Nama Menteri BUMN Erick Thohir semakin melambung di antara elite politik dan pemerintahan Indonesia setelah berbagai posisi vital sukses ditunaikan dan terus dipercayakan kepadanya. Meskipun sempat diterpa intrik pada jabatannya sebagai menteri, kepalang signifikannya kepercayaan seorang Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan tak sedikit diimpresikan sebagai pemberian jam terbang bagi Erick untuk sebuah rencana politik tertentu, dalam hal ini pesta demokrasi 2024. Lantas, sejauh mana kapasitas mantan bos Inter Milan itu dapat berbicara banyak pada konstelasi perpolitikan di tanah air?
Tak ada kata terlalu dini agaknya untuk memproyeksikan sosok terbaik pemimpin bangsa pada masa yang akan datang. Terlebih, perjalanan untuk mencapai singgasana itu kental dengan perencanaan dan kalkulasi politik tertentu.
Munculnya berbagai survei belakangan ini terkait elektabilitas nama yang pantas menjadi suksesor Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendatang, menjadi penguat narasi di atas. Nama-nama seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, hingga Ridwan Kamil agaknya membuat hasrat dan ekspektasi publik akan kepemimpinan yang lebih progresif di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tak bisa tertahankan.
Namun ada satu nama menarik yang dinilai terus menyiratkan potensi kejutan tersendiri seiring bergulirnya dinamika politik dan pemerintahan republik. Ya, nama itu ialah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Perlahan tapi pasti, berbagai kepercayaan yang diembannya dinilai dengan sendirinya menyingkap potensi tersembunyi kapabilitas Erick sebagai seorang yang diperhitungkan, termasuk di 2024.
Bahkan pada awal pekan ini, media mancanegara asal Singapura, The Straits Times secara khusus menjuluki Erick sebagai the man to watch in Indonesian politics atau sosok yang patut dilihat (kapasitasnya) dalam perpolitikan Indonesia.
Yang menarik dan dikutip secara spesifik ialah, bahwa sangat diandalkannya Erick dalam beberapa posisi esensial saat ini merupakan pemberian gelanggang dari Presiden Jokowi untuk mengasah kemampuan Erick dalam berinteraksi dengan para pembuat kebijakan lintas sektoral, pemimpin daerah, dan partai politik.
Sorotan media dengan kaliber mumpuni itu memiliki signifikansi tersendiri, apalagi secara eksklusif terkait dengan korelasi sosok teknokrat, politik, dan ekspektasi pemimpin di masa yang akan datang di negara terbesar kawasan regional.
Kajian mengenai teknokrat dan dinamika politik di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, dikaji secara khusus oleh Robert Milne dalam Technocrats and Politics in ASEAN Countries.
Mengutip John J. MacDougall beserta dinamika yang ada di Indonesia sejak Orde Lama, Milne mengklasifikasikan karakteristik “tradisi” teknokrat yang mengampu jabatan pemerintahan, menteri pada khususnya, yakni sosok yang generalist dan laboratist.
Sosok teknokrat laboratist dikatakan Milne hanya sebatas mengampu dan bertidak sebagai “action men” atau bisa dikatakan murni hanya sekadar melaksanakan tupoksinya secara formal. Sementara teknokrat generalists merupakan sosok di mana dirinya secara personal maupun tupoksi yang diampu beserta kebijakannya tak bisa dilepaskan dengan pertimbangan dan konstituensi politik tertentu yang substansial.
Dengan menggunakan postulat Milne di atas beserta sari dari The Staits Times sebelumnya, tampak cukup relevan jika mengatakan bahwa Presiden Jokowi berusaha membuat sosok Erick menjadi seorang generalist dengan berbagai posisi yang dibebankan di pundak eks pemilik klub sepak bola D.C. United itu.
Terlepas dari penempatan Erick oleh Presiden Jokowi adalah murni pendelegasian berbasis urgensi atau terdapat tujuan politis tertentu, yang jelas – seperti yang pernah disampaikan oleh sahabatnya Sandiaga Uno – Erick yang sekarang jelas berbeda dengan sosoknya dahulu ketika dianggap sudah mengakuisisi sebuah peningkatan kemampuan berpolitik yang signifikan.
Lantas, kalaupun pun memang salah satu hajat ganda Presiden Jokowi ialah untuk mengasah skill politik Erick demi menatap kontestasi 2024, sejauh mana proyeksi “modal” Menteri BUMN itu? Serta bagaimana dengan afiliasi politiknya, mengingat partai politik (parpol) Jokowi sendiri, yakni PDIP, dinilai telah memiliki sejumlah kandidat?
“Kuda Hitam” Paling Menjanjikan?
Richard D. French dalam Political Capital menjabarkan bahwa kalkulasi jangka penjang serta berkesinambungan terhadap modal politik, terutama atas aset-aset potensial yang dimiliki aktor politik menjadi sangat penting. Frech mengedepankan pertimbangan variabel siklus ekspektasi serta siklus pengaruh dalam pertimbangan modal secara politik dari setiap aktor yang ada di dalamnya.
Ide pokok tulisan French tersebut cukup tepat untuk mendeskripsikan dan menimbang modal politik yang dimiliki oleh Erick Thohir terkait dengan berbagai posisi di level elite politik dan pemerintahan yang diterimanya.
Dan ketika modal politik yang French katakan ditentukan oleh variabel siklus ekspektasi serta pengaruh dan direfleksikannya pada peta perpolitikan Indonesia, cukup tepat pula menerjemahkannya pada variabel konkret “kearifan lokal” modal politik yang sejauh ini utamanya modal tersebut mengakomodasi ekspektasi dan pengaruh kaum nasionalis, agama, serta insan bisnis.
Pada kasus Erick, modal politiknya untuk mencakup kalangan nasionalis dan insan bisnis dinilai memiliki prospek yang cerah. Prestasinya ketika sukses menunaikan amanah sebagai Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 lalu menjadi penasbihnya.
Kala itu, Erick dianggap memiliki andil besar dalam menyatukan dan mengakomodasi berbagai parpol beraliran nasionalis seperti PDIP, Golkar, hingga Nasdem selama kampanye. Hasilnya fantastis, Jokowi kembali ke singgasana Istana.
Sementara modal politiknya pada kepentingan korporasi dan bisnis tentu tidak diragukan lagi. Erick sendiri secara personal dinilai memiliki bakat bisnis yang inovatif dan telah tajam terasah jauh sebelum duduk di kursi Menteri BUMN. Sebut saja saat mendirikan dan mengembangkan Mahaka Group, serta berekspansi dengan kepemilikan saham pada klub sepak bola seperti D.C. United hingga Inter Milan.
Tak hanya itu, gagasan trengginas reformasi BUMN ala Erick saat ini juga mendapat dukungan positif dari kalangan bisnis secara umum terhadap ekspektasi perbaikan supply chain di Indonesia.
Namun di sisi lain, cakupan kalangan agamis
menjadi kelemahan Erick. Meski dalam barisan pendukung Jokowi-Ma’ruf terdapat partai berhaluan agamis, soliditas yang ada dari kalangan tersebut dinilai lebih dikarenakan keberadaan sosok Ma’ruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden yang merepresentasikan mereka. Selain itu, cukup samar pula tindak tanduk Erick secara personal yang mengarah pada interaksi maupun konsolidasi dengan kalangan agamis selama ini.
Meski demikian, kelemahan pada satu aspek itu tak lantas menegasikan modal politik yang telah dimiliki Erick saat ini. Terlebih penggunaan politik identitas yang semakin disadari publik berdampak tidak konstruktif. Hal senada diutarakan Guru Besar dan cendikiawan muslim dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra yang memperkirakan utilisasi politik identitas ke depannya tidak akan efektif.
Lalu, ketika modal politik itu terus meningkat berkat kepercayaan yang diberikan Presiden Jokowi kepadanya, apakah afiliasi politik Erick akan berakhir di pangkuan PDIP?
Hanya Sebatas Kartu As Jokowi?
Anthony Russo dalam The Three Best Qualities Your Right-Hand Person Can Have mengatakan bahwa setiap pemimpin besar tentu memiliki orang kepercayaan yang spesifik. Orang kepercayaan itu kemudian diistilahkan sebagai the right-hand man.
Khusus bagi Erick, tampaknya right-hand man bukanlah satu-satunya titel yang melekat. Erick bahkan dinilai juga merupakan “kartu as” bagi Presiden Jokowi pada berbagai kebijakan strategis, termasuk di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.
Jabatan teranyar sebagai Ketua Tim Pemulihan Ekonomi Nasional menjadi klimaks sekaligus memastikan bahwa Erick adalah “kartu as” Presiden Jokowi yang selalu dikeluarkan pada situasi genting. Tak heran kemudian dengan sendirinya narasi terkonstruksi bahwa Jokowi seolah membuka jalan politik bagi Erick, khususnya menyongsong 2024 mulai bermunculan.
Sayangnya, ketika mengaitkan korelasi afiliasi politik Erick, Presiden Jokowi, serta tentunya PDIP, kecenderungan yang ada agaknya sedikit kontraproduktif.
Ya, meskipun Jokowi, sebagai orang yang berjasa mengasah skill politik Erick, adalah kader PDIP, kalkulasi prerogatif Megawati Soekarnoputri tampaknya menjadi satu ganjalan tersendiri bagi sang Menteri BUMN, ketika tendensi kandidat 2024 dari partai banteng juga mengarah pada Puan Maharani.
Namun demikian, tingginya dependensi Presiden Jokowi terhadap kapabilitas profesional Erick selama ini dinilai tidak akan bersifat satu arah begitu saja. Kerja keras sebagai Ketua Tim Pemenangan pada Pilpres lalu yang diganjar jabatan Menteri BUMN tentu menjadi penegasnya. Tetapi, konteks bagaimana bentuk konkret timbal balik atas “jasa” Erick sendiri di kemudian hari masih menjadi misteri.
Bagaimanapun, tingginya kepercayaan Presiden Jokowi pada Erick bisa saja dianggap sebagai sebuah pembukaan jalan bagi sang Menteri. Akan tetapi, ketika berbicara konteks afiliasi politik atas probabilitas majunya Erick di Pilpres 2024 sangat tergantung dari kalkulasi politik yang terus bergulir dinamis. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.