Diangkatnya Maruli Simanjuntak sebagai Pangkostrad menambah deretan pengangkatan pejabat tinggi TNI di pemerintahan Jokowi yang dinilai tidak memperhatikan persepsi publik. Apakah mungkin Presiden Jokowi mengabaikan persepsi publik dalam keputusannya?
Pengangkatan Maruli Simanjuntak sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) ramai dinilai publik sebagai politik akomodatif. Bukan tanpa alasan, Maruli adalah menantu dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Sebelumnya, juga ada nama menantu dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono, Andika Perkasa, yang diangkat sebagai Panglima TNI.
Mengutip Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, Luhut dan Hendro adalah purnawirawan TNI yang diandalkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjembatani hubungan dengan militer di periode pertama kepemimpinannya.
Menurut Evan, Presiden Jokowi mengandalkan berbagai purnawirawan berpengaruh di periode pertamanya karena belum memiliki pengalaman dalam mengelola hubungan dengan militer.
Tidak hanya pengangkatan yang berkaitan dengan ikatan keluarga, ada pula pengangkatan yang mengundang tanda tanya, khususnya dari segi persepsi publik. Diangkatnya eks Tim Mawar, Untung Budiharto menjadi Pangdam Jaya, misalnya, melahirkan hujan kritik dari para pegiat HAM. Selain Untung, ada pula lima eks Tim Mawar yang sekarang mendapat posisi di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pimpinan Prabowo Subianto.
Kelimanya adalah Dadang Hendra Yudha sebagai Dirjen Potensi Pertahanan Kemhan, Yulius Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan (Kabainstrahan) Kemhan, Fauzambi Syahrul Multhazar sebagai Kepala Satuan Pengawas Universitas Pertahanan (Kasatwas Unhan), Chairawan K. K. Nusyirwan sebagai Asisten Khusus Kemhan, dan Nugroho Sulistyo Budi sebagai Staf Ahli Bidang Politik Kemhan.
Menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, pengangkatan-pengangkatan tersebut pada dasarnya tidak salah. Yang menjadi masalah adalah, karena Presiden Jokowi terkesan mengabaikan persepsi publik di dalam keputusannya.
Jika analisis Fahmi tepat, konteks ini dapat menjadi persoalan tersendiri. Mengutip ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust, perasaan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Tentu pertanyaannya, dengan intensi Presiden Jokowi untuk soft landing (pendaratan yang lembut) dan meletakkan legacy (warisan) politik di akhir masa jabatannya, mengapa peringatan Fukuyama terlihat diabaikan?
Dua Pandangan Filosofis?
Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan dua pandangan filosofis, yang tampaknya digunakan sekaligus oleh Presiden Jokowi. Pertama adalah konsekuensialisme, dan kedua adalah dalil-dalil kekuasaan ala Machiavellianisme.
Terkait yang pertama, ini sudah ditunjukkan secara kentara oleh Presiden Jokowi. Dalam pidato pelantikannya untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019, misalnya, di hadapan tamu-tamu penting negara, RI-1 memberi penegasan berulang bahwa orientasi pada proses harus diubah menjadi orientasi pada hasil-hasil yang nyata. Penegasan tersebut jelas menunjukkan diktum konsekuensialisme yang menitikberatkan pada konsekuensi daripada proses atau niat baik.
Pada Desember 2015, Presiden Jokowi juga mengeluarkan pernyataan serupa di hadapan para menteri ketika rapat kerja di Istana Bogor. Tegasnya, orientasi pada prosedur harus diubah menjadi orientasi pada hasil.
Sementara, yang kedua, konteksnya terlihat dari pengangkatan mereka yang masuk dalam radar orang-orang kepercayaan Presiden Jokowi. Aris Santoso dalam tulisannya Jokowi dan Jejaring Perwira Solo, menyebutkan bahwa, dalam menentukan posisi di TNI dan Polri, ada kecenderungan RI-1 untuk memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo.
Aris mencontohkan pengangkatan Hadi Tjahjanto sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan kemudian sebagai Panglima TNI. Ternyata, hubungan Presiden Jokowi dan Hadi sudah terjalin sejak tahun 2010. Saat itu, RI-1 masih menjadi Wali Kota Solo sedangkan Hadi adalah Komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo.
Pengamat militer Khairul Fahmi juga melihat tendensi yang dijelaskan Aris. Namun, dalam catatannya, kecenderungan tersebut pada dasarnya tidak masalah asalkan figur yang dipilih memenuhi kompetensi yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dalam pandangan Fahmi, pengalaman interaksi dan kerja sama yang sudah pernah terjalin merupakan referensi kuat dan meyakinkan dalam pengelolaan formasi tim dan pembantu Presiden.
Apa yang dijelaskan Fahmi, adalah apa yang dijelaskan oleh Niccolò Machiavelli pada tahun 1513 dalam bukunya yang terkenal, Il Principe. Menurut Machiavelli, penguasa yang berasal dari orang-orang baru akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.
Machiavelli mencontohkannya pada kasus Duke Ferrara di Italia yang mampu bertahan dari serangan-serangan Venesia pada tahun 1484 dan serangan Paus Julius pada tahun 1510. Menurutnya, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keluarga Ferrara yang memang memegang kekuasaan dari dahulu kala. Oleh karenanya, ini membuat friksi kepentingan yang berakibat pada runtuhnya soliditas tidak banyak terjadi.
Demi kepentingan memperkuat pengaruh politik, penguasa selalu menempatkan orang-orang kepercayaannya agar dapat melakukan kontrol ataupun intervensi kebijakan. Meskipun terdengar melanggengkan nepotisme, praktik ini nyatanya memang mesti dilakukan karena perumusan kebijakan yang efektif lebih mudah dilakukan apabila bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah dipercayai sebelumnya.
Pola seperti ini bukan tidak mungkin juga terjadi pada konteks Presiden Jokowi karena, menurut Sita W. Dewi dan Margareth Aritonang dalam tulisannya Understanding Jokowi’s Inner Circle, Presiden Jokowi disebut sebagai sosok yang sulit percaya dengan orang lain.
Kembali pada pengangkatan berbagai pejabat tinggi TNI sebelumnya, seperti penegasan Khairul Fahmi, sering kali masyarakat hanya fokus pada aspek kekerabatan ataupun relasi hubungan personal tetapi luput menilai kualitas dan kompetensi dari pejabat yang dipilih.
Persepsi Tetaplah Dibutuhkan
Di titik ini, mungkin dapat disimpulkan, jika benar Presiden Jokowi memegang dua pandangan filosofis tersebut, maka itu menjawab dugaan terkait diabaikannya persepsi publik. Penegasan pada hasil dan memegang dalil penempatan pejabat dari Machiavelli tampaknya membuat RI-1 tidak menjadikan persepsi publik sebagai variabel dalam pengangkatan pejabat tinggi TNI.
Jika benar demikian, Presiden Jokowi tampaknya perlu mendengar nasihat Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Dalam bukunya, Fukuyama memberikan perhatian khusus pada trust atau kepercayaan, karena dinilai sebagai elemen penting dalam membentuk social capital.
Berbeda dengan human capital, di mana komunitas masyarakat bekerja sama di atas kepentingan atau transaksi tertentu, social capital adalah bentuk kerja sama yang semata-mata tumbuh di atas rasa saling percaya dan pembiasaan terhadap norma-norma moral.
Menurut Fukuyama, masyarakat high-trust dapat mengorganisasikan kerja sama dengan basis yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kelompok. Pada hasilnya, ini membuat usaha-usaha dapat terus muncul dan berkembang karena iklim pasar yang baik terpenuhi.
Sementara, pada masyarakat low-trust, dibutuhkan intervensi negara untuk mewujudkan pasar karena masyarakat terbelenggu dalam rasa saling curiga satu sama lain. Ini membuat berbagai pihak ragu untuk membuka ataupun mengembangkan usaha.
Andrew Norton dalam tulisannya Filling the 20 Percent Gap: Francis Fukuyama on Trust and Social Capital, menyebut Fukuyama sangat percaya bahwa social capital akan membuat biaya ekonomi menjadi lebih murah dan meningkatkan kapasitas produksi.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kepercayaan adalah komponen vital agar suatu kerja sama dapat terjalin dengan baik di suatu komunitas. Konteks ini tidak hanya terbatas pada aktivitas ekonomi, melainkan juga komunitas politik yang menjadi bagian penting dari ekonomi.
Artinya apa? Kembali pada nasihat Fukuyama tentang pentingnya mengakomodasi persepsi publik, pengabaian terhadap persepsi publik justru dapat mendatangkan backlash bagi Presiden Jokowi yang ingin meletakkan legacy pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Seperti kata Fukuyama, tingginya trust masyarakat terhadap pemerintah berkorelasi dengan iklim ekonomi-politik yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan suatu komunitas negara. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.