HomeHeadlineJokowi Abaikan “Trauma Soeharto”?

Jokowi Abaikan “Trauma Soeharto”?

Penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai penjabat (Pj.) Bupati Seram Bagian Barat menuai polemik karena sosoknya yang masih merupakan anggota TNI aktif. Polemik itu seolah semakin menunjukkan bahwa proses penetapan pejabat pengganti mengabaikan aspek psikologis politik masyarakat. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diundur dan akan berlangsung serentak pada tahun 2024 membuat sejumlah kota dan kabupaten harus dipimpin oleh penjabat (Pj.) sementara.

Akan tetapi, kesepakatan itu meninggalkan residu tersendiri mengenai polemik latar belakang sosok kepala daerah pengganti sementara. Salah satunya adalah yang terjadi di Kabupaten Bupati Seram Bagian Barat.

Ya, pemerintah telah memutuskan menunjuk Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Andi Chandra As’aduddin untuk menjadi Pj. Bupati Seram Barat.

Ihwal yang membuatnya menjadi perdebatan sampai saat ini ialah, Brigjen Andi Chandra masih merupakan anggota TNI aktif. Perdebatan itu sesungguhnya sangat wajar. Hal itu berangkat dari pemahaman publik secara umum telah menyangsikan eksistensi sosok militer aktif sebagai seorang pemegang otoritas tertinggi di daerah pasca Reformasi. Apalagi ketika sang pejabat dipilih dengan mekanisme yang tak melibatkan partisipasi masyarakat.

Merespons sorotan publik, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memperkenankan anggota TNI/Polri aktif dapat menjadi penjabat kepala daerah. Dengan catatan, yang bersangkutan tidak aktif secara fungsional di institusi induknya, tetapi ditugaskan di institusi atau birokrasi lain.

Beleid yang dimaksud mantan Ketua MK itu sendiri merujuk pada Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang menurut sejumlah pihak tetap tidak relevan untuk menjadi dasar penetapan Brigjen Andi Chandra.

infografis nasihat pak mahfud

Salah satu ketidaksepakatan terkait rujukan tersebut datang dari koalisi masyarakat sipil, yakni Perludem, Kode Inisiatif, Pusako Universitas Andalas dan Puskapol Universitas Indonesia (UI) yang menyampaikan sejumlah hal mengapa penunjukan alumni Akademi Militer (Akmil) tahun 1991 itu bermasalah.

Perwakilan koalisi yang juga peneliti Kode Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana menyatakan bahwa penunjukan Brigjen Andi Chandra berbenturan dengan Undang-Undang (UU) Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang telah mengatur bahwa Pj. bupati dan wali kota hanya dapat berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama.

Sementara jabatan Kabinda yang diemban Brigjen Andi Chandra sendiri bukan merupakan JPT pratama sebagaimana telah menjadi prasyarat mutlak.

Hal berikutnya adalah terkait status anggota TNI aktif Brigjen Andi Chandra yang dinilai bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

UU TNI dengan tegas menyebut bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Hal tersebut semata-mata menjamin amanat Reformasi, terutama untuk membangun institusi TNI yang profesional, tidak terikat pada kepentingan politik, dan sebagai wujud penghormatan terhadap supremasi sipil.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Sayangnya, instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri sebelum penunjukan Pj, kepala daerah tidak banyak menegaskan pentingnya ketaatan terhadap konstitusi. Kepala Negara hanya berpesan bahwa Pj. kepala daerah harus diisi sosok yang memiliki kepemimpinan yang kuat, mampu menjalankan tugas berat di tengah situasi ekonomi global yang tak mudah, dan mempersiapkan kelancaran Pemilu dan Pilkada 2024.

Lalu, apakah yang dapat dimaknai dari kontroversi penunjukan Brigjen Andi Chandra sebagai Pj Bupati Seram Barat ini?

infografis sinyal sinyal jokowi

Jokowi Abaikan Trauma Rakyat?

Presiden Jokowi menjadi sosok kunci di balik keputusan penunjukan Pj. kepala daerah. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benny Irwan.

Secara teknis, Benny menjelaskan bahwa proses usulan seluruh nama calon Pj. kepala daerah harus melalui pembahasan dalam sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin langsung oleh presiden. Sidang itu juga dihadiri oleh sejumlah pimpinan kementerian dan lembaga, yakni Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Sekretaris Kabinet (Seskab), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kapolri sebagai referensi Presiden Jokowi terhadap calon-calon yang ada.

Namun, nihilnya perwakilan masyarakat menjadi esensi yang patut disayangkan dari mekanisme dan komposisi TPA itu dalam memutuskan sosok Pj. kepala daerah.

Padahal, reaksi berupa kritik yang mengiringi terpilihnya Brigjen Andi Chandra semestinya dapat diantisipasi oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Esensi mengenai kekhawatiran mekanisme yang tidak demokratis plus penunjukan seorang militer aktif seolah menggambarkan kekhawatiran politik memori yang membentuk ingatan kolektif di era pemerintahan Orde Baru (Orba) Soeharto. Kala itu pelaksanaan politik dan pemerintahan yang demokratis memang cukup jauh panggang dari api.

Dalam buku yang berjudul The Collective Memory, Maurice Halbwach menjelaskan bahwa ingatan kolektif didefinisikan sebagai model framing sosial yang mengintegrasikan pemahaman individu terhadap suatu persoalan, tidak terkecuali karakteristik politik dan pemerintahan di masa lalu.

Maurice mengatakan, ingatan kolektif tertanam di dalam pikiran kolektif masyarakat tersebut sebagai sebuah kelompok, misalnya dalam bentuk berbagai monumen, cerita-cerita, serta pengalaman dalam melalui sebuah masa yang tersebar di masyarakat.

Ingatan itu lantas memiliki signifikansi penting sebagai representasi sahih dari aspek psikologi publik ketika dikemukakan banyak orang dalam sebuah diskursus seperti yang dikatakan Henri Bergson dalam publikasi berjudul Collective memory karya Bridget Fowler.

Pada konteks penunjukan Brigjen Andi Chandra. Peneliti Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana juga menyoroti justifikasi Mahfud MD soal putusan MK. Dia mengingatkan bahwa pelaksanaan putusan hukum apapun harus tetap berlandaskan pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.

Tak hanya itu, MK sebenarnya juga memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan serta mekanisme pelaksana yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk transparansi.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Artinya, patut dipertanyakan apakah Presiden Jokowi mengabaikan “trauma” dan aspek psikologis publik atas polemik penunjukan militer aktif yang semestinya telah diantisipasi oleh pemerintah.

Jika sedikit menengok ke belakang, Kepala Negara juga agaknya melakukan pengabaian serupa dengan tak merisaukan ingatan kolektif masyarakat atas trauma Tragedi 1998. Ya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu seolah bergeming saat eks-Tim Mawar masuk ke jajaran pejabat Kementerian Pertahanan (Kemhan) meski menuai banyak kritik.

Lantas, mengapa mekanisme penunjukan Pj. kepala daerah yang kontroversial itu tetap dipilih?

infografis jokowi viral di malaysia

Demi Satu Komando Jokowi?

Walaupun menuai kritik, Brigjen Andi Chandra mungkin saja dapat menunaikan tugasnya dengan baik jika berkaca pada rekam jejaknya sebagai perwira pasukan khusus bidang intelijen yang cukup mahir, khususnya di wilayah Seram Barat.

Apalagi, persoalan spesifik di sana seperti kerentanan konflik horizontal hingga manuver bawah tanah untuk menyalahgunakan anggaran oleh oknum pejabat daerah kiranya dapat ditangani dengan kemampuan Brigjen Andi Chandra.

Hal itu cukup sejalan dengan analisa pengamat intelijen Universitas Indonesia (UI), Diyauddin yang mengatakan bahwa meski intelijen negara tidak boleh bersentuhan dengan politik, mayoritas kerja-kerja intelijen dilakukan untuk memastikan terciptanya situasi yang kondusif di masyarakat.

Satu sampel itu bisa saja menjadi pertimbangan Presiden Jokowi dalam menentukan siapa kepala daerah, kendati tampak bersifat subjektif. Namun, kembali lagi bahwa seharusnya pertimbangan tersebut tidak melampaui peraturan dan hakikat terpilihnya seorang pemimpin dalam sebuah ekosistem yang demokratis.

Well, satu hal logis yang saling terkait dan kemungkinan menjadi basis utama dipilihnya sistem penunjukan kepala daerah interim ialah hakikat dari para pejabat aktif yang merupakan aparatur sipil negara (ASN).

Seperti yang diketahui bersama, wajib memiliki netralitas terhadap politik merupakan sifat mendasar aparatur negara, termasuk anggota TNI dan Polri. Kendati begitu, mereka wajib memiliki kepatuhan terhadap para pemimpin hasil proses politik yang barang tentu memiliki kepentingan beragam.

Selain itu, inti dari apa yang dikemukakan Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Prince juga dapat menjadi latar belakang Pj. kepala daerah yang seolah dipilih secara subjektif.

Mengacu pada filsuf Italia itu, demi kepentingan memperkuat pengaruh politik, penguasa selalu menempatkan orang-orang kepercayaannya agar dapat melakukan kontrol ataupun intervensi kebijakan.

Artinya, impresi atas kesan tak demokratisnya penunjukan beserta reaksi publik yang muncul setelahnya, dapat ditafsirkan sebagai cara Presiden Jokowi memudahkan dirinya untuk memegang komando efektif bagi stabilitas politik daerah hingga 2024.

Tentu akan ada sejumlah penafsiran lanjutan mengenai kepentingan yang bersifat politis lainnya dan terlihat samar. Akan tetapi, keputusan telah dibuat dan publik tinggal mengharapkan agar para Pj. kepala daerah dapat melaksanakan tugasnya sebaik mungkin bagi kepentingan rakyat. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?