Dengarkan artikel ini:
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan ingin “mengakuisi” Partai Golkar di tengah ramainya wacana pergantian ketua umum (ketum) Golkar. Mungkinkah Jokowi bisa “mengakuisisi” Golkar?
“What do you want to be? A good person or a CEO? Don’t be greedy. You can’t be both. Choose one. Just one” – Han Ji-pyeong, Start-Up (2020)
Kapan lagi bisa menonton seri drama Korea (K-drama) sambil belajar mengenai bisnis dan investasi? Ini mungkin bisa dirasakan saat menonton K-drama yang dirilis pada tahun 2020 silam yang berjudul Start-Up.
Di seri ini, Seo Dal-mi memiliki mimpi untuk menjadi pebisnis teknologi sukses layaknya Steve Jobs, pendiri Apple. Dalam upayanya itu, Dal-mi berusaha mengembangkan bisnisnya di kawasan bisnis teknologi bernama Sandbox.
Dal-mi-pun tidak sendiri. Ia dibantu oleh seorang ahli investasi bernama Han Ji-pyeong di SH Venture Capital. Ji-pyeong ini dikenal sebagai “Gordon Ramsay-nya” investasi.
Terlepas dari drama yang terjadi di Start-Up, bisa dipahami bahwa menjadi pemimpin eksekutif alias CEO perusahaan tidaklah muda. CEO juga harus berhadapan dengan para investor
Di satu sisi, CEO membutuhkan para investor agar bisnisnya bisa berjalan. Namun, di sisi lain, CEO juga harus mengikuti kemauan para investor.
Semua bisa menjadi makin rumit apabila para investor dan pemegang saham memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Bisa-bisa, kebijakan dan agenda satu perusahaan bisa saja berubah mengikuti hasil rapat umum pemegang saham (RUPS).
Mungkin, situasi yang mirip juga terjadi di dunia politik, khususnya dalam dinamika terkini Partai Golkar. Pasalnya, “CEO” saat ini, Ketua Umum (Ketum) Airlangga Hartarto mendapatkan sejumlah tekanan dengan adanya wacana pergantian ketum.
Di sisi lain, sejumlah “stakeholder” (pemegang saham) bisa jadi memiliki preferensi mereka masing-masing soal sosok siapa yang cocok untuk menjadi CEO berikutnya.
Belum lagi, kabarnya, Golkar tengah kedatangan “investor besar” dari luar internal partai. Rumornya, “investor besar” ini adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi disebut-sebut ingin “mengakuisisi” Golkar dengan menempatkan CEO pilihannya. Salah satu yang dikabarkan adalah Bahlil Lahadalia yang kini menjabat sebagai menteri investasi/kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Bukan hanya Bahlil, wacana lain juga menyebutkan nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) bersama Prabowo Subianto.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa “investor” baru ini begitu besar pengaruhnya. Lantas, mungkinkah para “stakeholders” lama menerima begitu saja kedatangan “investor” baru ini?
View this post on Instagram
Golkar dan Perang “Pemegang Saham”
Golkar tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu partai terbesar dalam sejarah Indonesia. Partai pohon beringin ini pernah menjadi kendaraan politik Presiden Soeharto di era Orde Baru dulu.
Sejak awal lahirnya pada tahun 1964, Golkar memang tidak memiliki DNA keanggotaan yang homogen. Lahir sebagai Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), partai ini lahir dari banyak organisasi, mulai dari Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Sental Organisasi Karyawan Sawadiri Indonesia (SOKSI), hingga Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Inilah mengapa Golkar tidak pernah memiliki kohesi yang sama dengan partai-partai lainnya yang anggota-anggotanya cenderung memiliki kesamaan ideologi.
Namun, pada era Orde Baru, ada satu kelompok yang dominan. Mengacu ke tulisan Leo Suryadinata yang berjudul “The Decline of the Hegemonic Party System in Indonesia: Golkar after the Fall of Soeharto”, kelompok ini adalah kelompok Jawa dan militer di bawah Presiden Soeharto.
Meski begitu, setelah Orde Baru berakhir, kelompok yang dominan-pun turut berganti. Di bawah Presiden B.J. Habibie, kelompok Sulawesi Selatan menjadi dominan, seperti Jusuf Kalla (JK) dan Aburizal Bakrie.
Namun, usai Habibie lengser, kelompok lainnya turut menjadi dominan. Mereka adalah kelompok Sumatera, seperti Cosmas Batubara.
Kelompok-kelompok inipun saling bersaing untuk menjadi dominan. Akbar Tandjung saat menjabat jadi ketum, misalnya, pernah mendapat guncangan pada tahun 1999-2001.
Dinamika antar-kelompok ini yang akhirnya sulit membuat satu kelompok menjadi hegemon dalam internal Golkar. Istilahnya, para kelompok ini adalah semacam “pemegang saham” yang saling mempengaruhi untuk menentukan jalannya mesin “perusahaan”.
Lantas, dengan dinamika rumit ini, mungkinkah “investor” besar baru ini bisa mendominasi partai pohon beringin ini? Mengapa “investor” luar ini bisa saja mengubah dinamika Golkar?
Jokowi “Mataramisasi” Golkar?
Bisa dibilang, Golkar berjalan layaknya sebuah perusahaan yang memiliki banyak investor dan pemegang saham yang punya banyak kepentingan berbeda. Namun, apa jadinya bila seorang “investor” baru yang begitu besar datang?
Mungkin, inilah yang tengah terjadi dengan kedatangan seorang Jokowi. Jokowi sendiri bisa dibilang bukanlah politikus biasa, bahkan Kishore Mahbubani menyebutnya sebagai politikus jenius dalam tulisannya yang berjudul “The Genius of Jokowi” di Project Syndicate.
Bila benar Jokowi berusaha mendominasi Golkar melalui sosok ketum yang dipilihnya, entah Bahlil atau Gibran, bukan tidak mungkin Jokowi akan kembali menjalankan konsepsi kekuatan politik ala budaya politik Jawa.
Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul “Jokowi dan Kembalinya ‘Raja Jawa’”, konsepsi kekuatan politik dalam budaya Jawa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson bisa digambarkan dalam bentuk mandala, di mana di dalamnya terdapat dua lapis lingkaran, yakni lingkaran keraton dan lingkaran mancanegara.
Lingkaran keraton adalah sang raja dan istananya. Sementara, lingkaran mancanegara adalah entitas-entitas politik yang masuk dalam mandala kerajaan. Biasanya, mereka yang ada di mancanegara adalah subjek dari sang keraton.
Karena polanya berbentuk mandala, semakin ke tengah, semakin kuat juga pengaruh sang raja. Sang raja juga menjadi pusat kekuatan dari kerajaan.
Anggap saja Jokowi adalah sang raja. Dengan pengaruhnya yang begitu kuat, orang-orang akan berusaha menuju ke pusat mandala untuk mendapatkan perlindungan atau sebagian dari pengaruhnya.
Lantas, bagaimana dengan kasus Golkar? Bukan tidak mungkin, budaya politik ala Jawa atau Kerajaan Mataram ini juga tengah diterapkan oleh Jokowi.
Dengan pengaruhnya yang kuat, mereka yang berada di Golkar juga akhirnya berusaha memusatkan diri mereka ke Jokowi. Airlangga, misalnya, meski terancam oleh wacana ketum baru, dirinyapun tetap berusaha mengadakan uji coba kebijakan makan siang gratis yang disebut menjadi upaya Airlangga untuk menyenangkan Jokowi.
Bukan tidak mungkin, dengan cara-cara politik seperti ini, Jokowi-pun bisa “mengakuisisi” Golkar secara lambat laun. Layaknya sebuah perusahaan, dengan “akuisisi” ini, tentu Jokowi bisa saja memiliki “aset” dan “kapital” yang lebih besar untuk mempengaruhi dinamika politik ke depannya. (A43)