Walau tinggi, namun peraihan elektabilitas Jokowi saat ini masih sangat dipengaruhi oleh stabilitas ekonomi dan politik tanah air.
PinterPolitik.com
“Stabilitas suatu negara tergantung dari kesiapan setiap warga negara untuk mendelegasikan hak-haknya pada orang lain.” ~ Mahatma Gandhi
[dropcap]M[/dropcap]emasuki pertengahan minggu waktu pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, baik kubu Jokowi maupun Prabowo masih saling menahan diri. Bila Jokowi sudah mempersiapkan diri – walau belum mau mengumumkan nama pendampingnya, di kubu Prabowo, siapa calon presiden yang akan diusung pun masih simpang siur.
Banyak pihak menilai, kontestasi pemilihan presiden tahun depan memang sangat berbeda dengan 2014 lalu. Munculnya kekuatan massa Islam, polarisasi masyarakat, dan gencarnya berbagai pihak yang kerap memutarbalikkan fakta di media sosial, membuat kondisi stabilitas tanah air terlihat rawan gangguan.
Situasi ini juga diperkeruh dengan semakin tidak menentunya stabilitas ekonomi dalam negeri akibat terus menerus terimbas pelemahan ekonomi global, terutama dari perekonomian AS dan Tiongkok. Beberapa faktor tersebut, menurut Ekonom Singapura Charu Chanana membuat posisi Jokowi masih rentan untuk ditaklukkan.
Walau di atas kertas berbagai survei elektabilitas Jokowi yang tinggi melampaui rival beratnya, Prabowo. Namun menurut Peneliti Senior LIPI Syamsuddin Haris, elektabilitas Jokowi yang berdasarkan survei LIPI sebesar 58 persen, memang masih rentan. Terutama bila capres dan cawapres yang bertarung nanti lebih dari dua orang.
Di sisi lain, banyaknya massa mengambang (swing votters) yang hampir mencapai sekitar 30 hingga 40 persen, memberikan keuntungan tersendiri bagi oposisi. Artinya, walau posisi elektabilitas Prabowo kini hanya berkisar 22,9 persen, namun dengan adanya massa mengambang tersebut situasinya masih sangat bisa berubah.
Seperti yang dikatakan oleh Chanana sebelumnya, kemenangan Jokowi sebenarnya sangat bergantung dari bagaimana Pemerintah mengatasi berbagai persoalan yang telah dijabarkan di atas. Walau didukung oleh banyak partai politik, namun bisakah Pemerintahan Jokowi meyakinkan rakyat agar tetap memilihnya kembali?
Tantangan Ekonomi dan Stabilitas Nasional
“Jika kekuasaan suatu negara lebih banyak berada di tangan para elitnya, maka negara tersebut akan sulit menyaksikan keharmonian dan stabilitas.” ~ Wen Jiabao
Pernyataan mantan Perdana Menteri Tiongkok, Wen Jiabao di atas, mungkin bisa menjelaskan mengapa setiap menjelang kontestasi politik, kondisi perpolitikan tanah air selalu memanas dan rawan stabilitas. Seperti yang terjadi menjelang Pilpres tahun depan, di mana para elit dan masyarakat sudah saling menyerang satu sama lain.
Topik yang paling banyak menjadi polemik, umumnya mengenai perekonomian tanah air yang mengalami anomali sejak tahun lalu. Mengapa anomali? Sebab walau secara statistik dalam dan luar negeri, laju perekonomian Indonesia sangat baik dan bahkan mendapatkan banyak pujian internasional, namun tidak begitu dengan yang dirasakan masyarakat.
Pelemahan perekonomian global yang terjadi sejak 2015 lalu, perlu diakui masih belum pulih hingga saat ini. Kondisi ini pun, mau tak mau juga berimbas pada perekonomian tanah air. Pelemahan perekonomian di sejumlah negara, secara langsung mempengaruhi nilai perdagangan ekspor impor yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara.
Lesunya perdagangan global ini, juga semakin mendapatkan ‘tamparan’ dengan adanya perang dagang antara Tiongkok dan AS. Begitu juga saat The Fed AS memutuskan untuk menaikkan suku bunganya hingga empat kali di tahun ini, akibatnya nilai tukar rupiah dan mata uang negara lainnya pun semakin melemah akibat adanya penguatan dollar AS.
Walau Pemerintah berkali-kali mengatakan kalau perekonomian tanah air sebenarnya jauh lebih baik dibanding beberapa tahun belakangan, namun beratnya kehidupan yang dirasakan secara nyata oleh rakyat, tentu menyulitkan posisi Jokowi sebagai figur yang dianggap bertanggung jawab akan tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Bagi pihak yang berseberangan dengan Pemerintah, beratnya kondisi perekonomian masyarakat ini merupakan tema ideal untuk melemahkan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah. Polarisasi yang sudah terbentuk sejak 2014 lalu pun, ikut membantu terjadinya silang pendapat mengenai kondisi tanah air yang sebenarnya.
“Keributan” yang terjadi baik di tingkat elit politik maupun masyarakat ini, pada akhirnya menciptakan situasi yang tak stabil di mata para investor. Kenyataan ini diperkuat oleh Monte Palmer, penulis buku Dilemmas of Political Development. Menurutnya, stabilitas suatu negara memang sangat bergantung dari pengaruh para elit dan penguasa.
Ancaman stabilitas nasional, lanjut Palmer, tidak hanya bergantung dari pengakuan regional dan internasional semata, tapi juga dari peran serta aktif dan positif dari para elit politiknya untuk menciptakan stabilitas. Jadi bagaimana stabilitas dapat terjadi, bila ada elit politik yang memang sengaja menyebarkan ketakutan dan pesimisme di masyarakat?
2019, Tahun Berat Jokowi
“Hasil stabilitas yang sebenarnya adalah saat asumsi keteraturan dan ketidakteraturan mencapai keseimbangan.” ~ Tom Robbins
Dalam pelaksanaan demokrasi, keteraturan tidak selalu merupakan hal yang baik, apalagi ketidakteraturan. Sebab dalam demokrasi, adanya pro dan kontra akan menciptakan kondisi politik yang dinamis. Sayangnya, dinamika ini kerap dijadikan alasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko menciptakan perpecahan.
Penggalangan massa yang dilakukan oposisi misalnya, merupakan upaya melakukan polarisasi masyarakat yang sangat berisiko ketidakstabilan nasional. Ini sudah pernah dibuktikan pada aksi bela agama berjilid-jilid tahun lalu, di mana efeknya sempat membuat investor melakukan tindakan wait and see.
Walau Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui tindakan investor tersebut merupakan hal yang wajar, namun hingga kini diperkirakan dana investor asing yang keluar sudah mencapai 3 miliar dollar AS, baik berupa saham maupun obligasi. Tak heran bila Jokowi berupaya menggenjot ekspor guna menambah masuknya dollar ke tanah air.
Belum cukup beban yang harus ditanggung Pemerintah dari adanya pelemahan ekonomi global serta ketakutan para investor akibat stabilitas keamanan di tanah air, para oposisi kembali memanfaatkan kondisi ini dengan berupaya melakukan perbandingan dan pelintiran isu ekonomi demi upayanya merebut kekuasaan di 2019.
Sehingga berdasarkan paparan di atas, apa yang terjadi tak lain merupakan efek domino yang dimanfaatkan secara baik oleh pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Dengan terus menerus menciptakan situasi tidak stabil, tentu posisi rupiah akan terus melemah yang pada akhirnya berimbas pada kemampuan belanja pengusaha dan rakyat.
Sebagai Presiden yang dikenal dekat dengan rakyat, otomatis opini masyarakat terhadap kemampuan Jokowi juga merupakan kelemahan yang dapat menjungkal sang Petahana. Caranya, salah satunya dengan menciptakan opini serta menciptakan kondisi ekonomi sulit sehingga mampu mengubah opini mereka.
Kondisi ekonomi tak menguntungkan ini, diperkirakan Charu merupakan batu sandungan terbesar bagi Jokowi dalam mempertahankan mahkotanya. Apalagi sumber ketidakstabilan itu sendiri ada di tangan oposisi, seperti Persaudaraan Alumni 212 dan gerakan #2019gantipresiden yang memang dijadikan senjata untuk menurunkan Jokowi.
Kembali seperti yang dikatakan oleh Bapak Negara India, Mahatma Gandhi, kalau stabilitas suatu negara tergantung dari kesiapan warga negaranya dalam mendelegasikan hak-haknya. Namun ada baiknya, sebagai warga yang baik ikut menjaga stabilitas nasional dengan tidak terprovokasi oleh tindakan-tindakan yang bisa menyebabkan perpecahan dan menyebabkan perekonomian semakin tidak stabil. (R24)