Disinyalir ada skenario Jokowi melawan kotak kosong pada Pilpres 2019 nanti.
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]okowi sepertinya mempersiapkan Pilpres 2019 dengan benar-benar serius. Jelang gelaran akbar tersebut, sang petahana sibuk membangun kekuatan di segala lini. Semua disiapkan agar dapat melalui licinnya jalur 2019 tanpa tergelincir.
Sejauh ini, ia sudah mengantongi lima dukungan partai yang memiliki kursi di Senayan. Hal ini masih belum termasuk dua partai pendatang baru di 2019 nanti. Berdasarkan peta sementara ini, Mantan Walikota Solo tersebut tampak tidak akan kesulitan memenuhi syarat minimal Presidential Threshold.
Meski begitu, dukungan dari partai-partai tersebut sepertinya masih belum cukup. Antrean partai politik untuk masuk koalisi Jokowi diprediksi masih cukup panjang. Orang nomor satu tersebut, diduga masih membuka dialog dengan partai-partai lain yang belum mendeklarasikan namanya sebagai capres.
Langkah ini cukup membuat bertanya-tanya. Untuk apa Jokowi mengumpulkan begitu banyak dukungan dari partai politik? Spekulasi pun mulai merebak. Publik mulai menerka Jokowi ingin kembali merengkuh kursi RI-1 tanpa tersaingi. Akankah terwujud Pilpres dengan calon tunggal?
Mengoleksi Dukungan Parpol
Sejak 2017, Jokowi mulai panen dukungan dari berbagai parpol di tanah air. Parpol-parpol tersebut nampak tidak ingin kehilangan momen untuk segera mengusung nama sang petahana. Dengan dukungan tersebut, Jokowi tentu terima dengan tangan terbuka.
Sejauh ini sudah ada lima partai politik parlemen yang mendeklarasikan dukungan secara resmi pada Mantan Gubernur Jakarta ini. Kelima partai politik tersebut adalah Nasdem, Hanura, PPP, Golkar, dan PDIP.
Berdasarkan urutan deklarasi, PPP menjadi yang paling awal memberikan dukungan pada pria asal Solo tersebut. Langkah PPP ini kemudian disusul oleh Partai Nasdem yang mendeklarasikan dukungannya pada Rakernas mereka 15 November 2017 lalu.
Hanura dan Golkar sebenarnya sempat memberikan dukungan pada Jokowi sejak jauh-jauh hari. Meskipun demikian, kedua partai ini sempat dihantam gejolak di internal partai. Akan tetapi, kedua partai ini pada akhirnya tetap memberikan dukungan pada sang petahana.
Partai paling belakangan yang masuk daftar pendukung Jokowi adalah PDIP. Meski menjadi tempat Jokowi bernaung, partai berlogo banteng ini justru menunda deklarasi dukungan pada Jokowi hingga tahun 2018.
Jokowi juga berhasil mengambil hati partai-partai non-parlemen. Dua partai debutan, PSI dan Perindo sama-sama telah mengumumkan akan mendukung petahana ini. Selain itu, PKPI juga sudah mendeklarasikan dukungannya mesti kiprahnya di 2019 nanti terancam verifikasi KPU.
Ternyata banjir dukungan tersebut masih belum cukup bagi Jokowi. Ia tampaknya tidak hanya ingin kebanjiran, tetapi juga tenggelam dalam dukungan parpol. Disinyalir, beberapa parpol yang belum mendeklarasikan dukungan pada capres manapun tengah didekati Jokowi.
Sebagai partai pendukung pemerintah, PKB hingga kini belum secara resmi mengumumkan siapa yang akan didukung pada Pilpres nanti. Meski begitu, Jokowi tampaknya belum rela kehilangan partai ini. Jokowi misalnya, pernah meresmikan kereta bandara dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Partai pendukung pemerintah yang lain, yaitu PAN, juga tidak ingin dilepas Jokowi begitu saja. Ketua Umum mereka, Zulkifli Hasan tertangkap menemui Jokowi. Zulkifli tidak menampik bahwa pertemuan itu membahas kondisi politik terkini.
Komunikasi dengan Demokrat juga disinyalir tengah menghangat. Hubungan antara Jokowi dengan Demokrat akhir-akhir ini terlihat mulai mesra. Apalagi dikabarkan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dijadwalkan bertemu utusan PDIP yaitu Prananda Prabowo.
Kalangan oposisi nampaknya juga dilirik oleh orang nomor satu tersebut. Presiden PKS Sohibul Iman mengaku ada negosiasi agar PKS mendukung Mantan Walikota Solo tersebut. Meski begitu, PKS belakangan masih belum goyah pendiriannya untuk berseberangan dengan Jokowi.
Gerindra mulai mencium bau tidak sedap dari langkah sang petahana. Mereka menduga bahwa Presiden tengah membangun kekuatan agar ia bisa melaju di Pilpres 2019 melawan kotak kosong. Gerak cepat Jokowi melobi banyak parpol menjadi indikasi dari hal ini.
Mewujudkan Pilpres Calon Tunggal
Beberapa pihak menilai, UU Pemilu tahun 2017 membuka peluang untuk Pilpres digelar dengan calon tunggal. Hal ini terutama dengan adanya persyaratan minimal perolehan suara yang mencapai 20 persen untuk mengusung pasangan capres dan cawapres.
Selain itu, ada pula kemungkinan dalam UU tersebut Pilpres calon tunggal dilangsungkan dengan melawan kotak kosong. Skenario ini diungkap Partai Gerindra sebagai rasionalisasi Pilpres calon tunggal di 2019 nanti.
Meski dimungkinkan, beberapa pihak mengkhawatirkan kemajuan demokrasi di negeri ini jika Pilpres berlangsung dengan satu kandidat saja. Pilkada dengan calon tunggal berpotensi memunculkan satu kekuatan tunggal tanpa ada oposisi yang kuat.
Langkah ini dapat mematikan kekuatan oposisi, karena gabungan suara yang dimiliki amat minim. Hal ini dapat membuat pihak berkuasa menjadi amat kuat dan tidak tertandingi. Dapat dipastikan bahwa berbagai kebijakan yang dibuat oleh penguasa akan lolos begitu saja tanpa ada tentangan. Dalam konteks ini, sistem check and balances dipastikan tidak berjalan baik.
Kondisi ini juga merugikan bagi masyarakat. Mereka tidak mendapatkan alternatif lain dari pilihan yang sudah ada. Masyarakat disuguhkan satu kandidat saja, dengan program yang itu-itu saja tanpa pembanding.
Hal ini membuat jalannya Pilpres tidak kompetitif. Sebagai calon tunggal, Jokowi tidak perlu susah-susah memikirkan program yang mahahebat agar dapat terpilih. Akibatnya, presiden yang berkuasa nanti memiliki kebijakan yang tidak maksimal kemanfaatannya.
Pilpres calon tunggal juga mengancam angka partisipasi. Pemilihan dengan satu kandidat saja kerapkali tidak menarik bagi pemilih. Jumlah pemilih pada Pilpres mendatang pun terancam terjun bebas.
Kondisi-kondisi tersebut tentu tamparan bagi Indonesia. Sebagai negara berpenduduk terbesar ketiga di dunia, Pilpres dengan calon tunggal adalah hal yang memalukan. Apa jadinya Bali Democracy Forum yang dihelat saban tahun, jika demokrasi tuan rumahnya justru menurun?
Mirip Pemimpin Otoriter
Jika dibandingkan, langkah Jokowi ini bisa saja mendekati pemilu presiden di negara lain yang dianggap tidak demokratis. Mengumpulkan banyak dukungan parpol ke dalam satu kantong presiden amat mirip dengan strategi yang dilakukan oleh Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Mubarak merupakan presiden yang kerap melaju di Pilpres tanpa ada tandingan. Sejak tahun 1981 hingga tahun 1999, mantan Presiden Mesir tersebut melaju di Pilpres tanpa harus menghadapi satu pun lawan. Di berbagai Pilpres tersebut, ia kerap mendapat suara maksimal. Dari tahun ke tahun, ia berhasil mengumpulkan suara di atas 90 persen.
Fadli Zon Lihat Ada Upaya Ciptakan Oligarki di Pilpres 2019 – https://t.co/C9g7AGBzcq https://t.co/VQ9LEu7q4o
— Fadli Zon (@fadlizon) March 2, 2018
Untuk mewujudkan hal ini, Mubarak perlu mengonsolidasikan terlebih dahulu kekuatan partai-partai di parlemen. Ia kerap menarik banyak dukungan dari partai-partai tersebut untuk melengkapi partai pendukung utamanya, yaitu National Democratic Party.
Dari tahun ke tahun, Mubarak memiliki strategi khusus untuk menarik dukungan partai. Sebuah literatur menyebutkan bahwa ia mengubah strategi dari eksklusi menjadi inklusi pada pihak oposisi.
Hal ini misalnya nampak pada Pemilu -atau referendum- Mesir tahun 1999. Nyaris semua parpol berada di satu barisan dengan Mubarak. Tidak tanggung-tanggung, empat partai oposisi juga masuk ke dalam barisan pendukung Mubarak tersebut. Hanya satu partai saja yaitu Gerakan Naseris yang tidak mendukung presiden keempat Mesir tersebut.
Strategi ini memang efektif untuk mendulang kursi, akan tetapi langkah ini kerap dianggap sebagai langkah yang tidak demokratis. Beberapa media dan literatur ilmiah kerap mengkategorikan Mubarak sebagai pemimpin otoriter.
Beberapa pihak perubahan Mubarak -dan Jokowi- untuk menarik dukungan banyak parpol ini sesuai dengan pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni. Pada kondisi ini, kelompok yang didominasi tidak merasa ditindas oleh pihak penguasa.
Proses dominasi ini dilakukan dengan kekuatan yang amat halus sehingga tidak ada paksaan yang berarti. Pihak penguasa seperti Mubarak atau Jokowi berhasil merekayasa kesadaran parpol sehingga dengan rela mendukung pihak penguasa.
Jokowi tentu tidak ingin namanya disejajarkan dengan pemimpin seperti Mubarak. Citra baik yang melekat pada dirinya bisa hilang jika memaksakan Pilpres calon tunggal seperti di Mesir. Indonesia terancam dikucilkan dunia jika indeks demokrasinya terus menurun. Jokowi idealnya tetap percaya diri untuk menghadapi Pilpres melawan kandidat yang kredibel, bukan sekedar kotak kosong. (H33)