Menkominfo Johnny G. Plate tengah menuai sorotan perihal pernyataannya di acara Mata Najwa. Dalam perdebatan mengenai hoaks UU Ciptaker, Johnny menegaskan bahwa jika pemerintah menyebutnya sebagai hoaks, maka itu adalah hoaks. Lantas, apakah itu menunjukkan pemerintah telah melakukan monopoli kebenaran?
“We have freedom of speech. But not freedom after speech” – Steven Gan, dalam Ending the Government’s Monopoly on the Truth
Rocky Gerung. Nama ini mendapat perhatian luas dari publik dan diperhitungkan intelektualitasnya setelah melontarkan pernyataan mengejutkan dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 17 Januari 2017 lalu. Tegasnya, “pembuat hoaks terbaik adalah penguasa”.
Tidak hanya kontroversial, pernyataan tersebut benar-benar berbeda alias out of the box, dan seolah menjadi semacam representasi ketidakpuasan dan kegelisahan publik atas penguasa. Dengan aksentuasinya yang khas, Rocky menyebut hanya penguasa yang dapat menciptakan hoaks yang sempurna karena memiliki seluruh peralatan untuk berbohong, seperti intelijen, data statistik, dan media massa.
Konteks pernyataan Rocky tersebut tampaknya begitu pas kita renungkan perihal polemik disinformasi dan hoaks Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker). Persoalan disinformasi ini memang tengah menjadi perhatian serius. Bagaimana tidak, dengan naskah final yang baru diberikan pada 12 Oktober, uniknya pemerintah sebelumnya membuat klaim bahwa akar penolakan UU tersebut adalah disinformasi dan hoaks.
Tidak hanya itu, pihak Kepolisian bahkan telah melakukan penangkapan terhadap penyebar hoaks UU Ciptaker sebelum naskah finalnya ada. Tentu pertanyaannya, dengan naskah final yang belum dipegang, atas dasar apa hoaks tersebut ditentukan?
Pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny Gerard Plate baru-baru ini di acara Mata Najwa tampaknya menjawab pertanyaan tersebut. Dalam perdebatan mengenai substansi dan disinformasi terkait UU Ciptaker, Johnny menegaskan, “Kalau pemerintah sudah bilang hoaks, ya itu hoaks. Kenapa dibantah lagi?”.
Sontak saja, pernyataan tersebut menimbulkan tafsiran bahwa pemerintah telah melakukan klaim sepihak dan menolak membuka dialog. Lantas, mungkinkah pernyataan Johnny telah menguak fakta bahwa pemerintah telah melakukan monopoli kebenaran?
Monopoly on Truth
Jurgen Balzan dalam tulisannya Government has Monopoly on Truth in Malta yang menjelaskan terkait monopoli kebenaran di Malta tampaknya menarik sebagai bahan komparasi. Mengutip pernyataan wartawan The Shift News, Caroline Muscat, Balzan menyebutkan bahwa satu-satunya kebenaran yang bisa ada di Malta adalah yang diabadikan oleh pemerintah dan segala jenis kritik dianggap sebagai berita palsu.
Lanjutnya, jurnalis dan warga yang kritis terhadap pemerintah menjadi sasaran, didiskreditkan dan diperlakukan tidak manusiawi.
Konteks yang terjadi di Malta dapat lebih kita pahami melalui tulisan Marcos Dono, dan kawan-kawan yang berjudul Development and Validation of the Monopoly on Truth Scale. A Measure of Political Extremism.
Menurut mereka, terdapat trend peningkatan sikap politik yang ekstrem sejak krisis ekonomi dan politik tahun 2008. Ini adalah buah dari diusulkannya Monopoly on Truth (monopoli kebenaran) karena adanya pendasaran pada konsep naïve realism atau realisme naif. Realisme naif sendiri didefinisikan sebagai kecenderungan untuk percaya bahwa gagasan seseorang adalah representasi dunia yang secara objektif dan jujur.
Realisme naif membuat seseorang berpikir bahwa mereka menafsirkan realitas sebagaimana adanya, sehingga semua orang harus setuju dengannya. Jika tidak memiliki pemahaman yang sama, mereka akan memahami orang lain tengah mengalami salah satu atau lebih dari tiga hal berikut.
Pertama, orang lain belum mendapatkan informasi yang sama dengan yang ia miliki. Kedua, orang lain tidak dapat mencapai kesimpulan yang masuk akal dari kenyataan obyektif, atau terlalu malas untuk melakukannya. Ketiga, orang lain telah mendistorsi realitas berdasarkan kepentingan pribadi atau klaim ideologisnya.
Realisme naif tersebut kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Monopoly on Truth. Monopoly on Truth sendiri memiliki karakteristik utama sebagai berikut.
Pertama, kecenderungan untuk percaya bahwa ide politiknya secara obyektif lebih baik dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Kedua, meremehkan ide-ide alternatif, khususnya yang berbeda dengan idenya. Ketiga, kesediaan untuk memaksakan ide-idenya atas nama kebaikan yang lebih besar.
Mengacu pada pernyataan Johnny ataupun langkah penangkapan mereka yang disebut menyebar hoaks, mungkin dapat dikatakan bahwa pemerintah telah terjebak dalam realisme naif sehingga melakukan monopoli kebenaran.
Hal tersebut juga menjadi kritik seorang pegiat anti-hoaks dan literasi digital, Anita Wahid, yang juga mengomentari pernyataan Johnny. Tegasnya, pemerintah sebaiknya tidak memonopoli kebenaran karena itu berbahaya bagi demokrasi serta berpeluang akan terjadinya penyalahgunaan dan pemaksaan narasi.
Simpulan ini juga diperkuat apabila kita melihat track record Kementerian Komunikasi dan Informasi atau Kominfo yang pernah melakukan kesalahan dalam melakukan fact-check alias memberi stempel hoaks.
Pada Agustus 2019 lalu, Kominfo pernah menyebut kicauan Veronica Koman di akun Twitter-nya mengenai pengepungan aparat keamanan dan ormas terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur sebagai hoaks. Padahal, sebagaimana diketahui, kicauan tersebut benar adanya. Peristiwa itu bahkan menjadi preseden atas terjadinya gejolak di Papua tahun lalu.
Selain itu, pada 20 Maret 2020, Kominfo juga mencabut label hoaks terhadap klorokuin yang disebut sebagai obat Covid-19. Menariknya, pencabutan tersebut berdekatan dengan Presiden Jokowi yang memesan tiga juta butir pil klorokuin guna membantu penyembuhan pasien Covid-19.
Lantas, jika benar monopoli kebenaran telah terjadi, apakah dampak negatif seperti yang disebutkan oleh Anita Wahid akan menjadi konsekuensinya?
Tindakan Represif yang Sah
Melihat pada serangkaian penangkapan yang telah terjadi, pernyataan Anita Wahid jelas telah menjadi kenyataan. Akan tetapi, kendati dengan mudah tindakan tersebut kita justifikasi sebagai tindakan yang tidak tepat, berbagai kritik yang ada tampaknya hanya akan menjadi angin lalu.
Max Weber dalam kuliahnya yang berjudul Politics as a Vocation akan membantu kita memahami hal tersebut. Menariknya, Weber menyebutkan bahwa negara pada dasarnya bukanlah satu-satunya aktor yang dapat melakukan tindakan represif. Namun, negara adalah satu-satunya aktor yang secara sah dapat melakukan tindakan tersebut. Selain itu, negara juga dapat memberikan legitimasi tersebut kepada aktor lain tanpa harus kehilangan monopolinya.
Legitimasi monopoli tindakan represif yang lebih ekstrem dapat kita rujuk pada Thomas Hobbes. Dalam bukunya Leviathan, Hobbes bahkan mempromosikan negara totaliter, karena menurutnya, bentuk negara tersebut yang memungkinkan perlindungan penuh terhadap warga negara.
Singkatnya, jika pemerintah telah terjebak dalam realisme naif dan monopoli kebenaran, maka berbagai kritik hanya akan dilihat sebagai “angin lalu” bahkan gangguan. Pasalnya, negara merasa memiliki kewenangan yang sah untuk menerapkan, baik monopoli kebenaran, maupun monopoli tindakan represif.
Apalagi, dengan penerapan hukum positif (positivisme) di Indonesia, ini membuat penerapan hukum bersifat reduksionis dan diasumsikan bebas nilai. Alhasil, berbagai penangkapan dan tindakan represif yang ada dengan mudah disebut sebagai aktualisasi hukum.
Arief Budiono, dan kawan-kawan dalam tulisannya The Theory of Positivism and the Judges’ Social Jurisprudence in Indonesia juga turut menerangkan bahwa penerapan hukum positif di Indonesia telah membuat hukum seolah hanya melindungi kelompok tertentu, dan nilai keadilan belum sepenuhnya tercapai.
Perbedaan perlindungan antara kelompok atas dan bawah masih sering terlihat dan terdengar. Pasalnya, teori positivisme menekankan pada doktrin asas kepastian hukum daripada asas keadilan dan kemanfaatan. Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum kurang tanggap dalam merespons kondisi empiris yang terjadi di masyarakat.
Konteks tersebut misalnya dapat kita lihat dalam berbagai pengesahan produk hukum, seperti revisi UU KPK dan UU Ciptaker. Kita melihat, meskipun dihujani kritik, proses pengesahan nyatanya tetap berjalan. Getirnya, aksi penolakan juga direspons dengan tindakan represif dan penangkapan, yang bahkan mengakibatkan korban jiwa.
Pada akhirnya, kita tentu berharap bahwa pemerintah tidak benar-benar telah melakukan monopoli kebenaran. Jangan sampai sistem politik berbalik seperti di era Orde Baru, di mana kekerasan telah dipahami sebagai suatu kelumrahan dalam merespons kritik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)