HomeNalar PolitikJoe Biden Tiru Kesuksesan Jokowi?

Joe Biden Tiru Kesuksesan Jokowi?

Seri pemikiran Fareed Zakaria #12

Pendekatan “big tent” atau merangkul segala keberagaman dalam kampanye calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, Joe Biden agaknya cukup serupa dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat dan paska Pilpres 2019 lalu. Akan tetapi, dampak koalisi “berat sebelah” akibat pendekatan “big tent” Presiden Jokowi belakangan mendapat respon minor dari publik. Lantas, akankah Biden akan mengikuti kesuksesan Jokowi di Pilpres AS?


PinterPolitik.com

Setelah kasus George Floyd, penembakan oknum polisi berkulit putih kepada seorang warga berkulit hitam bernama Jacob Blake di kota Kenosha, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) tampaknya semakin memperbesar bara gejolak sosial yang sedang membombardir negeri adidaya itu selama empat bulan terakhir.

Dampak multi-aspek pandemi Covid-19 juga turut membuat kasus yang membawa narasi perlawanan terhadap rasisme ini semakin pelik, utamanya menjelang pemilihan presiden (pilpres) AS pada November mendatang.

Terbaru, Presiden Trump yang ingin mengunjungi Wisconsin paska kerusuhan Kenosha ditentang berbagai pihak, utamanya dari Partai Demokrat yang menganggap kehadiran presiden dari Partai Republik itu justru akan memperburuk situasi.

Hal tersebut agaknya wajar mengingat Gedung Putih selama ini cenderung bersikap keras terhadap protes rasial. Hal ini juga senada dengan apa yang dikatakan kubu Demokrat bahwa Trump dengan senjata “tweet” andalannya acapkali menancapkan retorika provokatif merespon protes rasial dengan “hukum dan ketertiban”.

Gubernur negara bagian Wisconsin yang kebetulan berasal dari kubu Demokrat, Mandel Barnes secara gamblang mengatakan tidak membutuhkan kehadiran Trump, di mana pernyataannya itu tampaknya sekaligus menaikkan tensi politik jelang pilpres mendatang.

Proses menuju Pilpres AS memang kian memanas. Yang jauh berbeda dengan pilpres manapun dalam sejarah AS sebelumnya, pesta demokrasi kali ini beriringan dengan gejolak sosial plus politik efek gerakan Black Lives Matter yang acapkali masih berujung dengan kekerasan di beberapa kota.

Jika petahana yakni Presiden Donald Trump dinilai tidak akan membawa narasi yang banyak berubah dari kampanye pada pilpres sebelumnya, rival di kubu seberang justru menggunakan strategi politik berbeda yang dianggap relevan dengan dinamika isu kekinian di AS.

Calon presiden (capres) penantang Trump dari Partai Demokrat, Joe Biden disebut-sebut mengerahkan ideologi dan strategi politik dengan merangkul keberagaman untuk meraup suara publik AS yang lelah dengan berbagai kontroversi ekslusivitas kebijakan Trump selama ini.

Saking beragamnya, mantan senator Partai Republik yang kini mendukung Biden, Jeff Flake bahkan menyebut eks Wakil Presiden AS itu lebih menjunjung tinggi nilai konservatif dibandingkan orang-orang di Republik, yang notabene kental dengan DNA konservatif, pada isu penting terkait demokrasi AS.

Menariknya strategi Biden ini agaknya serupa dengan apa yang dikerahkan kubu Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat dan setelah Pilpres 2019 silam kala membangun koalisi besar yang mengakomodasi segmen nasionalis, agama, kaum muda, hingga kalangan bisnis.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Lantas, mengapa Biden menggunakan pendekatan tersebut pada Pilpres AS kali ini? Dan jika rangkulan koalisi ala Jokowi belakangan mendapat preseden minor berupa “oligarki politik” dari publik, apakah strategi tersebut akan berjalan baik bagi Biden untuk mengakomodasi kepentingan politik sekaligus memuaskan publik AS?

Nge-Hitsnya Politik “Tenda Besar”

Dalam sebuah kolom publikasi di The Washington Post berjudul Biden Understands What Twitter Doesn’t: Democrats Need a Big Tent, Fareed Zakaria menyebutkan frasa big tent atau tenda besar yang sedang dibangun oleh capres Partai Demokrat, Joe Biden.

Zakaria menyebutkan bahwa Biden mempromosikan ideological diversity atau keragaman ideologi pada kampanye pilpres yang akan berlangsung 3 November mendatang.

Hal itu terpampang jelas saat konvensi nasional Partai Demokrat dihadiri oleh sederet tokoh progresif seperti eks Republikan Mike Bloomberg, sampai tokoh konservatif seperti John Kasich, Cindy McCain, dan Collin Powell.

Strategi big tent Biden tampak ingin mengulangi kejayaan dominasi politik Demokrat di AS pada dekade 1930 sampai 1960-an karena mengakomodasi berbagai segmen, mulai dari kalangan segregasionis selatan sampai liberalis utara.

Kala itu, Demokrat dinilai sukses menyelamatkan negara dari Great Depression serta mempromosikan kebijakan seperti jaminan sosial dan kesehatan yang sangat membantu, baik bagi orang kulit putih maupun minoritas.

Lebih lanjut, Zakaria mengatakan bahwa big tent Joe Biden merupakan formula terbaik dan relevan dengan situasi politik saat ini. Tentu Biden dan kubunya juga menyadari apa yang Zakaria maksudkan, mengingat berbagai manuver kebijakan kontroversial Presiden Trump selama ini dinilai telah merusak kultur demokrasi AS.

Strategi big tent Biden secara kasat mata serupa dengan apa yang menjadi taktik Presiden Jokowi pada kontestasi pilpres keduanya pada 2019 lalu.

Sebagai petahana, kubu Jokowi dinilai sukses memenangkan pilpres dengan semaksimal mungkin merangkul berbagai kekuatan – nasionalis, religius, teknokrat, kaum muda, dan kalangan bisnis – dalam sebuah tenda politik besar dalam melawan populisme Prabowo yang kala itu kental dengan politik identitasnya.

Variabel pendukung lain bagi komparasi ini ialah alasan penunjukkan Ma’ruf Amin sebagai pendamping yang tampak mirip dengan latar belakang ditasbihkannya Kamala Harris sebagai wakil Biden pada November mendatang, yakni sebagai simbol politik akomodatif dengan menonjolkan sosok yang mewakili segmen spesifik tertentu.

Mungkin saja tuah magis strategi big tent serupa yang terjadi di Indonesia plus kesuksesan historis Demokrat membuat Biden optimis menggunakan siasat yang sama dalam kontestasi kali ini.

Lalu, seberapa besar peluang kesuksesan Biden dengan strategi big tent tersebut dan bagaimana potensi dampak politik dari pendekatan yang demikian?

AS Diuntungkan Kultur Politik?

Optimisme Biden dan kubu Demokrat tentu beralasan. Selain rival yang sedang mendapat bombardir kritik tajam dari berbagai arah, tren keunggulan dalam survei terus dipertahankan.

Biden sendiri saat ini sedang berada di atas angin. Dalam survei teranyar Real Clear Politics yang diupdate pada 31 Agustus menempatkannya unggul dengan perolehan dukungan sebesar 50,5 persen, berbanding 42,2 persen dengan yang direngkuh Trump.

Baca juga :  Peekaboo Jokowi-Golkar

Akan tetapi, Biden tak boleh terlalu jumawa jika berkaca pada after effect dari strategi big tent Presiden Jokowi di Indonesia. Saat itu, Jokowi telah diwanti-wanti sejak awal bahwa tenda besarnya pada Pilpres 2019 yang turut berhasil menguasai parlemen berpotensi memberi sinyal negatif bagi demokrasi.

Namun retorika kepentingan persatuan bangsa menjadi justifikasi bagi ekspansi big tent yang lebih besar dengan menggaet gerbong Prabowo dan Gerindra ke dalam kekuasaan. Dan efeknya dinilai menjadi lebih kontraproduktif dari prediksi semula.

Fareed Zakaria menyebutkan karakteristik dari tren demokrasi yang nilainya kian memudar di beberapa negara dalam publikasi yang berjudul The Rise of Illiberal Democracy. Kroni politik dan minimnya check and balance dalam kekuasaan menjadi karakteristik inheren dari apa yang disebut Zakaria sebagai demokrasi iliberal.

Ya, wanti-wanti dan kekhawatiran di awal tadi menjelma jadi kenyataan. Meski pemerintah menyanggahnya, impresi seperti yang disebutkan Zakaria di atas tercermin dari preseden terciptanya korupsi politik, konflik kepentingan, hingga oligarki kekuasaan memang tak bisa dihindari dan publik pun dinilai sangat menyadari serta mengkhawatirkan efek negatif dari hal tersebut.

Dipertegas lagi setelah muncul gerakan yang mirip dengan Petisi 50 di era Soeharto, yakni Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang membawa narasi besar kritik terhadap oligarki kekuasaan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Kendati saat ini peluang Biden untuk menang cukup terbuka sekaligus menyusul kesuksesan big tent Jokowi, efek lanjutan minor yang terjadi di Indonesia tampaknya cukup sulit terjadi di AS, dan ini pertanda baik bagi negeri Paman Sam.

Sistem politik dua partai AS yang terus dipertahankan bukan tanpa alasan. Tom Murse dalam The Two -Party System in American Politics mengatakan bahwa sistem dua partai berakar kuat dalam politik Amerika sejak gerakan politik terorganisir pertama muncul pada akhir tahun 1700-an.

Murse menyebut proporsionalitas menjadi kekuatan sistem politik dua partai AS sekaligus membuat dinamika yang ada saat pemilihan umum maupun pilpres tidak akan banyak mengubah komposisi konstelasi politik beserta dampak turunannya secara radikal dan substansial.

Singkat kata, dengan perbedaan sistem politik, khususnya kepartaian, membuat preseden minor dari big tent Presiden Jokowi cukup sulit untuk terjadi di AS jika Biden benar-benar berhasil menjungkalkan Trump.

Dan dengan serangkaian narasi yang ada di permukaan, tampaknya membuat peluang terpilihnya Biden dinilai akan turut menggeser arah politik dalam dan luar negeri AS yang jamak dinilai kontraproduktif di mata publik AS, termasuk pada isu alot dengan Tiongkok. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?