HomeNalar PolitikJK, Juru Selamat AHY?

JK, Juru Selamat AHY?

Setelah bertemu dengan sejumlah tokoh, Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memutuskan untuk mengunjungi mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK). Dinamika apa yang terjadi di balik pertemuan AHY-JK ini?


PinterPolitik.com

“Winter is coming” – Eddard Stark, Game of Thrones (2011-2019)

Perpecahan memang selalu membawa malapetaka dan permusuhan di antara pihak-pihak yang tengah berseteru. Bahkan, meskipun dua atau lebih pihak yang berseteru memiliki sejarah bersama yang panjang, persaingan pun tetap terjadi guna meraih kepentingan tertentu.

Mungkin, contoh perpecahan seperti ini tergambarkan dengan baik dalam sebuah seri yang berjudul Game of Thrones (2011-2019) atau GoT. Seri satu ini menggambarkan bagaimana sebuah kerajaan besar bisa runtuh akibat beragamnya kepentingan yang dimiliki setiap kubu.

Bahkan, sejumlah kubu pun memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Keluarga Baratheon, misalnya, terbelah menjadi dua kubu yang berbeda setelah Raja Robert Baratheon gugur dalam suatu kegiatan berburu.

Kematian Robert yang tidak terkira akhirnya membuat dua adiknya, Renly dan Stanis turut saling berebut kekuasaan meskipun terdapat banyak keluarga bangsawan lainnya yang turut memperebutkan takhta Iron Throne. Kedua kubu ini memilih dua raja yang berbeda meskipun masih satu darah.

Baca Juga: AHY Hanyalah Mangsa Pertama?

Menyoal Temu AHY JK

Mungkin, hal yang sama ini juga pernah dialami oleh sejumlah partai politik (parpol) di kancah politik Indonesia. Golkar, misalnya, pernah mengalami sejumlah peristiwa perpecahan yang nantinya melahirkan sejumlah parpol baru – seperti Nasdem (Surya Paloh) dan Gerindra (Prabowo Subianto).

Boleh jadi, itulah sebabnya mengapa seorang Ketua Umum (Ketum) partai lain memutuskan untuk berkunjung pada salah satu politikus senior Golkar, yakni Jusuf Kalla (JK). Kabarnya, beberapa waktu lalu, Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengunjungi mantan Wakil Presiden (Wapres) itu guna mendapatkan sejumlah wejangan.

Bagaimana tidak? Partai yang sebelumnya dinakhodai oleh Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini disebut tengah mengalami sebuah perpecahan. Pada awal Maret 2021 ini, sebuah Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat yang dianggap ilegal malah memilih Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai Ketum tandingan.

Di tengah ramainya isu politik ini, JK justru menjadi salah satu politikus senior yang ditemui AHY. Sang Ketum Demokrat pun membeberkan sejumlah alasannya. Salah satunya adalah karena JK merupakan mitra – bahkan sahabat lama – dari Demokrat karena dulu pernah berkuasa bersama SBY pada periode pemerintahan 2004-2009.

Di sisi lain, meski JK juga merupakan mantan Wapres dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), politikus senior Golkar tersebut juga kini kerap memosisikan diri bak seorang oposan terhadap pemerintah. Sontak saja, pertemuan AHY dan JK kali ini bisa saja menimbulkan sejumlah pertanyaan.

Mengapa kemudian JK menjadi tokoh politik yang akhirnya ditemui oleh AHY di tengah sengkarut dualisme Demokrat? Lantas, permainan politik apa yang tengah dimainkan oleh para politisi ini?

Politikke Philia?

Mungkin, sebuah istilah yang dapat menggambarkan landasan atas pertemuan AHY dan JK beberapa waktu lalu adalah istilah politikke philia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang konon dicetuskan oleh seorang filsuf yang bernama Aristoteles.

Baca juga :  Pramono dan Candu Dinasti Politik

Istilah satu ini secara mudah bisa diterjemahkan sebagai pertemanan politik (political friendship). Didasarkan pada konsep philia ala Aristoteles, sebuah pertemanan biasanya akan melibatkan persamaan emosi dan aksi mulia yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih.

Pemahaman akan relasi philia seperti ini pun tidak hanya terbatas pada pertemanan pada umumnya, melainkan juga dalam dunia politik. Dalam politik, relasi pertemanan ini bisa juga didasarkan pada virtue dan cara pandang yang sama – misal soal tujuan yang ingin dicapai bersama.

Meski terkadang diawali pada kepentingan bersama, sebuah pertemanan bisa terbentuk karena virtues lainnya, seperti solidaritas, kemanusiaan, pengakuan, dan sebagainya. Setidaknya, Aristoteles membagi pertemanan menjadi tiga jenis yang berbeda, yakni pertemanan untuk kesenangan (pleasure), pertemanan untuk utilitas (utility), dan pertemanan atas dasar nilai (virtues).  

Baca Juga: Pembelaan Mahfud MD Untuk AHY

Mengacu pada penjelasan Misung Jang di Aristotle’s Political Friendship (Politike Philia) as Solidarity, sebuah pertemanan bisa saja dilakukan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bahkan, pertemanan politik bisa menjadi sumber (resouces) yang berarti.

Lantas, mungkinkah pertemanan dapat menjadi fitur yang penting dalam dinamika politik? Bisakah kebaikan bersama yang dijadikan virtue tertentu menguatkan sebuah pertemanan politik?

Mungkin, kuatnya pertemanan politik seperti ini dapat diamati dari bagaimana jalin pertemanan dapat terbangun antara keluarga Clinton dan keluarga Bush di Amerika Serikat (AS). Bukan rahasia umum lagi bahwa dua keluarga ini berasal dari partai politik yang saling berseberagan.

Meski memiliki banyak perbedaan cara pandang dalam sejumlah kebijakan, keluarga Clinton dan Bush disebut-sebut menjalin sebuah hubungan pertemanan yang erat. Mungkin, contoh yang paling nyata terlihat ketika Presiden AS ke-45 Donald Trump memutuskan maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2016 – di mana keluarga Bush memutuskan untuk mendukung Hillary Clinton guna mewujudkan kebaikan bersama bagi mereka, yakni guna menghalau Trump.

Boleh jadi, politikke philia serupa juga masih eksis di antara Presiden SBY dan JK. Pasalnya, bagaimana pun, keduanya kerap menyatakan diri sebagai dua teman atau sahabat.

Ini terlihat dari bagaimana JK sempat diutus untuk menemui SBY kala Jokowi bersiap untuk Pilpres 2019. Tepatnya pada tahun 2018, JK dinilai berusaha mengajak SBY untuk masuk dalam kubu yang sama, yakni untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.

Meski begitu, common good yang ingin dicapai oleh SBY dan JK kini bisa jadi beda – mengingat Jokowi kini telah menjadi presiden di masa pemerintahan keduanya. Lantas, dinamika politik apa yang bisa terjadi di balik pertemuan AHY dan JK beberapa waktu lalu? Permainan politik apa yang tengah disiapkan?

Permainan Kingmaker?

Boleh jadi, dinamika politik tertentu turut terjadi di balik pertemuan antara AHY dan JK. Apalagi, di tengah ramai isu Demokrat, sejumlah aktor politik mulai bermanuver guna menjaga koalisi antarpartai untuk perhelatan Pilpres 2024 mendatang.

Peristiwa kudeta Demokrat ini sebenarnya bisa dimaknai melalui kacamata game theory (teori permainan). Teori ini setidaknya menjelaskan bagaimana situasi dalam sebuah permainan yang dimainkan antara dua pihak atau lebih dapat berubah-ubah seiring dengan manuver yang dilakukan oleh masing-masing pihak – layaknya komparasi perolehan skor.

Baca juga :  Ironi Lumpuhnya Pasukan Perdamaian PBB

Misal, ketika aktor A dan aktor B terlibat dalam sebuah permainan di mana keduanya saling bermusuhan. Ketika A menjalankan sebuah taktik yang menguntungkan dirinya, B pun bisa mendapatkan kerugian. Dalam arti lain, ketika A untung, B pun buntung.

Baca Juga: JK, Jangkar Baru Oposisi Jokowi?

JK Bisa Pimpin Barisan Oposisi

Soal kudeta Demokrat yang disebut dilakukan oleh KSP Moeldoko, misalnya, disebut oleh sejumlah pengamat politik – seperti Pangi Syarwi Chaniago – dapat melemahkan kekuatan partai-partai oposisi. Bahkan, muncul asumsi bahwa manuver-manuver politik tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menyiapkan calon tunggal pada tahun 2024 mendatang.

Boleh jadi, dengan koalisi pemerintahan yang gemuk, parpol-parpol oposisi akan kesulitan mengajukan calon presiden (capres) dengan ambang batas (presidential threshold) yang tinggi. Demokrat sendiri di legislatif memiliki 54 kursi dengan persentase sebesar 9,39 persen.

Di sisi lain, sejumlah aktor dan partai politik mulai bersafari guna menjaga koalisi yang disebut-sebut dimaksudkan untuk Pilpres 2024. Salah satu aktor tersebut adalah Ketum Golkar Airlangga Hartarto yang mulai bersafari ke berbagai parpol, yakni Nasdem, Gerindra, dan PPP hanya dalam waktu tiga minggu.

Airlangga pun juga disebut-sebut menjadi salah satu politikus yang sangat dekat dengan Presiden Jokowi. Bahkan, terdapat sejumlah politikus Golkar – seperti Leo Nababan – yang mengusulkan agar Jokowi menjadi calon wakil presiden (cawapres) bagi Airlangga pada tahun 2024 nanti.

Terlepas dari itu, kemungkinan Airlangga bisa menjadi sangat besar bila parpol-parpol koalisi pemerintahan mendukung dirinya pada Pilpres 2024 nanti. Di sinilah JK bisa saja masuk untuk menjalankan permainan politik antara oposisi dan koalisi pemerintah.

Bagaimana pun, JK memiliki sejumlah modal politik. Mengacu pada penjelasan Kimberly Casey di Defining Political Capital, modal politik ini bisa bersumber pada banyak hal – mulai dari modal ekonomi dan finansial hingga modal sosial.

Dengan jaringan JK sebagai pengusaha dengan Kalla Group, bukan tidak mungkin modal ekonomi turut dikantonginya. Di sisi lain, JK juga memiliki modal sosial berupa relasi dan jaringan loyalis yang ada di Golkar. Apalagi, loyalis JK ini disebut-sebut tidak terakomodasi dalam kepemimpinan Airlangga.

Bukan tidak mungkin, dengan modal demikian, JK bisa melakukan disrupsi atas permainan yang tengah dimainkan. Boleh jadi, JK juga bisa memberikan keuntungan bagi AHY dengan posisinya yang kerap disebut sebagai seorang kingmaker – atau orang yang menyokong dan menempatkan politikus lain untuk menjadi pemimpin.

Kapabilitas JK sebagai kingmaker ini disebut-sebut terbukti dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada tahun 2017 silam. Saat itu, JK disebut mendukung Anies Baswedan yang kini juga disebut berpotensi untuk maju dalam Pilpres 2024.

Namun, semua kemungkinan ini hanyalah gambaran yang belum tentu benar adanya. Semua ini kembali pada bagaimana permainan politik 2024 ini berjalan ke depannya – entah aktor mana yang akan memenangkan permainan ini. (A43)

Baca Juga: Airlangga Moncer Kalau Didukung JK


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).