HomeHeadlineJokowi, Biang "Kehancuran" ASEAN?

Jokowi, Biang “Kehancuran” ASEAN?

Organisasi kawasan Asia Tenggara, ASEAN, dinilai lambat dalam mengambil sikap yang jelas terhadap konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina – menandakan perbedaan cara pandang yang tajam di antara negara-negara anggotanya. Mungkinkah ASEAN menuju “kehancuran” dengan berbagai perbedaan ini?


PinterPolitik.com

“Perjalanan membawamu bertemu denganku, ku bertemu kamu. Sepertimu yang ku cari. Konon aku juga seperti yang kau cari” – Tulus, “Hati-Hati di Jalan” (2022)

Dalam membangun sebuah hubungan, kesamaan visi dan tujuan selalu menjadi fondasi utama. Inilah mengapa perpisahan kerap terjadi ketika visi dan tujuan tidak lagi sejalan. Seperti lirik lagu karya Tulus yang berjudul “Hati-Hati di Jalan” (2022), kesamaan visi pun bisa ditemukan di awal. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa visi dan tujuan ini berubah ke depannya.

Mungkin, hal yang sama tidak hanya berlaku pada hubungan asmara, melainkan juga dalam hubungan antarnegara dalam satu organisasi internasional. Britania Raya (Inggris), misalnya, akhirnya memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (UE) melalui sebuah referendum yang dijalankan pada tahun 2016 silam.

Bila perpecahan dan perbedaan visi ini bisa terjadi pada Britania Raya dan UE ini bisa terjadi, bagaimana dengan Indonesia dengan, katakanlah, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)? Mungkinkah perpecahan bisa terjadi?

Menariknya, perbedaan cara pandang seperti ini mulai tampak hadir di antara negara-negara anggota ASEAN. Dalam menangani krisis politik yang tengah terjadi di Myanmar, misalnya, Kamboja selaku Ketua ASEAN malah melakukan kunjungan ke pemerintahan junta – seakan-akan memberikan legitimasi dan pengakuan pada pemerintahan Min Aung Hlaing.

Sontak saja, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia langsung merespons dengan sikap yang tegas. Bagaimana tidak? Jokowi sudah bersusah payah menginisiasi berbagai upaya untuk menemukan jalan tengah dalam menyelesaikan krisis politik di Myanmar – misal dengan menghasilkan Konsensus Lima Poin (Five-Point Consensus atau 5PC).

Bukan hanya soal persoalan internal, ASEAN juga dianggap lambat dalam menanggapi konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Singapura, misalnya, mengikuti jejak negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) dalam menerapkan sejumlah sanksi ekonomi terhadap Rusia.

Sementara, di sisi lain, sejumlah negara anggota ASEAN lainnya malah meningkatkan hubungan perdagangan mereka dengan Rusia. Indonesia, misalnya, dikabarkan memutuskan untuk membeli sejumlah minyak dari Rusia – di tengah kenaikan harga global.

Dengan berbagai perbedaan ini, muncul sebuah pertanyaan besar. Pantaskah “hubungan” ASEAN ini dipertahankan bila sudah tidak lagi memiliki visi dan tujuan yang sama? Haruskah ASEAN kini berakhir seperti kutipan lirik lagu milik Tulus di awal tulisan?

Bukan Lagi ASEAN yang Sama?

Bila sebuah hubungan memerlukan kesamaan visi untuk dimulai di awalnya, bukan tidak mungkin kita harus melihat kembali ke belakang alasan utama mengapa ASEAN didirikan. Momentum dalam sejarah yang seperti apa yang akhirnya membuat lima negara anggota pertama ASEAN – Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura – mendirikan organisasi kawasan ini?

Ada sejumlah peristiwa besar yang mengitari pendirian ASEAN pada 8 Agustus 1967 silam, yakni Perang Dingin beserta sejumlah perpanjangan konflik oleh negara besar (proxy wars). Salah satunya adalah Perang Vietnam yang dimulai pada tahun 1955.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Meski kala itu sudah berdiri South East Asia Treaty Organization (SEATO) – sebuah pakta pertahanan mirip North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang beranggotakan Australia, Prancis, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thailand, Britania Raya, dan AS, negara-negara Asia Tenggara masih tidak yakin dengan komitmen AS dan sekutunya terhadap pertahanan dan keamanan kawasan mereka.

Maka dari itu, mengacu pada buku Arc of Containment karya Wen-Qing Ngoei, negara-negara Asia Tenggara membuat inisiatif mereka sendiri – dengan mendirikan ASEAN – di tengah ketidakpastian dari AS. Presiden AS kala itu, Richard Nixon sudah sampai memutuskan untuk menarik pasukan mereka dari Vietnam.

Negara-negara ASEAN kala itu – layaknya kisah dalam seri Game of Thrones (2011-2019) – menyadari bahwa ada ancaman besar yang kapan pun bisa saja datang dari utara, yakni komunisme. Dengan harapan untuk membendung komunisme di tengah ketidakpastian komitmen AS, mereka mendirikan organisasi kawasan bernama ASEAN yang hingga saat ini masih berdiri.

Namun, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin di akhir dekade 1990-an, ASEAN pun memiliki tujuan dan visi yang berbeda. Selain Brunei yang bergabung pada tahun 1984, negara-negara anggota yang sebelumnya sempat dianggap jatuh ke bayang-bayang komunisme akhirnya diizinkan bergabung – mulai dari Vietnam (1995), Laos (1997), Myanmar (1997), hingga Kamboja (1999).

Dengan anggota-anggota baru, ASEAN memiliki misi untuk menjadi organisasi kawasan yang mendorong multilateralisme – dengan berbagai prinsipnya yang dijuluki The ASEAN Way yang menjunjung non-interferensi. Organisasi kawasan Asia Tenggara ini akhirnya menjalin hubungan dengan berbagai kekuatan di luar kawasan Asia Tenggara – seperti ASEAN Plus Three bersama Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel) di Asia Timur, serta ASEAN Plus Six yang menyertakan tiga negara Asia Timur itu dengan India, Australia, dan Selandia Baru.

Pasca-Perang Dingin, ASEAN seakan-akan menumbuhkan semangat regionalisme di Asia-Pasifik – melalui apa yang disebut sebagai ASEAN Centrality (Sentralitas ASEAN). Ini menjadi mimpi yang mana menempatkan ASEAN sebagai pusat dalam kerja sama, stabilitas, dan perdamaian.

Namun, konsep Sentralitas ASEAN ini kini mulai diragukan dengan persaingan geopolitik yang memanas antara AS dan Tiongkok. AS, misalnya, kini membangun pakta pertahanannya sendiri di Asia-Pasifik, yakni Quadrilateral Security Dialogue (Quad). 

Belum lagi, di internal, lambatnya penyelesaian krisis politik Myanmar menandakan bahwa terdapat banyak kelemahan dari posisi sentral ASEAN sebagai pembawa perdamaian dan stabilitas. Lantas, bila ASEAN memang tidak mampu untuk mewujudkan visinya, untuk apa mempertahankan organisasi kawasan ini?

Saatnya Jokowi Lepaskan ASEAN?

Seperti yang dijelaskan di atas, ASEAN dalam perjalanannya dari kelahirannya hingga menyongsong masa kontemporer melalui sejumlah perubahan. Perubahan-perubahan inilah yang membuat ASEAN mulai kehilangan kesamaan visi di antara negara-negara anggotanya.

Kedatangan negara-negara anggota baru dari Asia Tenggara kontinental, misalnya, bukan tidak mungkin akhirnya membawa pandangan-pandangan baru yang berbeda dengan negara-negara pendiri yang sebagian besar adalah negara-negara maritim – seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dua keadaan geografis yang berbeda ini tampaknya turut mempengaruhi perjalanan sosio-historis masing-masing negara.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Wang Gungwu dalam tulisannya yang Southeast Asia and Continental and Maritime Powers in a Globalised World menyebutkan bahwa negara-negara maritim – seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Filipina – yang memiliki sejarah panjang dalam berdagang dan terbuka pada banyak kebudayaan memiliki sifat yang lebih demokratis. Sementara, negara-negara kontinental – Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos – memiliki masyarakat yang lebih bersifat tertutup.

Perbedaan mindset ini makin terlihat dengan sikap pemerintahan Jokowi yang lebih tegas terhadap Myanmar. Bukan tidak mungkin, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia mulai mengabaikan prinsip non-interferensi yang dimiliki ASEAN – melebarkan pembelahan (friction) yang sudah ada dalam organisasi kawasan ini.

Selain perbedaan cara pikir, tidak seperti pada saat didirikan, ASEAN kini tidak memiliki musuh bersama (common enemy) yang bisa menyatukan dan menjaga kohesi mereka. Negara-negara ASEAN malah seakan-akan kesulitan untuk tetap berfokus pada multilateralisme dengan meningkatnya upaya bilateral yang dilakukan oleh AS dan Tiongkok.

Mungkin, Tiongkok dengan klaimnya terhadap Laut China Selatan (LCS) menjadi ancaman bagi negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Namun, faktanya, Tiongkok justru menjalin hubungan yang sangat menguntung dari perspektif sejumlah negara kontinental seperti Kamboja, Thailand, dan Myanmar.

Mungkin, dengan dua alasan ini, ASEAN ke depannya akan mengalami berbagai hambatan dan tantangan untuk tetap eksis sebagai organisasi kawasan yang berarti. Mungkin, seperti yang disebut oleh mantan Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya, Rizal Sukma, beberapa bulan lalu, “kehancuran” bisa saja terjadi pada ASEAN. 

Bila benar ASEAN akan tiba pada ujung “kehancuran” itu, lantas, bagaimana dampaknya pada Indonesia? Apakah Indonesia diuntungkan atau malah justru dirugikan?

Boleh jadi, hilangnya ASEAN akan merugikan Indonesia. Selama ini, Indonesia kerap melakukan strategi lempar tangan (buck-passing) dalam menyikapi ancaman dari utara, yakni Tiongkok. Dalam arti lain, ASEAN selalu menjadi jawaban dan solusi cepat bila persoalan muncul.

Namun, di sisi lain, dengan hilangnya ASEAN, sisi baik juga bisa hadir bagi Indonesia. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan melepaskan beban diri sebagai “pemimpin alami” ASEAN – menjadikan pemerintah lebih bersikap pragmatis dalam menghadapi ancaman-ancaman yang ada di kawasan.

Siapa tahu Indonesia akan bersikap lebih tegas dengan ancaman yang langsung hadir di depan pintu rumahnya? Bagaimana pun, Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dinilai semakin memiliki sikap yang tidak tegas dalam bereaksi terhadap apapun yang terjadi di dunia.

Boleh jadi, dengan melepaskan diri dari hubungan yang “toxic” ala ASEAN, Indonesia nantinya bisa menemukan jati dirinya yang sebenarnya – sebagai negara besar yang memiliki kekuatan penentu sebagai kekuatan tengah (middle power) dalam menghadapi kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok. Seperti yang dibilang Tulus dalam lagunya, perjalanan Indonesia belum selesai dan bukan tidak mungkin ini saatnya perjalanan tersebut dilalui sendiri. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?