Usai pertemuan Joko Widodo (Jokowi)-Prabowo Subianto, lobi-lobi politik terkait posisi-posisi strategis di Kabinet Kerja 2.0 dikabarkan semakin intens dilakukan. Pembagian posisi-posisi tersebut turut berkaitan dengan kompetisi antara kekuatan-kekuatan oligarkis.
PinterPolitik.com
“To make sure I keep up with my competition” – Eminem, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Setelah dinyatakan sebagai presiden terpilih dalam Pilpres 2019, tugas baru yang berat tampaknya datang menghantui Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menyongsong periode keduanya yang akan dimulai pada bulan Oktober nanti, Mantan Wali Kota Solo tersebut perlu mempertimbangkan siapa-siapa saja yang nantinya akan membantunya.
Tentunya, penentuan tersebut perlu disertai dengan berbagai pertimbangan yang berat. Selain ditujukan untuk membantunya dalam pemerintahannya dengan Ma’ruf Amin mendatang, Jokowi tampaknya perlu melakukan perhitungan posisi-posisi strategis di kabinet yang diperuntukkan oleh partai-partai politik pendukungnya. Belum lagi, beberapa parpol non-pendukungnya yang disinyalir akan bergabung bersama Jokowi.
Guna menyongsong bentuk baru pemerintahan tersebut, parpol-parpol mulai ramai menawarkan diri untuk mengisi kursi-kursi kabinet tersebut. Layaknya film serial Game of Thrones, perebutan di antara parpol-parpol ini pun terjadi.
Santernya kabar bahwa Gerindra juga mendapatkan kursi di kabinet berujung pada keenggenan beberapa parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja untuk menerima kemungkinan tersebut. Beberapa di antaranya menekankan kembali pentingnya eksistensi oposisi dalam demokrasi Indonesia.
Selain pentingnya eksistensi oposisi, isu ancaman oligarki kekuasaan turut menjadi perhatian parpol-parpol tersebut. Sekjen Nasdem Johnny G. Plate misalnya, menyatakan bahwa ancaman oligarki kekuasaan akan menghantui Jokowi dan demokrasi Indonesia bila sebagaian besar partai yang ada bergabung dalam pemerintahan.
The oligarchy theorists would say Jokowi is "drawn into the same predatory practices that has defined politics in Indonesia for decades"
— Ross Tapsell (@RossTapsell) October 21, 2016
Ancaman baru tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan. Apakah benar oligarki kekuasaan dapat terbentuk dalam demokrasi dan pemerintahan Indonesia? Lalu, mengapa Johnny mengungkapkan ancaman tersebut?
Kompetisi Oligarkis
Oligarki sebenarnya merupakan isu yang biasa dibahas dalam perpolitikan Indonesia. Terkait dengan Pemilu lalu, oligark-oligark (oligarchs) bisa jadi turut berperan dalam menentukan arah dinamika politik Indonesia.
Sebelum menjelaskan peran oligark dalam Pemilu 2019 lalu, perlu juga dipahami terlebih dahulu apa itu oligarki. Sebagian besar pustaka mendefinisikan oligarki sebagai kekuasaan dan pemerintahan yang dipenuhi oleh segelintir orang. Namun, siapakah segelintir orang tersebut?
Profesor ekonomi politik Jeffrey A. Winters dari Northwestern University dalam bukunya yang berjudul Oligarchy menjelaskan bahwa oligark merupakan orang yang memiliki komando dan kontrol pada sumber-sumber material yang masif yang dapat digunakan untuk melindungi atau meningkatkan kekayaan dan posisi sosial yang eksklusif.
Dengan sumber-sumber material yang dimilikinya, oligark dapat memengaruhi situasi politik, ekonomi, dan sosial dalam suatu negara. Kekuatan material inilah yang turut menentukan kuat tidaknya seorang oligark dalam dinamika politik.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintahan oligarkis terjadi di Indonesia?
Mengacu pada tulisan Winters, kejatuhan Soeharto membawa Indonesia ke arah bentuk oligarki baru. Setidaknya, terdampat empat bentuk oligarki, yaitu oligarki kekuasaan, oligarki terpusat, oligarki konfliktual, dan oligarki sipil.
Winters menilai Indonesia pasca-Orde Baru berada di antara dua pola, yakni oligarki sipil dan oligarki kekuasaan. Jatuhnya Orde Baru juga masih menyisakan oligark di kancah politik Indonesia.
Seiring bertumbuhnya kekayaan dan kepentingan oligark-oligark, kompetisi di antara mereka pun terjadi. Winters menjelaskan bahwa para oligark dan elite akan bersaing satu sama lain tanpa adanya pusat kekuatan oligarkis terpusat – seperti oligark utama Presiden Soeharto yang berperan sebagai pengatur kekuasaan pada era Orde Baru.
Oligark-oligark ini akan berkompetisi dengan menggunakan kekayaannya untuk mendapatkan posisi di pemerintahan. Share on XOligark-oligark ini akan berkompetisi dengan menggunakan kekayaannya untuk mendapatkan posisi di pemerintahan. Tentunya, kompetisi tersebut didasari atas kepentingan awal oligark, yaitu untuk melindungi atau meningkatkan kekayaan dan posisinya.
Kompetisi oligarkis ini, menurut Winters, disertai dengan adanya “demokrasi kriminal” di Indonesia, di mana para oligark akan berkompetisi melalui Pemilu yang demokratis, yakni dengan terlibat langsung dalam institusi-institusi parpol, seperti Surya Paloh di Nasdem dan Prabowo Subianto di Gerindra.
Kompetisi tersebut tidak menutup kemungkinan dapat berlanjut setelah Pemilu dilakukan. Posisi-posisi di pemerintahan juga sering kali digunakan oleh negara untuk menjaga agar iklim kompetisi oligarkis tetap teratur.
Namun, upaya untuk menjaga iklim kompetisi tersebut bisa jadi membawa Indonesia menjadi oligarki kekuasaan, di mana para oligark akan berkuasa bersama dalam pemerintahan. Oligarki kekuasaan ini bisa jadi membawa dampak buruk bagi demokrasi.
Pasalnya, oligarki bentuk ini biasanya akan disertai dengan upaya-upaya baru dalam memenuhi kepentingan oligark. Salah satu cara yang dapat digunakan, seperti yang dijelaskan oleh Winters, adalah dengan menggunakan upaya-upaya yang koersif.
Tak Rela Bagi-Bagi?
Adanya kompetisi oligarkis yang turut tersalurkan melalui Pemilu nantinya juga berujung pada alokasi posisi strategis di kabinet. Posisi-posisi jabatan publik tersebut dinilai penting bagi para oligark.
Winters dalam tulisan lainnya yang berjudul Oligarchy and Democracy in Indonesia menjelaskan bahwa jabatan-jabatan publik menjadi penting bagi para oligark dengan keuntungan di baliknya yang berkaitan dengan upaya oligark untuk meningkatkan kekayaan personal.
Dari jabatan-jabatan publik tersebut juga, para oligark yang berkuasanya biasanya akan melakukan bagi-bagi. Upaya bagi-bagi ini dilakukan guna menentukan siapa-siapa saja yang dapat memperoleh porsi kekayaan yang ada.
Namun, layaknya kelompok-kelompok lainnya, oligarki juga saling bersaing dalam pertarungan-pertarungan politik. Akibatnya, tidak adanya koherensi di antara para oligark dalam upaya bagi-bagi tersebut bisa saja terjadi.
Bisa jadi, apa yang diutarakan oleh Johnny terkait oligarki juga berhubungan dengan kemungkinan bergabungnya Gerindra dalam pemerintahan Jokowi – mengingat terdapat juga kepentingan oligarkis di belakang partai Nasdem. Gerindra sendiri – mengacu pada buku Winters – turut didukung oleh oligark, seperti Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo.
Partai yang akarnya berasal dari ormas tersebut merupakan partai yang bersifat personalistik, di mana terdapat sosok Paloh yang menggunakan Nasdem sebagai kendaraan politik untuk mengincar posisi tertinggi pemerintahan.
Sebagai oligark, Paloh bisa jadi memiliki kepentingan untuk melindungi atau meningkatkan kekayaan personalnya. Kepentingan tersebut bisa jadi tergambarkan dalam beberapa bisnisnya yang berkaitan dengan pemerintah.
Selain itu, kepentingan oligarkis Paloh boleh jadi juga tergambarkan melalui kedekatannya dengan suatu perusahaan luar negeri. Paloh sendiri pernah mengaku bahwa dirinya mendorong presiden untuk meningkatkan investasi dan kerja sama perusahaan tersebut.
Dukungan Paloh pada Jokowi pada Pilpres 2014 juga bisa jadi didasarkan pada kepentingan oligarkisnya. Seperti yang dijelaskan oleh Ross Tapsell dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Media Oligarchy and the “Jokowi Phenomenon,” Jokowi juga mendapatkan dukungan dari Paloh berupa eksposur media.
Kepemilikan media pun dinilai dapat digunakan dalam kompetisi oligarkis. Seperti terjadi negara-negara bekas Uni Soviet yang pseudo-demokratis, media digunakan oleh oligark untuk menciptakan opini publik yang positif sekaligus untuk menegasikan oligark lawan.
Meski Paloh merupakan salah satu oligark yang terjun dalam politik Indonesia, gambaran jelas mengenai lobi-lobi politik kabinet Jokowi 2.0 belum dapat dipastikan. Jokowi sendiri sampai saat ini masih belum mengumumkan nama-nama yang dipilih sebagai menteri-menteri dalam kabinet barunya.
Yang jelas, Pemilu dan demokrasi dalam perpolitikan Indonesia turut diwarnai kompetisi di antara para oligark itu sendiri. Layaknya kompetisi pada umumnya, masing-masing oligark dalam hal ini tentu memiliki cara dan keinginan tersendiri untuk menang.
Namun, jika benar begitu, lirik Eminem di awal tulisan mungkin dapat menggambarkan kompetisi tersebut. Posisi-posisi kabinet boleh jadi merupakan hal penting dalam upaya menaikkan level sang oligark dalam kompetisi yang tengah diikutinya. (A43)