Sekalipun beberapa bagian konten debat yang disampaikan tidak sesuai fakta, namun banyak pihak beranggapan bahwa dari sisi performance, Prabowo dan Sandi jauh lebih unggul dibandingkan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Pasangan penantang dianggap lebih soft, santai dan rileks dalam menyampaikan poin-poin mereka, sementara petahana terlihat sedikit kesulitan dan cenderung lebih agresif dan emosional. Faktanya, ada pertarungan psikologis yang sedang terjadi sebab penampilan dan gaya bicara di hadapan publik punya dampak yang besar dalam menentukan hasil akhir kontestasi elektoral.
PinterPolitik.com
“An ounce of performance is worth pounds of promises”.
:: Mae West (1893-1980), aktris, komedian dan screenwriter ::
[dropcap]D[/dropcap]ebat perdana Pilpres 2019 telah usai dan meninggalkan sejuta perdebatan. Mulai dari konten dan fakta-fakta yang disampaikan, serangan-serangan yang dilancarkan oleh kedua belah pihak, hingga penampilan dan teknik komunikasi publik yang digunakan.
Terlepas dari isi debat yang menimbulkan pertanyaan di sana sini, banyak pihak yang menilai performance atau penampilan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di panggung politik tersebut lebih unggul dibandingkan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Prabowo-Sandi dianggap mampu menampilkan chemistry yang baik di antara keduanya, manajemen waktu yang lebih baik, teknik penyampaian gagasan yang terukur, serta mampu lebih mencairkan suasana dengan aksi-aksi keduanya.
Memang, harus diakui beban Jokowi menjadi lebih berat sebab Ma’ruf Amin dengan usianya tentu saja akan menyulitkan mereka berdebat. Share on XPublik misalnya bisa dibuat tersenyum lewat aksi joget yang dilakukan oleh Prabowo atau aksi Sandi yang memijit punggung junjungannya. Sepanjang acara debat tersebut Prabowo juga sangat sering tersenyum – hal yang menjauhkannya dari kesan keras yang selama ini dituduhkan padanya.
Beberapa polling yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Iwan Fals di media sosial juga menunjukkan keunggulan Prabowo-Sandi. Hal serupa juga terjadi pada polling yang dibuat oleh PinterPolitik.com di Instagram, di mana performa debat Prabowo-Sandi unggul dengan persentase di atas 70 persen persen berbanding hanya 20-an persen untuk Jokowi-Ma’ruf Amin.
Ada beberapa faktor yang dianggap menjadi alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Walaupun konten debat yang disampaikan oleh Prabowo-Sandi pada beberapa bagian dinilai tidak sesuai fakta – misalnya ketika menyebut luas Jawa Tengah sama dengan Malaysia – namun penyampain strong points atau poin-poin inti dilakukan keduanya dengan sangat baik.
Selain itu, Prabowo-Sandi dinilai lebih tenang dan smooth sepanjang debat, sementara Jokowi-Ma’ruf – khususnya Jokowi – pada bagian-bagian tertentu terlihat cukup agresif dan ofensif.
Momen Ketika prabowo joget Dan dipijit Sama Sandi. Lucu yah pic.twitter.com/FEuHRFGL3A
— ✌ (@iisayuindrasari) January 17, 2019
Beberapa pihak bahkan menyebut Jokowi lebih agresif daripada Prabowo yang adalah penantang. Hal ini terjadi entah karena memang demikian strategi yang digariskan oleh tim pemenangannya, atau karena sang petahana “termakan” strategi lawannya – selain juga karena faktor Ma’ruf Amin yang membuat Jokowi nampaknya tidak terlalu percaya diri.
Konteks tersebut membuat Prabowo-Sandi dianggap memenangkan pertarungan psikologis dalam debat. Pada beberapa momen, Jokowi terlihat terpancing dan tidak menjawab pertanyaan yang diberikan Prabowo dan menyerang dengan menggunakan isu lain, misalnya ketika ia menyerang lewat kasus Ratna Sarumpaet.
Keunggulan performance – jika ingin disebut demikian – yang dimiliki oleh Prabowo-Sandi ini tentu menjadi pengimbang konteks konten debat mereka. Pertanyaannya adalah apakah hal ini bisa mendatangkan dampak yang positif bagi keduanya?
Prabowo Menangkan Pertarungan Psikologis?
Pertarungan psikologis nyatanya memang menjadi hal yang sangat penting dalam perang, pun demikian dalam kontestasi elektoral. Psychological warfare atau psywar – demikian istilah yang sering digunakan – memang sering dipakai untuk mengacaukan pertahanan dan konsentrasi musuh dalam peperangan.
Psywar memang punya banyak bentuk dan umumnya sering diidentikkan dengan propaganda. Namun, Bela Szunyogh dalam tulisannya yang berjudul Psychological Warfare: An Introduction to Ideological Propaganda and the Technique of Psychological Warfare, menyebutkan bahwa bentuk psywar beragam dan utamanya bertujuan untuk mendapatkan reaksi psikologis dari lawan.
Sering kali reaksi-reaksi psikologis yang timbul membuat lawan secara tidak langsung menjadi goyah, emosional dan salah mengambil langkah atau menerapkan strategi tertentu.
Sejak zaman Tiongkok kuno, serangan psikologis selalu dianggap sebagai hal yang penting dalam peperangan. Bahkan, tidak jarang serangan-serangan psikologis menjadi alat yang efektif untuk memenangkan peperangan itu sendiri.
Strategi serupa juga digunakan oleh banyak pemimpin hebat. Mulai dari Alexander Agung hingga Genghis Khan di Mongol, semuanya memanfaatkan serangan-serangan psikologis tersebut.
Faktanya, srategi serangan psikologis ini juga berlaku dalam konteks politik elektoral, bahkan secara spesifik dalam hal debat Pilpres. Pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 lalu misalnya, konteks psikologis ini mendapatkan perhatian yang lebih, khususnya di kubu Donald Trump.
Politico menulis bahwa tim sukses Trump melakukan pendalaman khusus dan detail tentang psychological profile atau profil psikologis Hillary Clinton yang menjadi lawannya.
Mereka mempelajari bagaimana Hillary menjawab pertanyaan-pertanyaan di forum-forum publik dan mencari kelemahan istri Bill Clinton tersebut atau hal-hal apa yang berpotensi mengganggunya secara psikologis dalam debat. Hal itu kemudian diaplikasikan pada debat-debat kala itu.
Selain itu, debat pertama pun selalu dianggap sebagai pertarungan psikologis ketimbang policy atau kebijakan. Los Angeles Times dalam ulasannya terkait debat Pilpres pertama antara Hillary dan Trump menyebutkan bahwa konteks serangan psikologis itu akan ditunjukkan lewat provokasi, serangan spesifik pada hal tertentu, hingga hal-hal yang bisa ditarik ke sisi personal.
Terkait hal tersebut, jika diperhatikan secara seksama, hal-hal itulah yang terlihat pada debat perdana antara Jokowi-Ma’ruf Amin melawan Prabowo-Sandi. Namun, pasangan terakhir tampaknya jauh lebih well-prepared atau menyiapkan diri dengan matang untuk menghadapi konteks psikologis tersebut. Publik bisa menyaksikan bagaimana Prabowo sangat sering tersenyum sepanjang debat – hal yang punya implikasi positif untuk citranya yang selama ini dianggap keras.
Konteks serangan psikologis ini akhirnya menjebak Jokowi, misalnya ketika Prabowo menanyakan terkait kebijakan impor pangan yang menimbulkan perbedaan pandangan di antara menteri-menterinya. Jokowi juga akhirnya selalu menjawab dengan meminta kubu Prabowo melaporkan berbagai pelanggaran yang ditemukan ke pihak berwajib.
Di akhir debat, publik bisa menyaksikan bagaimana nada bahasa Jokowi menjadi cukup tinggi. Ia menyinggung persoalan HAM masa lalu dan menyebut dirinya bersih – pernyataan yang tentu saja melanggar kesepakatan terkait tidak akan disinggungnya persoalan-persoalan tersebut dalam debat. Artinya, secara psikologis sang presiden tampaknya memang merasa terganggu.
Jokowi juga menolak memberikan komentar positif terkait lawannya, serta menggulung lengan bajunya saat akan bersalaman – hal yang tentu saja menunjukkan ketidaknyamanan orang nomor satu di republik ini.
Sementara Prabowo sebenarnya juga tidak 100 persen mulus dalam hal konteks psikologis tersebut. Ia misalnya cukup terganggu ketika ditanyakan Jokowi soal pengurus utama partai yang hampir tidak ada sosok perempuan di dalamnya. Namun, dibanding Jokowi, Prabowo masih sedikit lebih baik dalam memberikan tanggapan.
Pelajaran Untuk Debat Selanjutnya
Lalu, apakah itu berarti Prabowo-Sandi bisa dibilang unggul? Secara performance dan psikologis debat, jawabannya iya. Namun, dalam hal konten dan fakta-fakta yang disampaikan, masih banyak hal yang harus digarisbawahi lagi dari Prabowo-Sandi yang tentu saja tidak akan dibahas di tulisan ini.
Debat perdana ini memang harus menjadi masukan bagi penyelenggara – dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) – terkait formatnya yang memberikan terlalu banyak batasan. Sementara bagi kandidat-kandidat yang bertarung – terutama kubu Jokowi-Ma’ruf Amin – memang perlu meningkatkan lagi sisi performance.
.
Dari Pada Dengar Penjelasaan Dari " Jaenudin Ngaciroo "
Lebih Baik Kita santai dan Joget
Hahahaa ??????? Nikmati Dan Enjoy ?
Jangan Bawak Tegang Bro !!' pic.twitter.com/42TpKZYXVJ— KOMANDO PRABOWO! (@FandhuW89) January 17, 2019
Pasalnya konteks performance tersebut menjadi salah satu alat ukur publik menilai seorang pemimpin. Thomas Holbrook menyebut konteks debat menjadi sangat penting karena menjadi cara publik mengetahui calon pemimpinnya. Publik juga akan menilai apakah secara psikologis kandidat tertentu layak untuk dipilih atau tidak.
Oleh karena itu, kubu Jokowi setidaknya perlu melihat kembali konteks psikologis debat tersebut. Memang, harus diakui beban Jokowi menjadi lebih berat sebab Ma’ruf Amin dengan usianya tentu saja akan menyulitkan mereka berdebat.
Namun, memikirkan langkah yang tepat dalam meningkatkan performance debat dan memenangkan pertarungan psikologis akan menjadi hal yang menguntungkan secara elektoral. Sebab, bukan tidak mungkin – terlepas dari isi perdebatannya – performance itulah yang akan menentukan hasil akhir Pilpres nanti. (S13)