Dengan dalih mencegah penularan virus Corona (Covid-19), pemerintah berencana akan membebaskan 30 ribu narapidana. Menariknya, angka tersebut sama dengan jumlah Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa yang dibentuk oleh Kivlan Zein pada tahun 1998 lalu untuk menghadang demonstrasi mahasiswa. Kebetulan kah?
PinterPolitik.com
Di tengah terpaan pandemi virus Corona (Covid-19), berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan penyebaran virus yang pertama kali diidentifikasi di kota Wuhan, Tiongkok tersebut. Mulai dari penerapan social distancing, yang sekarang telah diubah menjadi physical distancing, hingga pada penerapan work from home (WFH) dan kuliah online.
Terbaru, untuk mencegah penularan Covid-19, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) akan membebaskan – melalui hak asimilasi – 30 ribu narapidana dewasa dan anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Narapidana yang terkait dengan PP tersebut adalah narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotroprika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi.
Tidak hanya adanya syarat narapidana tidak boleh terkait dalam kejahatan-kejahatan tersebut, narapidana yang dibebaskan juga harus telah menjalani masa tahanan tertentu, yakni setengah masa tahanan bagi narapidana anak, dan dua per tiga masa tahanan bagi narapidana dewasa.
Selain untuk mencegah penularan Covid-19 karena selama ini lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia mengalami overcrowding atau kelebihan kapasitas. Pembebasan itu juga memiliki motif ekonomi karena disebut dapat menghemat anggaran kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sampai dengan Rp 260 miliar. Di tengah besarnya kebutuhan keuangan negara untuk memberikan stimulus ekonomi untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19, motif ekonomi tersebut, tentunya menjadi begitu masuk akal.
Akan tetapi, menilik pada angka jumlah narapidana yang dibebaskan, menariknya, entah kebetulan atau tidak, angka tersebut sama dengan jumlah Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa yang dibentuk oleh mantan Kepala Staf Kostrad TNI Mayjen (Purn.) Kivlan Zen atas perintah Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto yang dulu menjabat sebagai Panglima ABRI pada tahun 1998.
Pam Swakarsa sendiri adalah kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR (SI MPR) pada tahun 1998 lalu.
Selain karena adanya kesamaan angka, konteksnya menjadi semakin menarik karena sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan dapat diterapkannya darurat sipil apabila diperlukan. Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari hal tersebut?
Kebijakan yang Ganjil?
Pada konteks pencegahan penularan Covid-19 ataupun untuk melakukan penghematan anggaran, tentunya kebijakan untuk membebaskan 30 ribu narapidana tersebut menjadi suatu hal yang positif. Akan tetapi, apabila ditelaah lebih dalam, tampaknya kebijakan tersebut memiliki tanda tanya tersendiri.
Pertama, jika benar pembebasan tersebut bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19, maka angka 30 ribu tersebut menjadi riskan, dan tampaknya cukup sia-sia. Pasalnya, sebagaimana keterangan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada Desember 2018 lalu, penghuni lapas di Indonesia disebut mencapai 256.273 narapidana, padahal kapasitas hunian hanya mencapai 126.164 narapidana.
Artinya, perlu adanya pengurangan sebanyak 130.109 narapidana untuk menciptakan keadaan ideal di lapas agar terjadi social distancing atau physical distancing.
Dengan kata lain, argumentasi pembebasan tersebut untuk mencegah penularan Covid-19 karena terjadi kelebihan kapasitas lapas menyisakan tanda tanya tersendiri karena lapas tetap mengalami surplus 100.109 narapidana.
Kedua, bertolak pada motif ekonomi, jika pembebasan 30 ribu narapidana dapat menghemat anggaran sebesar Rp 260 miliar, maka pembebasan 130.109 narapida dapat menghemat anggaran sebesar Rp 1,1 triliun. Dengan memberikan pertanyaan sederhana, untuk apa hanya mengincar keuntungan yang lebih sedikit, jika keuntungan yang lebih besar dapat diraih?
Ketiga, dengan dipertahankannya Wiranto di lingkaran istana, tentu itu menjadi suatu indikasi kuat bahwa Presiden Jokowi memang menaruh kepercayaan terhadapnya. Dengan kata lain, hal tersebut juga mencuatkan tanda tanya, apakah Pam Swakarsa yang menurut Kivlan Zein dibentuk atas perintah Wiranto, saat ini sedang berusaha untuk dibentuk kembali dengan elemen para narapidana yang dibebaskan tersebut?
Wiranto sendiri, dalam beberapa kesempatan, selalu memberikan jawaban diplomatis terkait apakah benar ia merupakan aktor di balik Pam Swakarsa.
Kemudian, konteks kemungkinan dibentuk kembalinya Pam Swakarsa ini menjadi semakin menarik karena di lingkaran istana juga terdapat Moeldoko. Pasalnya, menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, Moeldoko merupakan sosok yang dekat dengan Wiranto.
Menurut Fahmi, Moeldoko pernah menjadi asisten pribadi Wiranto di masa lalu. Selain itu, bergabungnya Kepada Staf Kepresidenan itu ke Partai Hanura pada 2016 lalu juga disebut karena kedekatan keduanya.
Dengan kata lain, jika benar hubungan Moeldoko dan Wiranto begitu dekat, boleh jadi, Moeldoko juga mengetahui strategi pengamanan masyarakat ala Wiranto, seperti membentuk Pam Swakarsa.
Selain itu, dengan Moeldoko yang pernah menjabat sebagai Komandan Brigif-1/Jaya Sakti yang betugas mengamankan DKI Jakarta saat B.J. Habibie menjabat sebagai presiden, tentu membuatnya memiliki kemampuan teknis dalam melakukan operasi pengamanan.
Akan tetapi, adanya keganjilan dan kebetulan tersebut, tentunya tidak dapat menjadi justifikasi bahwa Pam Swakarsa memang akan dibentuk kembali. Namun, seperti yang diungkapkan oleh filsuf Jerman Ernst Cassier bahwa manusia adalah animal symbolicum atau makhluk yang memproduksi simbol, tentunya itu membuat tanda-tanda yang telah disebutkan tersebut melahirkan simbol-simbol atau interpretasi tersendiri.
Semiotika Charles Sanders Pierce
Untuk tanda-tanda yang telah didapatkan tersebut, maka perlu diperlukan pisau analisis yakni teori semiotika untuk menelaahnya. Semiotika sendiri adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dapat dilihat sebagai suatu tanda, yakni sesuatu yang dapat diberi makna.
Pada tulisan ini, akan digunakan teori semiotika dari Charles Sanders Peirce. Pierce adalah tokoh semiotika dari kalangan pragmatis yang melihat tanda sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Menurutnya, tanda adalah apa yang ditangkap oleh indera manusia kemudian melalui proses kognitif diterjemahkan ke dalam suatu makna.
Teori Semiotika Pierce disebut sebagai teori yang bersifat trikotomis karena melibatkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan. Fenomena yang pertama kali ditangkap oleh manusia disebut dengan “representamen”, sedangkan proses kognitif yang terbentuk dari penangkapan itu disebut dengan “objek”. Dan proses hubungan dari representamen ke objek disebut semiomis, yang kemudian berlanjut ke dalam proses penafsiran atau “interpretan”.
Berbeda dengan teori semiotika lainnya – seperti teori Semiotika Ferdinand de Saussure – yang hanya menginterpretasi dalam satu proses, teori semiotika Pierce memiliki keunggulan karena interpretasinya melibatkan dua proses.
Kembali terhadap dugaan dibentuknya kembali Pam Swakarsa, dengan menggunakan teori semiotika trikonomis dari Pierce, maka akan didapatkan suatu simpulan yang cukup menarik.
Pertama, pada segi “representamen” atau fenomena yang pertama kali ditangkap, itu adalah pembebasan 30 ribu narapidana. Dan di sekitar Presiden Jokowi terdapat sosok militer, yakni Wiranto dan Moeldoko.
Kedua, pada segi “objek”, didapatkan pemahaman bahwa pembebasan 30 ribu narapidana tersebut untuk mencegah penularan Covid-19 dan menghemat anggaran sebesar Rp 260 miliar. Dan juga didapatkan pemahaman bahwa Wiranto dan Moeldoko adalah sosok berpengaruh yang ada ketika Pam Swakarsa dibentuk.
Ketiga, pada segi “interpretan”, didapatkan interpretasi bahwa alasan pencegahan penularan dan penghematan anggaran tersebut memiliki keganjilan tersendiri. Lalu, didapatkan pula interpretasi bahwa jumlah Pam Swakarsa yang dibentuk pada 1998 sama dengan jumlah narapidana yang dibebaskan.
Dengan demikian, dari kedua proses tersebut didapatkan interpretan bahwa terdapat kemungkinan bahwa 30 ribu narapidana yang dibebaskan ditujukan untuk membentuk Pam Swakarsa. Apalagi, interpretan yang telah terbentuk tersebut juga semakin kuat dengan adanya rencana penerapan darurat sipil yang beberapa waktu lalu diutarakan oleh Presiden Jokowi.
Pada akhirnya, menggunakan teori semiotika Pierce, kita dapat menjumpai bahwa interpretasi pembebasan 30 ribu narapidana tersebut dapat merujuk pada dibentuknya lagi Pam Swakarsa guna untuk menghadapi potensi gejolak sosial yang nantinya mungkin terjadi. Akan tetapi, tentunya simpulan tersebut hanyalah interpretasi belaka. Seperti halnya diktum dalam posmodernisme, tidak akan pernah terdapat suatu simpulan yang tunggal atau pasti benar. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.