Beberapa waktu yang lalu, Rover penjelajah Perseverance milik NASA berhasil mendarat di Mars. Pencapaian ini membuat narasi ekspedisi ke Mars kembali menjadi pemberitaan hangat dunia. Lantas, dengan Presiden Jokowi yang dikenal menerapkan politik mercusuar, mungkinkah sang RI-1 juga berminat mengirim pesawat ke Planet Merah?
“Curiosity is one of the great secrets of happiness.” – Bryant H. McGill, aktivis asal Amerika Serikat
Siapa yang tidak mengenal Neil Alden Armstrong. Ia adalah manusia pertama yang menginjakkan kaki di permukaan Bulan. Terlepas dari berbagai keraguan atas kisahnya, ikoniknya nama Armstrong menunjukkan betapa kuatnya hasrat umat manusia untuk menjelajah luar angkasa.
Terkait hasrat ini, ada kisah menarik dari India. Berawal dari keberhasilan satelit Chandrayaan-1 yang menancapkan bendera India di Bulan pada Oktober 2008, India kemudian memustukan mengirim satelit bernama Mars Orbiter Mission (MOM) pada November 2011 dan hebatnya langsung berhasil memasuki orbit Mars pada 24 September 2014.
Keberhasilan ini adalah rekor bagi India sebagai negara Asia pertama yang mampu tiba di Mars, setelah pada 2011 Tiongkok gagal melakukan misi serupa.
Saat ini, diskursus mengenai ekspedisi ke Mars kembali menjadi pembahasan dunia usai Rover penjelajah Perseverance milik NASA berhasil mendarat di Mars bersama dengan helikopter Ingenuity. “I’m safe on Mars. Perseverance will get you anywhere.” Begitu cuitan dari @NASAPersevere pada 19 Februari.
Tidak hanya Tiongkok, India, dan Amerika Serikat (AS). Uni Emirat Arab dan Rusia juga memiliki misi ekspedisi ke Planet Merah. Terkait misi ekspedisi ini, ada berbagai pertanyaan menarik dan tajam.
Pada kasus India, misalnya, mengapa negara yang dipimpin Nahendra Modi itu justru menghabiskan jutaan dolar untuk mengirim satelit ke Mars, alih-alih menggunakannya untuk menanggulangi bencana kelaparan dan kesehatan.
Menurut National Geographic, sampai saat ini lebih dari 80 persen lautan bahkan belum pernah dipetakan, dieksplorasi, atau bahkan dilihat oleh manusia. Uniknya, persentase tersebut ternyata jauh lebih besar daripada permukaan Bulan dan Mars yang telah dipetakan dan dipelajari.
Baca Juga: Jokowi Perlu Dirikan Melayu Raya?
Ini tentu aneh. Dengan besarnya peran lautan dalam kehidupan manusia, mengapa umat manusia justru lebih tertarik mengeksplorasi planet yang jaraknya sekitar 55-62 juta kilometer daripada lautan yang berada di depan matanya?
Lalu, apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memiliki keinginan untuk melakukan misi eksplorasi ke Mars?
Manusia sebagai Homo Quaerens
Dalam berbagai tulisan, uniknya alasan fundamental ke Mars disebutkan adalah kuriositas (curiosity) atau rasa ingin tahu semata. Alasan ini berkorelasi dengan penegasan filsuf Nicholas Rescher yang menyebut manusia sebagai Homo Quaerens atau Inquiring Human.
Manusia secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, khususnya filsafat, dikenal istilah yang disebut dengan “pertanyaan besar” (the big questions) yang tampaknya akan terus ada dalam peradaban manusia.
David Roochnik dalam bukunya Retrieving the Ancients: An Introduction to Greek Philosophy menulis, sebelum era filsuf besar yang jamak kita kenal saat ini, seperti Socrates, Plato (Platon), dan Aristoteles, sebelumnya terdapat era filsuf alam dengan tokohnya seperti Thales dan Heraclitus.
Awalnya, pertanyaan filsafat berkutat pada tesis-tesis kosmologis, yakni apa asal-usul kehidupan. Thales yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat Barat mengeluarkan tesis ikoniknya bahwa kehidupan berasal dari air.
Uniknya, sejak Thales (sekitar 585 tahun sebelum masehi) sampai saat ini, pertanyaan terkait asal-usul kehidupan masih ada dan masif. Ada pula pertanyaan-pertanyaan besar lainnya, seperti “siapa kita”, “mengapa kita hidup”, “apakah ada kehidupan lain selain manusia”, dan seterusnya.
Besarnya minat terhadap teori evolusi, misalnya, adalah bentuk dari pengejawantahan manusia untuk mencari tahu atau setidaknya menerka-nerka terkait asal-usul dirinya.
Baca juga: Perang Vaksin AS-Tiongkok Bayangi Jokowi?
Rasionalisasi sebagai Homo Quaerens tampaknya dapat diandalkan, menimbang pada kemungkinan manusia hidup di Mars memiliki persentase yang begitu kecil.
Megan Ray Nichols dalam tulisannya If we successfully land on Mars, could we live there?, misalnya, menyebut berbagai faktor mengapa kehidupan sulit dilakukan di Mars.
Atmosfer Mars sebagian besar mengandung karbon dioksida, permukaan planetnya terlalu dingin untuk menopang kehidupan manusia, dan gravitasi planetnya hanya 38 persen dari Bumi, plus atmosfer di Mars setara dengan sekitar satu persen atmosfer Bumi di permukaan laut.
Persoalan-persoalan itu membuat Nichols menulis, “Landing is one thing. Thriving is another.” Mendarat adalah satu hal. Berkembang (membangun kehidupan) adalah hal lain.
Akan tetapi, berbeda dengan era filsuf Yunani Kuno yang tergerak secara personal untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan besar, di tengah peradaban manusia saat ini, apakah pertanyaan tulus semacam itu memungkinkan?
Bukan Masalah Kuriositas Semata?
Azam Shaghaghia dan Konstantinos Antonakopoulos dalam penelitiannya yang berjudul The Societal Impacts of a Mars Mission in the Future of Space Exploration menyelidiki dampak sosial misi Mars dari sudut pandang pemangku kepentingan.
Menurut Shaghaghia dan Antonakopoulos, realisasi misi ke Mars ditunjang oleh tiga faktor berikut, yakni (1) kerja sama internasional, (2) pertumbuhan dan pembangunan ekonomi untuk stabilitas pendanaan, serta alokasi sumber daya yang berkelanjutan, (3) plus teknologi pendukung.
Menariknya, mereka memberikan perhatian lebih terhadap dua faktor pertama. Bagaimanapun, dengan proyek yang tidak murah, realisasi misi ke Mars membutuhkan sokongan dana pemerintah atau swasta, serta kerja sama internasional untuk berbagi teknologi.
Di sini, peran pemangku kebijakan menjadi penting. Pasalnya, mereka harus membuat masyarakat memiliki “kesadaran ilmiah” dan meyakinkan mereka agar negara dapat mengalokasikan dana untuk proyek eksplorasi ke planet yang jaraknya puluhan juta kilometer tersebut.
Nah, berbicara persoalan negara dan hubungan internasional, tentu sulit melepaskannya dari persoalan politik.
Richard Leakey dalam bukunya The Origin of Humankind, menjelaskan mengapa para antropolog awalnya tidak suka dan tidak setuju dengan pendapat Charles Darwin yang menyebut asal-muasal spesies manusia berasal dari Afrika.
Menariknya, alasannya ternyata lebih berbau politik daripada akademik. Saat itu, berbagai pihak, khususnya kolonial, melihat Afrika secara rendah. Menurut mereka “tidak pantas” Benua Hitam itu menjadi tempat awal makhluk mulia seperti Homo Sapiens.
Richard juga turut membagikan kisah ayahnya, Louis Leakey. Pada tahun 1931, ketika ayahnya memberitahu rencananya ke mentor akademiknya di Cambridge University untuk mencari asal-usul manusia di Afrika Timur, Louis benar-benar didesak agar memusatkan pencariannya ke Asia.
Dalam sejarah dunia, kita juga mengenal era Perang Dingin, di mana AS dan Uni Soviet beradu dalam kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kisah Neil Armstrong yang begitu ikonik adalah bentuk kemenangan negeri Paman Sam dalam kontestasi tersebut.
Baca Juga: Jokowi, Biden, dan Perang Dingin Baru
Seperti yang ditunjukkan oleh Richard Leakey, riset akademik pada dasarnya sulit bebas-nilai, khususnya terkait sokongan dana. Dalam realitasnya, arah riset kerap kali harus mengikuti keinginan atau kepentingan para pemodal.
Sementara terkait hubungan internasional, ajang negara-negara yang mengirim satelit ataupun pesawat ke Mars adalah apa yang disebut dengan Space Race atau perlombaan luar angkasa. Tidak hanya sekadar untuk mengeksplorasi Mars, melainkan juga sebagai ajang untuk menunjukkan superioritas ilmu pengetahuan. Siapa negara yang paling maju. Ini juga soal prestige (gengsi).
Jika misi ke Mars adalah ajang unjuk gigi, apakah Presiden Jokowi juga memiliki keinginan serupa?
Politik Mercusuar
Di era Orde Lama, praktik politik Presiden Soekarno melahirkan istilah yang dikenal sebagai politik mercusuar. Untuk menarik perhatian dunia internasional serta menunjukkan Indonesia adalah negara yang maju dan mampu, Soekarno secara mengejutkan ingin menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 1962, padahal kondisi ekonomi tengah sulit dan belum stabil saat itu.
Selain menjadi tuan rumah Asian Games ke-4, Soekarno juga banyak membangun bangunan, patung dan monumen ikonik. Beberapa di antaranya adalah Masjid Istiqlal, Monas, Kompleks Gelora Senayan, dan Tugu Selamat Datang. Alasannya sederhana, demi wibawa internasional.
Menariknya, Presiden Jokowi juga dinilai melakukan praktik politik serupa. Ihwal ini yang dinilai menjadi salah satu alasan mantan Wali Kota Solo tersebut menggalakkan berbagai proyek infrastruktur, meskipun memiliki dampak ekonomi yang cukup berat.
Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, misalnya, meskipun dikalkulasikan tidak menguntungkan, Presiden Jokowi disebut bangga dengan proyek ini.
Baca Juga: Jokowi di Pusaran Kereta Cepat Tiongkok
Lantas, jika benar Presiden Jokowi juga menerapkan politik mercusuar dan mungkin juga ingin memiliki wibawa internasional seperti Soekarno, apakah Presiden dengan jargon “Kerja, Kerja, Kerja” ini memiliki keinginan untuk terlibat dalam Space Race ke Mars?
Pada 12 Desember 2020, berdasarkan keterangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Presiden Jokowi ternyata mengajak Tesla untuk melihat Indonesia sebagai launching pad (landasan peluncuran) bagi SpaceX. Seperti yang diketahui, Elon Musk bersama SpaceX juga tengah menjajaki proyek ke Mars.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 23 Mei 2017, Presiden Jokowi juga mengungkit persoalan proyek ke luar angkasa. Menurutnya, berbeda dengan negara maju yang memikirkan kehidupan masa depan dan memiliki proyek ke luar angkasa, kita justru masih disibukkan dengan urusan debat, saling menghujat, dan saling menjelekkan.
Nah, dengan nilai proyek infrastruktur yang mencapai ribuan triliun rupiah (anggaran infrastruktur 2021 mencapai Rp 417 triliun), dan mengacu pada India yang berhasil mendaratkan Mars Orbiter Mission (MOM) dengan biaya sekitar satu triliun rupiah (US$ 73 juta), sekiranya bukan hal sulit jika Presiden Jokowi ingin terlibat dalam Space Race.
Jika berhasil, atau setidaknya terlibat, ini tentu merupakan kebanggaan tersendiri. (R53)