Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Bahaya Jalur Sutera Tiongkok

Jokowi, Bahaya Jalur Sutera Tiongkok

Foto : MaritimNews

Jelang debat keempat Pilpres 2019 yang mengangkat tema tentang idelogi, pemerintahan, keamanan dan hubungan internasional, penting kiranya untuk menakar kepentingan Indonesia dalam program One Belt One Road (OBOR) yang digagas oleh Tiongkok


PinterPolitik.com

“That is too early to say whether the belt and road is going to be a success” – John Oliver, host program Last Week Tonight di HBO

[dropcap]I[/dropcap]stilah Jalur Sutra yang menjadi jalan terpanjang yang membentang di antara dua benua serta menghubungkan Tiongkok dan Eropa sejak era Dinasti Han (202 SM – 220 M) mungkin bukan terminologi yang asing.

Jalur ini cukup terkenal sebagai rute perdagangan dari peradaban Tiongkok kuno, di mana kala itu sutra menjadi komoditas utama yang diperdagangkan ke seantero dunia.

Dengan melalui jalan sepanjang 7 ribu mil (11,2 ribu kilometer), para pedagang Tiongkok harus melewati berbagai negara yang terhubung melalui jalan ini ketika ingin sampai ke Eropa.

Nilai sejarah jalur sutra inilah yang menginspirasi ambisi pemerintah Tiongkok saat ini untuk menerapkan apa yang disebut sebagai kebijakan One Belt One Road atau OBOR. Proyek ini adalah pembangunan jalur-jalur sutra baru dengan memperkuat infrastruktur pendukung perdagangan di titik-titik dan negara-negara yang dilalui.

Jelang debat ke empat, kiranya penting untuk membahas OBOR Tiongkok Share on X

Sebagai kebijakan pembangunan ekonomi yang ekspansif, Tiongkok menjalankan program ini dengan menggandeng beberapa negara, utamanya di wilayah Asia, tak terkecuali Indonesia.

Perlu diketahui bahwa inisiasi keikutsertaan Indonesia dalam proyek OBOR ini telah diteken sejak tahun 2017. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OBOR di Beijing di tahun yang sama, Indonesia akan menerima investasi dari negara Tirai Bambu tersebut demi mendukung beberapa proyek infrastruktur.

Kini, wacana tentang OBOR kembali menyeruak setelah dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives (GMF –BRI) beberapa waktu yang lalu, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sebagai perwakilan Indonesia menyatakan akan meneken proyek perdana skala besar dari inisiatif OBOR yang akan ditandatangani pada bulan April 2019 mendatang.

Tentu menarik mengkaji kait-kelindan antara OBOR dan proyek infrastruktur yang masif di Indonesia. Terlebih, menjelang debat Pilpres 2019 yang akan diselenggarakan pada tanggal 31 Maret mendatang, salah satu tema yang menjadi fokus debat berkaitan dengan ideologi, pemerintahan, keamanan dan hubungan internasional.

Lalu, bagaimana sesungguhnya menyikapi adanya ekspansi proyek OBOR ini di Indonesia khususnya dalam konteks politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kandidat petahana?

Berpaling Ke Tiongkok

Robert G. Sutter dalam bukunya yang berjudul China’s Rise in Asia menceritakan kebangkitan Tiongkok sebagai poros baru Asia dalam konteks ekonomi dan perdagangan global. Semakin menguatnya pertumbuhan ekonomi negara yang kini dipimpin Presiden Xi Jiping itu berhasil menjadikannya sebagai salah satu new emerging force di kawasan Asia, bahkan dunia.

Kesuksesan Tiongkok itu kini disertai dengan ambisi ekspansi pengaruh ideologi pembangunan ekonomi yang tertuang program OBOR.

Proyek ini juga disebut-sebut menjadi proyek jalur sutra abad 21 dengan ambisi untuk memperluas jalur perdagangan ala Tiongkok.

Dalam konteks hubungan internasional, konsekuensinya tentu saja adalah semakin besarnya hegemoni Tiongkok atas negara-negara di kasawan Asia Pasifik, utamanya di bidang ekonomi.

Proyek yang diumumkan Xi Jinping pada 2013 ini akan berfokus dalam pemanfaatan simpanan devisa Tiongkok yang melimpah untuk memberi pinjaman kepada negara berkembang untuk mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur yang akan melibatkan perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Secara umum, OBOR bekerja dengan cara membuka proposal kerja sama dari negara-negara yang menjadi targetnya dalam dua jenis, yaitu Silk Road Economic Belt (SREB) di darat dan Maritime Silk Road (MSR) di laut.

OBOR ditargetkan menghabiskan dana US$ 4,4 triliun (Rp 62,7 ribu triliun) yang terbagi dalam berbagai proyek infrastruktur di 65 negara. Adapun dana dari Tiongkok akan dikucurkan dari tiga institusi utama, yaitu Export-Import Bank of China, Asia Infrastructure Investment Bank dan the Silk Road Fund.

Namun, keberadaan proyek OBOR ini menimbulkan berbagai macam kontroversi salah satunya terkait adanya ketakutan akan terjadinya debt trap atau perangkap utang.

Sri Lanka adalah salah satu Negara peserta OBOR yang harus menyerah pada debt trap yang tercipta dari adanya OBOR ini. Proyek Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Sri Lanka yang menelan biaya pinjaman sebesar US$ 190 juta (Rp 2,7 triliun) dengan bunga sebesar 6,3 persen tak mendapat keuntungan dari operasi bandara tersebut.

Akibatnya, pemerintah Sri Lanka justru merugi. Hal tersebut membuat negara tersebut tak mampu membayar hutang kepada Tiongkok.

Sebagai konsekuensi atas ketidakmampuan membayar kredit maupun bunga, pada akhir Juni 2016 lalu, Sri Lanka membuat perjanjian dengan Tiongkok berupa ekuitas (menyerahkan lahan untuk disewa) pelabuhan selama 99 tahun kepada negara tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Mungkinkah ambisi infrastruktur Jokowi merupakan manifestasi dari ambisi OBOR di Asia dan bagaimana risiko yang harus dihadapinya?

Menggugat OBOR Jokowi

Pemerintahan Jokowi memang cukup berani mengambil risiko utang demi memuluskan rencana pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Berbagai pencapaian infrastruktur yang telah diwujudkan di era pemerintahannya terbilang cukup prestisius, di antaranya adalah Light Rail Transit (LRT) Palembang, Bandara Kertajati Bandung, hingga yang terbaru adalah Mass Rapid Transit (MRT) yang kini bisa dinikmati oleh warga Jakarta.

Namun, terdapat sebuah paradoks dalam konteks pembangunan infrastruktur tersebut, utamanya di wilayah Indonesia Timur. Dalam sebuah laporan terbaru di New Mandala, disebutkan bahwa Jokowi kini menghadapi persoalan serius di wilayah Indonesia Timur, di mana proyek infrastrukturnya ternyata tak berbanding lurus dengan bangkitnya ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Dalam laporan yang ditulis oleh Emilianus Yakob Sese Tolo tersebut, disebutkan bahwa pembangunan infrastruktur Jokowi hanya terpusat di kawasan Sulawesi Selatan, utamanya Makassar yang menjadi sentra aktivitas ekonomi di wilayah timur. Akibatnya, daerah-daerah di pelosok tidak merasakan dampak berarti dari proyek infrastruktur tersebut. Hal ini seolah menunjukkan ketimpangan pembangunan yang cukup signifikan di wilayah timur Indonesia.

Bahkan, wilayah yang terdiri dari 13 provinsi itu yang di dalamnya termasuk wilayah-wilayah seperti Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Sulawesi, Maluku, dan Papua ini menjadi salah satu kawasan termiskin di Asia Tenggara dan banyak dari provinsi ini dikategorikan dengan kondisi “miskin secara ekonomi”.

Lain lagi proyek LRT Palembang yang berpotensi bernasib sama dengan bandara di Sri Lanka, dengan realitas sepinya pengunjung. Bahkan proyek ini harus merugi dengan beban operasional yang mencapai Rp 8,9 miliar per bulan.

Kini, di tengah beberapa proyek infrastruktur yang bermasalah, pemerintah seperti tak henti-hentinya berambisi untuk tetap mengajukan kerja sama dengan Tiongkok melalui program OBOR-nya. Pemerintah sedang mewacanakan untuk menawarkan 28 proyek senilai Rp 1.296 triliun pada KTT OBOR pada April mendatang.

Jika  dilihat, sejauh ini investasi Tiongkok yang berkaitan dengan OBOR yang masuk ke Indonesia nilainya tak sampai US$ 5 miliar (Rp 71,3 triliun).

Investasi ini terdiri dari kucuran dana bagi kereta cepat Jakarta-Bandung sekitar US$ 1 miliar (Rp 14 triliun) dan limpahan dana dari China Development Bank (CDB) untuk tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masing-masing sebesar US$ 1 miliar.

Sedangkan, menurut laporan Tempo, dalam pertemuan terbaru antara pemerintah RI dengan pihak Tiongkokdisebutkan bahwa negara tersebut telah menyiapkan rancangan Framework Agreement. Indonesia yang diwakili oleh Luhut Binsar Pandjaitan juga menegaskan bahwa proyek yang dikerjasamakan tersebut murni dilakukan secara Business-to-Business (B2B).

Secara umum, berdasarkan pengajuan bisnis, pemerintah Indonesia menawarkan dua kelompok proyek prioritas. Kelompok pertama mencakup empat koridor wilayah, yakni di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.

Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas beberapa proyek di Sumatra Selatan, Riau, Jambi, dan Papua.

Dengan melihat realitas bahwa program pembangunan infrastruktur justru belum mampu memperbaiki jurang ketimpangan – terutama di wilayah Timur – dan berbagai sengkarut lainnya, keputusan pemerintah untuk tetap mengikuti OBOR tentu perlu dipertanyakan.

Dengan melihat rekatnya hubungan pemerintah Indonesia dengan Tiongkok, hal tersebut memang menunjukkan bahwa  ideologi pembangunan Indonesia selama ini begitu berkiblat ke Tiongkok.

Namun sayangnya, menurut Brahma Chellaney, apa yang dilakukan Tiongkok dengan OBOR-nya adalah upaya debt-trap diplomacy, di mana diplomasi jenis ini adalah hubungan bilateral yang terjalin atas dasar utang.

Dalam operasinya, diplomasi jenis ini melibatkan satu negara kreditor yang secara sengaja memperpanjang kredit berlebihan ke negara debitor.

Jika negara debitor tidak dapat memenuhi kewajiban utangnya, sering kali negara kreditor akan memungkinkan untuk ikut campur kondisi ekonomi dan politik di negara debitor.

Selain itu, ironisnya, pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia juga masih kotor dengan praktik-praktik korupsi yang menggurita. Alih-alih bertujuan mensejahterakan masyarakat, proyek infrastruktur sering kali menjadi ladang bancakan pihak-pihak yang berkepentingan.

Selain itu, menurut Dewi Fortuna Anwar dalam tulisan terbarunya, kini Jokowi menghadapi ancaman elektoral berkat kedekatan hubungannya dengan Tiongkok. Dewi menyebut bahwa sentimen anti Tiongkok yang kian membesar di Indonesia jelang Pilpres kali ini akan menjadi kerugian tersendiri jika ia tak berhati-hati mengelola hubungannya dengan negara tersebut.

Pada akhirnya, Jokowi setidaknya akan menghadapi double trap dengan adanya proyek OBOR ini. Di satu sisi, ada debt-trap diplomacy yang mungkin saja akan berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia. Sementara, di sisi lain, ia juga harus menghadapi ancaman kekalahan pada Pilpres kali ini jika narasi anti-Tiongkok ini berhasil dikapitalisasi oleh kubu lawan. Tentunya, Jokowi harus berhati-hati. (M39)

Exit mobile version