bersaing dengan Jokowi, bahkan seolah terjadi pembelahan dua matahari, yaitu Jokowi dan Anies.
Berlainan dengan pandangan ini, Partai Gerindra yang merupakan partai pendukung Anies Baswedan saat Pemilihan Gubernur 2017, melihat pertemuan Jokowi dan Anies merupakan sesuatu yang biasa saja.
Melalui Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Partai Gerindra, dikatakan bahwa kunjungan Jokowi merupakan bentuk dukungan agar ajang balap mobil listrik itu berjalan lancar. Jokowi sebagai kepala negara tentu ingin acara-acara internasional yang diadakan di Indonesia berlangsung lancar dan sukses.
Pernyataan ini seolah ingin memperlihatkan bahwa penyelenggaraan Formula E yang merupakan proyek Gubernur DKI, dan dikunjungi oleh Presiden merupakan peristiwa yang normatif dan normal terjadi, sebatas hubungan struktural biasa antara presiden dan gubernur.
Namun, dalam politik sulit melihat peristiwa terjadi sebatas fenomena yang normatif belaka, seolah pasti ada sesuatu di balik itu. Lantas, melihat gejala-gejala politik yang terjadi, maka fenomena apa yang dapat dibaca di balik kunjungan tersebut?
Jokowi Ingin Ambil Peran?
Dhimam Abror Djuraid dalam tulisannya Anies dan Jokowi, meminjam ucapan presiden ke-32 Amerika Serikat (AS), Franklin Delano Roosevelt, mengatakan seolah tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan dalam politik. Jika pun ada, maka yang dianggap kebetulan sejatinya telah direncanakan sebelumnya.
Djuraid menilai Anies dan Jokowi sebagai matahari kembar, yang satu matahari di Balai Kota DKI dan satunya lagi berada di Istana Negara. Kedua matahari itu saling bersaing, atau banyak yang menyebut saling terlibat perang dingin.
Setelah Anies berhasil menjadi Gubernur DKI, seolah menjadi front runner atau pelari terdepan pada perhelatan Pilpres 2024. Serangkaian kabar ini wajar dalam politik, karena politik penuh dengan rumor dan spekulasi. Bahkan bukan politik jika tidak lekat dengan rumor dan spekulasi. Selain itu, politik juga dimaknai dengan simbol dan interpretasi.
Politik adalah seni dari berbagai kemungkinan, the art of possibility. Terlihat saat Anies dan Jokowi bertemu di track sirkuit Formula E, yang pertemuan ini tetap dianggap sebagai kejutan politik penting.
Jika mengacu pada konsep tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, maka dapat dibaca bahwa Jokowi juga ingin memainkan peran dalam perhelatan Formula E di Jakarta, tentunya karena ini adalah event internasional.
Peran yang dimaksud tentunya bagaimana Jokowi mampu mengakumulasi persepsi positif terhadap event yang dianggap sukses. Peristiwa semacam ini juga pernah dilakukan pada perhelatan MotoGP di Mandalika, Lombok yang menjadi catatan proyek Jokowi yang berhasil dilaksanakan.
Tidak hanya Jokowi, bagi Anies berhasilnya Formula E juga menjadi kredit positif bagi dirinya. Seolah kedua matahari ini dipertemukan oleh kepentingan yang sama. Meski berbeda tantangan yang dihadapi oleh Anies dibanding Jokowi.
Konsep dramaturgi Erving Goffman, menginspirasi pendekatan politik yang dapat menjadi pisau analisis kita melihat fenomena di atas. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan pilihan rasional elite politik.
Menariknya, pendekatan rasional ini lahir dari sebuah fenomena politik yang disebut dengan perilaku politik ala selebritis. Sebuah perilaku politik yang memotret maraknya kalangan politik bermanuver dengan menjadikan pencitraan sebagai komoditas politiknya.
Namun, pencitraan yang dibentuk dalam konsep ini bukan hanya media promosi. Meminjam konsep ilmuan politik Lipset dan Rokkan, terdapat asumsi pilihan rasionalitas elite untuk mengambil kebijakan merupakan kalkulasi untung-rugi.
Dalam konteks kunjungan Jokowi, dapat dimaknai bahwa pilihan Jokowi untuk ikut Formula E merupakan pilihan rasional untuk mendapat simpati publik.
Selain sekadar kepentingan citra Jokowi, perlu juga kiranya membaca kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi di balik peristiwa pertemuan ini. Berbagai pihak misalnya menilai pertemuan ini sebagai sinyal politik, yakni restu Jokowi untuk Anies di Pilpres 2024.
Lantas, jika kemungkinan itu terjadi, maka seperti apa efek domino dari tafsiran bahwa Jokowi akan mendukung Anies?
Membaca Kemungkinan Poros
Meski dianggap berseberangan dengan Jokowi, sikap Anies yang tidak pernah melawan secara frontal, bahkan sebaliknya Anies selalu kompromistis, akan menjadi kalkulasi tersendiri bagi Jokowi untuk berpaling mendukung Anies.
Oleh karenanya, Anies punya peluang besar menjadi tokoh baru di 2024 mendatang. Jokowi tentu tahu akan hal itu, dan dia tidak ingin melawan siklus. Jokowi tampaknya memilih untuk bersikap akomodatif terhadap kemunculan siklus baru itu.
Jika benar terjadi, maka ramalan yang pernah disajikan oleh Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), yang memberikan gambaran tiga skenario yang mungkin terjadi pada Pilpres 2024 sekiranya dapat berubah.
Menurut Saiful Mujani, skenario pasangan calon pertama adalah duet Prabowo dengan Puan, kemudian Anies dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan terakhir Ganjar Pranowo berpasangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Komposisi di atas diambil berdasarkan survei persaingan ketat yang muncul ketika dilakukan head to head antar beberapa pasangan berdasarkan tiga partai besar pemilik suara terbanyak, yakni PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Golkar. Saiful melihat ketiga partai tersebut akan menjadi poros utama koalisi dalam Pilpres 2024.
Jika terjadi dukungan Jokowi kepada Anies, maka suara pendukung Jokowi bisa saja mengarah pada komposisi baru antara Anies dengan Airlangga. Ini poros lain yang bisa terbentuk atas pengaruh Jokowi.
Dan jika skenario itu berubah, maka duet Ganjar-Airlangga kemungkinan akan digantikan dengan duet Ganjar-AHY.
Kemudian poros ketiga mungkin saja tidak berubah, yaitu Prabowo-Puan. Kemungkinan narasi tentang Perjanjian Batu Tulis jilid II akan menjadi pemicu pasangan ini bisa terbentuk. Tentunya yang akan menjadi skenario utama adalah Prabowo sebagai calon presiden.
Perubahan ini sebenarnya ingin perlihatkan bahwa politik adalah seni kemungkinan, dan siapa saja dapat berinterpretasi berdasarkan gejala-gejala politik yang telah tercipta. Tidak ada yang mengetahui seperti apa yang akan terjadi ke depan, tapi satu yang pasti, kontestasi 2024 akan memunculkan drama-drama politik baru yang punya preseden bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. (I76)