“Politik bukanlah ilmu pasti.” ~ Otto von Bismarck
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ertemuan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (10/8) lalu, sempat membuat perpolitikan Indonesia kembali ramai. Pasalnya walaupun AHY mengatakan pertemuannya ini tidak membawa nama Partai Demokrat, namun banyak pihak melihat diterimanya AHY di istana merupakan angin segar yang meredakan ketegangan antara Jokowi dengan Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya.
Seperti yang kita tahu, saat pertemuan dengan Prabowo Subianto di Cikeas akhir Juli lalu, pernyataan SBY yang mengatakan kalau pemerintah tidak boleh melakukan abuse of power sempat membuat polemik. Apalagi Jokowi langsung memberikan tanggapan kalau pernyataan tersebut berlebihan. Sehingga walaupun hanya sebentar dan di sela-sela waktu makan siang, pertemuan antara Jokowi dan AHY memberikan ‘aroma’ perdamaian.
Sebagai pemuda yang besar dari keluarga militer dan mantan presiden, AHY juga terlihat memiliki kemampuan diplomasi yang cukup tinggi, sehingga mampu menetralkan suasana. Pertemuan di Istana Negara yang terlihat informal ini juga menjadi bukti kalau Jokowi mampu menempatkan posisinya dengan baik, ia bisa memberikan porsi yang pas untuk tetap menerima AHY dengan tangan terbuka namun juga tetap menjaga perasaan PDI Perjuangan.
Seperti apa yang dikatakan oleh politikus Jerman, Otto von Bismarck di atas, bahwa tidak ada yang pasti dalam politik. Begitu juga dengan situasi politik Indonesia saat ini, segala keputusan dapat berubah setiap saat. Seperti permainan silat, begitu kata Fahri Hamzah menanggapi pertemuan keduanya. Lebih fenomenal lagi, ternyata tahun ini SBY pun berkenan untuk hadir di Upacara Kemerdekaan Indonesia ke 72 di Istana Negara, setelah dua tahun lamanya absen. Sinyal apa ini?
Hitung-hitungan politik memang akan terus bergulir hingga menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 nanti, serpihan-serpihan peristiwa seperti yang kita lihat pada peringatan HUT RI ini, juga dapat saja memicu keputusan yang akan mengejutkan masyarakat nantinya. Melihat gelagat yang ada, sepertinya Megawati Soekarnoputri pasrah ketika musuh bebuyutannya hadir. Begitupun SBY yang secara jantan menunjukkan itikad baiknya dengan hadir di acara ini. Apakah mereka hanya ingin menunjukkan indahnya perdamaian, atau mungkinkah tersirat hal lain dibaliknya? Misalnya, mungkinkah Jokowi bisa bersanding dengan AHY di 2019 nanti?
Mencari ‘Tunggangan’ Jokowi
“Menjadi presiden seperti menunggangi Harimau. Seseorang harus tetap menungganginya atau dimangsa.” ~ Harry S. Truman
Walaupun masih dua tahun lagi berkuasa, Jokowi sepertinya sadar kalau ia tetap harus waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memang sempat membela Jokowi saat para oposannya menuding diktator, namun bukan berarti hubungan keduanya selalu sejalan. Karena bagaimana pun juga, sebagai presiden, Jokowi sudah menunjukkan kalau dirinya tidak selalu bisa di setir.
Kiprah Jokowi sebagai presiden dalam tiga tahun ini pun sudah mulai terlihat kemajuannya, terutama oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Timur. Bila sebelumnya pembangunan seakan tidak tersentuh oleh pemerintah pusat, di era Jokowi, wilayah Timur menjadi salah satu prioritas pembangunannya. Tak heran bila elektabilitas Jokowi semakin meningkat belakangan ini, walaupun suara-suara sumir juga masih terus terdengar dari lawan politiknya.
Dukungan masyarakat yang tinggi, tentu menjadi bekal bagi Jokowi untuk mulai melakukan negosiasi politik agar bisa maju kembali di Pilpres 2019 mendatang. Terlebih, beberapa partai politik (parpol) sudah mendeklarasikan diri untuk terus mendukungnya menjabat sebagai presiden pada periode berikutnya. Namun sayangnya, dukungan dari parpol saat ini masih harus terus dipertanyakan lagi. Terutama setelah Pilkada Serentak 2018 mendatang, sebab sekali lagi, tidak ada yang pasti di politik.
Sebagai kandidat terkuat di Pilpres 2019 mendatang, Jokowi pasti ingin mendapatkan kewenangan untuk bisa memilih wakilnya sendiri. Namun bila ia terus bergantung pada PDI Perjuangan, bisa dipastikan Jokowi akan sulit mendapatkan wakil yang sesuai dengan visinya. Sebagai parpol pendukung, pasti PDI Perjuangan akan menyandingkan dirinya dengan kader partai banteng tersebut. Sementara hingga saat ini, mereka belum memiliki kandidat yang terlihat bisa sejalan dengannya.
Hal yang sama juga terjadi bila bergantung pada Golkar, kalau pun Jusuf Kalla masih mau dipasangkan kembali, mampukah Jokowi terus digelanduti dengan kepentingan mereka? Apalagi saat ini internal Golkar sendiri disinyalir tengah terjadi keretakan akibat ketua umumnya, Setya Novanto, digelari status tersangka oleh KPK. Friksi yang terjadi di internal Golkar cukup kuat saat ini, karena ada tiga kekuatan besar yang tengah tarik menarik mengenai kemungkinan kosongnya posisi ketua umum.
Jusuf Kalla Ingin Pensiun dari Politik http://t.co/BUmWIHtAah
— Kompas.com (@kompascom) May 28, 2014
Begitu pun dengan parpol lainnya, seperti Hanura, Nasdem, PPP, dan Perindo, belum ada tokoh yang dianggap cukup kuat untuk disandingkan dengan Jokowi. Meskipun Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) memiliki ambisi untuk bisa ikut maju di Pilpres 2019 nanti, namun elektabilitas Perindo maupun HT yang tidak terlalu tinggi tentu hanya akan menghambat kesuksesan Jokowi saja. Termasuk bila bergandengan dengan tokoh dari ketiga partai lainnya, seperti Wiranto, Rommy, maupun Surya Paloh.
Kesempatan Demokrat & AHY
“Politik adalah jauh lebih rumit dari fisika.” ~ Albert Einstein
Di sisi berseberangan, kandidat yang dianggap cukup kuat sebagai penantang Jokowi adalah Prabowo Subianto melalui Gerindra. Walaupun termasuk parpol yang cukup besar, namun Gerindra masih belum mampu berdiri sendiri untuk mengusung calonnya. Tak heran bila mereka begitu geram dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (Pres-T) yang mencapai 20-25 persen, sehingga mau tak mau, mereka harus melakukan koalisi dengan partai lain.
Lagi-lagi, tak ada yang pasti di politik, bahkan ilmuwan sejenius Albert Einstein pun mengakui kalau hitung-hitungan di politik jauh lebih rumit dari fisika. Dalam politik, bahkan hukum kausal yang menggunakan rumus sebab akibat pun tidak berlaku. Apa yang pasti di politik? Hanya satu, kepentingan atau keuntungan bagi partai. Hukum ini berlaku pula pada Gerindra, karena sebenarnya selama ini Gerindra sudah punya pasangan koalisi yang cukup setia, yaitu PKS.
Namun entah mengapa, sepertinya belakangan partai rajawali merah ini terlihat kurang sreg dengan sepak terjang PKS pada pencalonan gubernur di Pilkada Jawa Barat 2018 mendatang. Ini terbukti dari bagaimana Gerindra pada akhirnya lebih condong untuk berkoalisi dengan Demokrat di Jabar. Pendekatan Prabowo yang menyambangi kediaman SBY pun dilihat banyak pihak sebagai ajakan bagi Demokrat untuk meninggalkan posisi netralnya dan bergabung sebagai oposan.
Duet Prabowo-AHY Diyakini Menarik https://t.co/ZVOErc1CaU#prabowo #agusyudhoyono #politik #validnews #visitelitisaksama
— Validnews (@validnewsco) July 27, 2017
Anggapan ini ternyata salah, menurut Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto, pertemuan SBY dan Prabowo pada 27 Juli lalu, hanya untuk menyamakan persepsi politik paska disahkannya Undang-undang Pemilu di parlemen. Bila kita telaah, kemungkinan Demokrat dan Gerindra berkoalisi pada Pilpres 2019 mendatang, sebenarnya memang tipis. Mengapa? Karena keduanya berasal dari militer, meskipun kemungkinan untuk tetap bergandengan tangan tetap terbuka.
Demokrat sendiri, tentu masih memiliki harapan besar untuk mampu mengusung AHY pada 2019 nanti. Apalagi popularitasnya saat ini cukup meningkat, walau masih dianggap terlalu muda untuk maju sebagai calon presiden. Namun bukan tidak mungkin, bila Demokrat akan bersedia menempati posisi wakil presiden bagi putra sulung SBY ini. Semua tergantung dari bagaimana melobi Demokrat yang walaupun sempat menjadi partai berkuasa, namun memiliki suara yang tidak cukup banyak untuk bisa mencalonkan presidennya sendiri.
Apakah ini yang juga dilihat oleh Jokowi? Sebagai seorang presiden, Jokowi membutuhkan wakil yang bersih dan cukup kuat secara politis untuk menunjang kepemimpinannya ke depan. Tentu kriteria ini dapat ia lihat dari sosok AHY yang dianggap pemula di dunia politik, sementara latar belakangnya yang militer juga akan membantu Jokowi mengukuhkan kesetiaan militer pada kekuasaannya.
Bagi AHY pun, tingginya elektabilitas Jokowi juga akan sangat membantu dirinya naik ke kursi kekuasaan. Di samping itu, bila menang, ia akan mendapatkan pengalaman berharga sebagai wakil presiden guna mempersiapkan diri merebut kursi kepresidenan di Pilpres 2024 mendatang. Sehingga bila bersanding di Pilpres nanti, posisi Jokowi dan AHY sebenarnya win-win solution. Tapi mungkinkah hitung-hitungan ini yang akan dipakai nanti? Bahkan Einstein pun mengeluh, politik itu sungguh rumit! (R24)