Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyebutkan bahwa negaranya akan segera bergabung kembali dengan dunia internasional setelah dirinya dilantik nanti. Perubahan kebijakan luar negeri AS bukan tidak mungkin akan terjadi dan berdampak pada respons pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia.
Bagi penggemar franchise Star Wars, istilah “Jedi” pastilah bukan hal yang asing lagi dan sudah sering terdengar. Istilah itu biasa disematkan pada sebuah ordo yang bertugas untuk menjaga perdamaian di galaksi.
Biasanya, seorang Jedi memiliki kemampuan khusus guna menjaga stabilitas dan perdamaian tersebut. Mereka dapat menggunakan Force untuk mengalahkan siapa saja yang mengancam ketertiban itu.
Selain dapat mengendalikan Force, Jedi juga biasa dikenal dengan kebijaksanaan yang dimilikinya. Nilai-nilai moral – seperti kemurnian pikiran – merupakan salah satu kunci utama dari Jedi.
Dengan peran yang besar dalam perdamaian galaksi, Jedi tentunya ditunggu-tunggu oleh banyak orang – apalagi ketika peperangan tengah terjadi antara Empire dan Rebel Alliance. Situasi diperburuk ketika Empire ini dipimpin oleh mereka yang dikenal dekat dengan dark side.
Alhasil, ketika seorang Jedi – yakni Luke Skywalker – muncul untuk mengalahkan Empire, masyarakat pun disebut menyambut gembira. Bahkan, mereka merayakan kemenangan Luke dan Rebel Alliance di film Star Wars: Episode VI – Return of the Jedi (1983).
Suasana seperti ini sepertinya juga terasa oleh sejumlah orang di dunia nyata, khususnya di Amerika Serikat (AS). Setelah Joe Biden dikabarkan keluar sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2020, sejumlah kelompok di AS pun turut merayakan kekalahan Donald Trump.
Bila film Star Wars mengakhiri sebuah trilogi, terpilihnya Biden di AS bisa jadi menandakan perubahan bagi kebijakan-kebijakan pemerintah negara Paman Sam tersebut, termasuk kebijakan luar negeri. Bukan tidak mungkin, perubahan kebijakan luar negeri ini akan berdampak pada dinamika politik internasional di sejumlah kawasan, seperti Eropa Barat dan Asia Timur.
Beberapa waktu lalu, misalnya, Biden mengunggah cuitan di akun Twitter-nya yang mengatakan bahwa pemerintahannya akan kembali mempersatukan AS dan negara-negara lain sebagai komunitas internasional.
Selain itu, politikus Partai Demokrat AS itu juga mengumumkan sejumlah pakar dan pejabat yang akan membidangi politik luar negeri – mulai dari Antony Blinken sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Jake Sullivan sebagai penasihat Keamanan Nasional (NSA), hingga John Kerry sebagai Utusan Khusus Presiden AS untuk Perubahan Iklim.
Sebagai negara adidaya, tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan kepemimpinan dan formasi dalam politik luar negeri AS ini akan berpengaruh pada hubungan negara Paman Sam tersebut dengan negara-negara lainnya, termasuk dengan Indonesia. Boleh jadi, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga harus mempersiapkan strategi yang berbeda ketika menghadapi pemerintahan Biden.
Lantas, perubahan apa yang dapat terjadi di bidang politik luar negeri di bawah pemerintahan Biden di AS? Selain itu, bagaimana dampak pada dan respons dari pemerintahan Jokowi di Indonesia?
Perang Dingin Baru?
Bila melihat susunan pejabat dan ahli yang ditunjuk Biden guna menyusun kebijakan luar negerinya, sejumlah pihak pasti menilai akan adanya kesamaan arah politik luar negeri dengan pemerintahan Barack Obama. Calon Menlu AS Blinken, misalnya, merupakan Wakil Menlu di era presiden AS ke-44 itu.
Alhasil, prediksi akan perbedaan arah kebijakan luar negeri antara Biden dan Trump dinilai akan mencolok. Apalagi, nama-nama tersebut merupakan sosok-sosok yang biasa disebut sebagai the Blob – istilah yang digunakan oleh lingkaran tradisional atas ahli dan pengambil kebijakan luar negeri – oleh Stephen M. Walt.
The Blob sendiri merupakan kelompok yang selama ini disebut-sebut dilawan oleh Presiden Trump dalam pemerintahannya. Tujuannya adalah agar dapat menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih luwes – yakni meninggalkan “tanggung jawab” AS terhadap negara-negara lain, seperti Uni Eropa dan sejumlah negara di Asia Timur.
Meski the Blob ini akhirnya dinilai kembali dalam tampuk pengambilan keputusan, John J. Mearsheimer – profesor Hubungan Internasional (HI) di University of Chicago, AS – menilai bahwa Republik Rakyat Tiongkok akan tetap menjadi fokus utama dari politik luar negeri Biden.
Asumsi ini pun diungkapkan oleh Mearsheimer dalam sejumlah wawancara dan podcast. Salah satunya dalam sebuah podcast bertajuk Inside Politics milik Irish Times.
Menurut profesor HI tersebut, the Blob akan menghadapi dunia yang berbeda dengan pengalaman mereka di era Obama, yakni dunia yang mengarah pada dunia yang multipolar – dengan munculnya kekuatan baru seperti Tiongkok. Pada era Obama, dunia justru masih dikuasai satu kekuatan (unipolar), yakni oleh AS.
Maka dari itu, mengacu pada penjelasan Mearsheimer, Tiongkok akan tetap menjadi fokus utama dari politik luar negeri Biden – yakni untuk mengimbangi (balancing)kekuatan negara Tirai Bambu itu. Mirip dengan era pemerintahan Trump, persaingan akan tetap mengisi hubungan kedua negara ini – dengan kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara sebagai kawasan yang penting.
Asumsi ini juga sejalan dengan konsep lain yang disebutkan oleh Mearsheimer, yakni offshore balancing – pengimbangan kekuatan melalui aliansi dengan negara-negara kawasan setempat seperti Jepang dan Filipina. Oleh sebab itu, Biden diprediksi akan kembali menguatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara yang ada di kawasan-kawasan tersebut.
Bahkan, Mearsheimer juga menyebutkan bahwa situasi geopolitik di masa Biden nantinya bisa saja menjadi Perang Dingin Baru. Terdapat dua jenis kompetisi yang akan terjadi antara Tiongkok dan AS, yakni kompetisi keamanan dan kompetisi ekonomi.
Bila apa yang dibilang Mearsheimer ini benar terjadi di masa mendatang, lantas, apa alasan Biden untuk tetap mengimbangi kekuatan Tiongkok – seperti yang dilakukan Trump sebelumnya? Kemudian, bagaimana pemerintahan Jokowi akan merespons politik luar negeri AS tersebut?
Tantangan Biden?
Apa yang dijelaskan oleh Mearsheimer ini sejalan dengan pendekatan realisme ofensif dalam HI yang dicetuskannya. Dalam pendekatan ini, negara dianggap akan selalu mencari kekuatan lebih banyak guna menjadi hegemon – sehingga keamanan negara tersebut dapat terjamin di tengah situasi politik dunia yang merupakan sebuah anarki.
Bukan tidak mungkin, AS akan berusaha menjaga hegemoninya di berbagai bidang. Terkait hegemoni dolar, misalnya, pemerintah negeri Paman Sam juga beberapa kali berupaya menghalau bangkitnya mata uang lain – yakni Yuan atau Renminbi (RMB).
Maka dari itu, menjadi wajar apabila pemerintahan Biden akan tetap menjadikan Tiongkok sebagai fokus utama. Ini sejalan juga dengan eksepsionalisme yang dianut oleh AS.
Dalam sebuah buku yang berjudul Exceptional, mantan Wakil Presiden AS Dick Cheney dan putrinya, Liz Cheney, menjelaskan bahwa AS merasa negara mereka memainkan peran penting dalam sejarah – serta masa kini dan masa mendatang – dalam politik dunia. Negara Paman Sam selalu memiliki peran sebagai pelindung kebebasan dan demokrasi.
Eksepsionalisme ala AS ini juga mulai terlihat dari sejumlah retorika yang disampaikan oleh Biden. Salah satu rencananya untuk kembali mempromosikan demokrasi adalah dengan mengajak negara-negara demokrasi lainnya untuk membentuk sebuah forum multilateral yang bertajuk “Summit for Democracy”.
Meski terdengar indah, tidak semua negara bisa mengikuti apa yang dijadikan panduan oleh AS. Mearsheimer sendiri dalam podcast yang telah disebutkan sebelumnya mengakui bahwa sering kali negara-negara lain akan merasa terganggu kedaulatannya ketika AS mencampuri urusan politik negara-negara lain.
Hal yang sama bukan tidak mungkin berlaku juga untuk pemerintahan Jokowi di Indonesia. Boleh jadi, ambisi dan peran idealis ala AS ini akan menjadi tantangan Biden untuk merayu Indonesia.
Indonesia sendiri – tidak dapat dipungkiri – merupakan negara kunci untuk menggandeng kawasan Asia Tenggara guna menghalau Tiongkok. Di sisi lain, pemerintahan Trump disebut-sebut telah merusak kepercayaan negara-negara Asia terhadap AS.
Tantangan lainnya bisa muncul apabila Perang Dingin Baru – disertai dengan kompetisi keamanan – yang disebutkan oleh Mearsheimer benar-benar terjadi. Pasalnya, negara-negara Asia Tenggara – khususnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina – telah beberapa kali menolak adanya peran militer yang besar dari AS di kawasan mereka, seperti di Laut China Selatan (LCS).
Penolakan pemerintahan Jokowi terhadap proposal AS untuk mendaratkan pesawat mata-mata P-8, misalnya, bisa jadi sinyal bahwa Indonesia tidak ingin ketidakstabilan muncul di kawasan Asia Tenggara yang telah stabil selama beberapa dekade.
Pentingnya stabilitas bagi Indonesia dan negara-negara Association of South East Asian Nations (ASEAN) ini terlihat dari bagaimana mereka menginisiasi blok dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Dengan adanya blok dagang itu, kerja sama ekonomi diharapkan dapat menciptakan keamanan dan stabilitas politik bagi pembangunan di kawasan – salah satu kepentingan utama dari pemerintahan Jokowi.
Pentingnya pembangunan dalam politik luar negeri Jokowi ini pernah dijelaskan oleh Ben Bland dalam bukunya yang berjudul Man of Contradictions. Dengan pendekatan yang terbilang pragmatis, bukan tidak mungkin kompetisi keamanan merupakan hal yang paling tidak dibutuhkan Jokowi dari pemerintahan Biden.
Inilah mengapa Jokowi kerap mendorong pentingnya multilateralisme dalam politik internasional. Berdasarkan pendekatan institusionalisme liberal, multilateralisme berupa kerja sama ekonomi seperti RCEP ini bisa membuat negara-negara semakin tidak ingin berperang – mengingat terdapat kerugian yang berasal dari norma, aturan, dan interdependensi ekonomi.
Maka dari itu, adanya Perang Dingin Baru dengan kehadiran pemerintahan Biden bukan tidak mungkin malah menjadi tantangan bagi AS untuk merayu Jokowi. Mari kita nantikan saja kelanjutan konstelasi kawasan pada tahun 2021 nanti. (A43)