HomeNalar PolitikJokowi Bela Palestina, Salah Kaprah?

Jokowi Bela Palestina, Salah Kaprah?

Andai waktu bisa diulang, sebenarnya akan lebih baik jika Presiden tak ikut campur dalam masalah Palestina vs Israel.


PinterPolitik.com 

[dropcap]S[/dropcap]aat Presiden kontroversial Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, dunia pun heboh. Begitu pula organisasi internasional seperti, PBB. Sebagian besar mengecam pernyataan Donald Trump, sebab dinilai berpotensi mengobarkan kembali konflik serta peperangan antara Palestina dan Israel.

Di Indonesia, Presiden Jokowi juga terkesan buru-buru mengeluarkan kecaman terhadap pernyataan Trump, diikuti dengan keberangkatannya ke Turki untuk berunding bersama Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Kecaman yang sama juga dilakukan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin atas pernyataan Trump. Hal ini dilanjutkan dengan Aksi Bela Palestina 1712 yang berbuah petisi untuk memboikot produk-produk dari Amerika Serikat.

aksi bela palestina (sumber: istimewa)

Nun jauh di sana, sebagai negara lahirnya agama Islam, Arab Saudi tak mengeluarkan respon layaknya negara lain, padahal negara ini juga masuk sebagai anggota OKI. Arab Saudi memang memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap AS di layar kaca via Liga Arab. Tapi sikap yang seakan ‘setengah hati’ itu, mengundang tanya berbagai pihak saat Pangeran Arab Saudi menawarkan Kota Abu Dis sebagai ibukota Palestina.

 

Pangeran Arab, Mohammed bin Salman, yang baru dinobatkan sebagai putera mahkota pada Juni 2017 lalu memang disinyalir memiliki kedekatan tertentu dengan Israel dan AS. Pangeran Arab pernah terang-terangan menerima Jared Kushner, menantu Trump sekaligus penasihat Kepresidenan AS di Riyadh, dalam kunjungan bisnisnya. Pertemuan yang terjadi pada November 2017 itu, bahkan sudah yang ketiga kalinya sejak Trump memimpin AS.

Seperti yang sudah diketahui, AS juga sangat akrab dengan Israel. Kedekatan Arab Saudi dengan AS, mau tak mau juga akan menarik Arab untuk mendekat kepada Israel. Nah, kedekatan Arab Saudi dengan Israel ini sudah jauh lebih jelas saat ini, terbukti dengan terbentuknya rancangan megaproyek Timur Tengah yang berlangsung 5 – 15 tahun mendatang. Tak tanggung-tanggung, Arab Saudi bahkan berani menggelontorkan angka fantastis, yaitu sebesar 500 juta dollar.

Jika kedekatan antara Arab Saudi dan Israel tak terlalu banyak dipengaruhi keberadaan AS, bisa saja hal itu sama-sama dimotori oleh kebencian keduanya terhadap Iran. Di samping itu bekerjasama dengan Israel tentu akan menguntungkan, sebab negaranya sudah ditasbihkan sebagai produsen gas terbesar di dunia saat ini. Daripada menghabiskan dana untuk perang karena kebencian terhadap Iran, memang lebih baik menjalin kerjasama ekonomi.

Mengingat dana yang dikeluarkan Arab Saudi tak bisa dibilang kecil, dan betapa ambisius proyek yang akan dilakukan, sungguh sangat disayangkan bila Indonesia tak bisa ikut terlibat di dalamnya. Jika kembali memutar langkah Jokowi yang mengecam AS dan Israel, tak heran pula jika saat ini diplomasi antara Indonesia dan Arab Saudi terlihat semakin menjauh.

Arab Saudi Iri Pada Qatar?

Bila jalan untuk menggenjot perekonomian negara harus dilakukan bersama dengan para pembunuh bayaran, agaknya Arab Saudi tetap akan menempuh jalan tersebut. Habis mau bagaimana lagi, jika Arab Saudi terus-terusan bertumpu pada produksi minyak dan devisa Haji dari Mekkah, kebangkrutan bisa terjadi tak akan lama.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Walau kerap diasosiasikan sebagai negara para raja yang memiliki uang tanpa nomor seri, nyatanya Arab Saudi menduduki posisi tiga terbawah untuk urusan kekayaan. Ia berada di bawah Iran dan Libanon, yang masing-masing memiliki GDP sebesar 13, 200 dollar AS dan 15, 700 dollar AS, sementara Arab Saudi 24, 500 dollar AS.

Coba bandingkan dengan Uni Emirat Arab (UAE) dan Qatar, Arab Saudi jelas-jelas jauh tertinggal. Qatar sebagai negara terkaya di Timur Tengah (dan terkaya di dunia) memiliki GDP sebesar 104, 300 dollar AS, sedangkan UAE memiliki GDP sebesar 48, 800 dollar AS.

Minyak dan gas memang membuat Qatar menjadi negara terkaya di dunia. Bahkan mereka cukup kaya untuk menggelontorkan dana sebesar 200 miliar dollar  AS ‘hanya’ untuk membangun stadion untuk Piala Dunia 2022. Qatar juga memiliki industri hiburan malam nan glamor di negaranya. Menyaingi Qatar, tak ubahnya bagai pungguk merindukan rembulan bagi Arab Saudi. Terlalu jauh.

Jalan di Dubai (sumber: istmewa)

Tapi Arab Saudi sepertinya masih berhasrat merebut posisi UAE sebagai negara terkaya kedua di Timur Tengah. Strategi ini dimainkan dengan mencoba menandingi bisnis pariwisata UAE. Seperti diketahui, Dubai, salah satu kota di UAE, adalah primadona pariwisata Timur Tengah, terutama bagi para kalangan jet set. Sebagai contoh, siapa yang tak pernah mendengar Burj Al Khalifa yang terkenal itu?

Jika Arab Saudi mau menandingi UAE, maka berarti mereka harus menarik para ekspatriat pula untuk datang ke negaranya. Berhubung Arab Saudi masih memegang hukum syariat Islam yang mengharamkan alkohol dan homoseksual, serta segregasi ruang publik antara laki-laki dan perempuan, tentu hal ini akan sulit.

Mengapa? Sebab untuk menarik turis-turis Eropa dari berbagai belahan negara lain, UAE sendiri tak melarang keberadaan alkohol dan bersikap lunak terhadap homoseksual. Tak ada pula pemisahan ruang publik antara laki-laki dan perempuan di sana. Apakah Arab Saudi mampu mengambil jalan serupa?

Kultur Wahabisme yang cenderung konservatif, patriarkal, dan bigot, memang menyulitkan Arab Saudi untuk menarik turis selain dari kegiatan ibadah seperti umroh dan haji yang tiap tahunnya mampu menarik 3,7 juta Muslim dari negara-negara lain.

Kecemburuan Arab Saudi terhadap UAE juga tercermin dari banyaknya ustadz dan ulama yang melarang warganya bepergian ke Dubai. Seperti yang dilansir Harian Kompas, Ulama Sheikh Mohamed al-Shanar pernah berkata kalau pergi ke Dubai hanya akan menambah dosa, sebab tempat tersebut dipenuhi tindakan amoral.

Terlepas dari rasa iri dan persaingan yang melanda Arab, kini Pangeran Mohammed bin Salman perlahan-lahan mulai merombak kebijakan konservatif kerajaannya, yakni dengan memperbolehkan perempuan berkendara di tempat umum, hingga membuka kembali bioskop.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Kerjasama Arab Saudi dan Israel

 Dibanding menjalin kerjasama dengan UAE dan Qatar, Arab Saudi nyatanya lebih tertarik bekerjasama dengan Israel. Sebuah megaproyek yang resmi akan dijalankan oleh mereka, adalah pembangunan jaringan rel kereta api yang menghubungkan Israel dengan Arab Saudi, melalui Jordania. Jalur ini kemudian diperpanjang sampai Irak.

Rencana lainnya adalah pembangunan pusat logistik di wilayah Galilee, Israel Utara, yang akan dijadikan sebagai pusat penampungan komoditas asal Arab Saudi dan negara Timur Tengah lain, untuk diekspor ke Eropa dan AS. Harian Al Quds al Arabi menyatakan, inisiatif kerjasama memang awalnya datang dari Israel untuk ikut berpartisipasi mewujudkan Visi Arab Saudi 2030.

Visi Arab Saudi 2030 memang seambisius megaproyek berjangka 5 – 15 tahun bersama Israel. Proyek lainnya yang dicanangkan Arab Saudi adalah NEOM. Megaproyek NEOM akan mengubah gurun gersang seluas 26, 500 km persegi, menjadi peradaban urban modern yang mirip Dubai dan membentang hingga ke Mesir.

(sumber: istimewa)

Saat sudah selesai nanti, NEOM akan bertindak sebagai juru penghubung investasi global yang datang dari Asia, Eropa, Afrika, dan AS. Proyek ini juga didukung oleh dana berjumlah fantastis, yakni 500 miliar dollar AS.

Uang tersebut sebagian besar berasal dari kantong Kerajaan Arab, Dana Investasi Publik Arab Saudi, dan beberapa investor lokal serta internasional. Fokusnya tak main-main, ada 9 sektor yaitu, energi, air, transportasi, bioteknologi, makanan, manufaktur, ilmu teknologi-digital, media, dan hiburan.

Jokowi Kelewat Reaktif?

Indonesia sendiri, khususnya Jokowi, sepertinya kurang mengetahui adanya hubungan bisnis dibalik pengakuan Trump terhadap Israel di Yerusalem. Sehingga langsung bersikap reaktif, walau di dalam negeri sendiri sikap Presiden yang berpihak pada Palestina memiliki faktor yang penting.

Tapi di sisi lain, sikap ini tentu akan langsung menutup kesempatan Indonesia untuk turut berpartisipasi dalam megaproyek Arab Saudi. Belakangan ini, hubungan ekonomi Indonesia dengan Arab Saudi memang dalam kondisi yang tak menguntungkan secara signifikan.

Dari sisi investasi saja, Penanaman Modal Asing (PMA)  dari Arab Saudi tergolong minim. Di tahun 2016, Arab Saudi merealisasikan 44 proyek investasi di Indonesia dan nilainya hanya 900.000 dollar AS. Bila dibuat persen, paling hanya sekitar 0,17 persen saja.

Jokowi di Konferensi OKI (sumber: istimewa)

Bila banyak yang memandang Indonesia dan Arab Saudi memiliki kedekatan erat, maka hal itu hanya tercermin dari agamanya saja. Arab Saudi adalah negara Islam yang besar, dan Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia. Tapi sayang sekali, Indonesia dan Arab Saudi tak punya hubungan erat di bidang ekonomi.

Hubungan yang kurang erat ini, bisa menjadi semakin jauh dengan kecaman bertubi-tubi kepada AS dan Israel. Jika waktu dapat diundur ulang, langkah Presiden untuk tak terlalu dalam ikut campur, bisa jadi akan merupakan jalan bijak bagi kelangsungan kerjasama megaproyek Arab Saudi dengan Israel. (Berbagai Sumber/A27)

 

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....