Pengusulan Jusuf Kalla (JK) sebagai Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) cukup mengejutkan masyarakat. Sebenarnya, apa kira-kira motif di balik pengusulan tersebut? Benarkah ada kaitannya dengan Anies Baswedan yang disebut maju di Pilpres 2024?
Pelaksanaan Muktamar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke-34 kembali menjadi perbincangan. Di tengah perseteruan antara dua calon Ketua Umum (Ketum) baru PBNU, yaitu Said Aqil Siradj sebagai petahana, dan Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), muncul lagi satu tokoh besar yang diusulkan menjadi pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. Dia adalah mantan Wakil Presiden (Wapres) Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK).
Nama JK diusulkan oleh Deputi Balitbang Partai Demokrat, Syahrial Nasution. Ia melihat JK sangat potensial dan cocok untuk memimpin PBNU, karena menurutnya JK memiliki pengalaman dan kemampuan mumpuni untuk memimpin NU. Pernyataan ini langsung diluruskan oleh Partai Demokrat, yang mengatakan usulan itu adalah pandangan pribadi, bukan partai, mengingat Syahrial juga adalah bagian dari Nahdliyyin (warga NU).
Di sisi lain, Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), yang juga adalah politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim justru mengatakan, jika JK dinilai sebagai pemimpin yang mumpuni oleh seorang kader Demokrat, maka seharusnya JK menjadi Ketum Partai Demokrat saja, karena hal tersebut lebih mudah terwujud.
Baca Juga: JK, Juru Selamat AHY?
Kritik juga dilontarkan tokoh NU, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir). Ia menilai JK tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi Ketum PBNU, karena ia tidak memiliki latar belakang sebagai seorang kiai. Ia juga mengatakan, pihak yang mendukung JK sebagai Ketum sesungguhnya tidak paham tradisi di PBNU.
JK sendiri sudah memberikan tanggapan terkait usulan tersebut. Kendati tidak menunjukkan penolakan, ia mengatakan bahwa NU adalah kebangkitan para ulama, oleh karena itu, yang memimpinnya juga seharusnya adalah seorang ulama.
Lantas, mungkinkah JK terpilih menjadi Ketum PBNU?
Terlalu Berandai-Andai?
Pengusulan JK sebagai Ketum PBNU bukan tanpa alasan. Diketahui bahwa JK bukanlah tokoh politik yang asing dengan NU. Dilihat dari situs NU, sampai saat ini JK masih menjabat sebagai Mustasyar atau penasihat PBNU untuk periode 2015-2020. Sesuai dengan pemberitaan pada tahun 2020, kepengurusan periode tersebut diperpanjang sampai pelaksanaan Muktamar ke-34, yang diundur hingga tahun 2021 dikarenakan urgensi penanganan wabah Covid-19.
Kemudian, dilansir dari sejumlah artikel berita pada tahun 2010, JK pernah menjabat sebagai Mustasyar pada periode 2010-2015. Selain itu, secara historis, keluarga JK juga dikenal dekat dengan NU. Said Aqil mengatakan, ayah JK, Hadji Kalla, adalah seorang tokoh besar NU Sulawesi Selatan (Sulsel), yang pernah menjadi bendahara organisasi selama 30 tahun.
Tidak hanya dari jabatan dan kedekatan personal, kemampuan dan pengalaman JK dapat menjadi modal besar untuk pencalonan dirinya ketika Muktamar nanti. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai JK memiliki segalanya untuk menjadi Ketum PBNU. Menurutnya, pengalaman politik, organisasi, dan manajemen jaringan JK tidak perlu ditanya lagi.
Faktor-faktor ini, dinilai Adi, dapat menjadikan JK sebagai alternatif pilihan yang cukup kuat ketika Muktamar nanti. Terlebih lagi JK adalah tokoh yang berasal dari luar Jawa, sehingga kontestasi pemilihan Ketum akan lebih variatif, kata Adi.
Namun, keunggulan resume JK tidak semata-mata membuatnya berpeluang besar menjadi Ketum PBNU. Adi mengatakan, jalan JK tidak akan mulus, karena JK sebelumnya tidak termasuk dalam radar calon Ketum PBNU. Oleh karena itu, Adi menilai, JK harus benar-benar berupaya keras bergerilya mencari dukungan Nahdliyyin, yang selama ini telah mengerucut ke Said Aqil dan Gus Yahya. Ini kemudian dipersulit dengan jangka waktu Muktamar yang hanya tersisa satu bulan lagi.
Lalu, Adi juga menyoroti keunikan JK yang justru bisa menjadi kelemahan terbesarnya, yaitu sebagai calon Ketum luar Jawa. Memang, kalau melihat sejarah susunan Ketum PBNU sejak awal didirikan, satu-satunya Ketum yang bukan orang Jawa adalah KH. Imam Chalid, yang berasal dari Kalimantan Selatan (Kalsel).
Baca Juga: Ma’ruf Terjebak “Strategi Machiavelli” JK?
Pesimisme pun ditunjukkan oleh Direktur NU Online, Savic Alielha yang mengatakan JK tidak mempunyai peluang untuk terpilih, karena selama ini JK tidak terlibat langsung mengurus NU, dan tidak banyak berhubungan dengan para kiai dan pengurus NU yang notabene adalah para pemilik suara di Muktamar.
Ia mengatakan NU harus dipimpin oleh sosok ulama. Hal ini penting karena dinilai dapat meredam kekhawatiran soal legitimasi NU sebagai organisasi agama yang beberapa waktu ke belakang ini, sebutnya, sedang melemah.
Sementara itu, seperti yang kita tahu, JK meskipun dekat dengan NU, latar belakangnya adalah sebagai politisi dan pengusaha, bukan ulama. Berbeda dengan dua pentolan bursa Ketum PBNU, yaitu Said Aqil dan Gus Yahya, yang memang memiliki karier panjang sebagai ulama.
Dengan demikian, bisa disimpulkan peluang JK menjadi Ketum PBNU sangatlah kecil. Tapi, sebenarnya apa arti dari pengusulan JK ini? Bisakah kita artikan sebagai indikasi dari sebuah motif politik?
Ketum PBNU Sebagai Kendaraan Politik?
Peneliti dan pengamat politik Islam dari The Political Literacy, Muhammad Hanifudin mengatakan, kasus pengusulan JK sebagai Ketum PBNU sangat kuat dugaannya digunakan untuk mendongkrak calon presiden (capres) pada Pilpres 2024. Fenomena ini muncul karena kepemilikan ‘suara’ yang dianggap akan banyak berasal dari warga Nahdliyyin.
Berkaca pada kesuksesan pasangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilres 2019, Hanif menilai Muktamar PBNU akan memiliki konsekuensi strategis bagi para aktor politik. Oleh karena itu, wajar jika ada upaya untuk memainkan isu di NU. Meskipun bukan partai politik, hak pilih Nahdliyyin menentukan hajatan politik di Indonesia, kata Hanif.
Ini kemudian sejalan dengan apa yang dikatakan Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara. Effendy menilai, organisasi Islam besar seperti NU, memiliki posisi yang penting dalam memberikan dukungan suara untuk partai politik. Namun, infiltrasi partai ke organisasi Islam bukan berarti partai tersebut mengemban politik Islam, melainkan untuk menunjukkan dirinya sebagai partai yang pantas dan cocok untuk menjadi kendaraan politik warga organisasi Islam.
Lantas, siapa capres yang paling diuntungkan jika JK berhasil menjadi Ketum PBNU?
Melihat dinamika politik beberapa waktu ke belakang, kuat dugaannya JK akan berupaya mendongkrak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sebagai capres 2024. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun bahkan mengatakan JK rela ‘turun gunung’ demi membantu Anies. Meskipun jarang terekspos media, JK, nilai Harun, memiliki kedekatan dengan Anies.
Memang, melihat sejarahnya, JK pernah menjadi aktor di belakang panggung yang menyukseskan Anies dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada tahun 2017. JK sendiri bahkan mengaku dirinya turut melobi Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Presiden PKS saat itu, Sohibul Iman untuk mengusung Anies sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.
Selain faktor kedekatan politik, unsur ekonomi juga memperkuat hubungan antara JK dan Anies. Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak mengatakan kepentingan ekonomi dan politik JK dapat tersalurkan dan terakomodir melalui Anies. Sebagai timbal baliknya, Direktur Eksekutif Surveylink Indonesia, Wempy Hadir menilai latar belakang JK sebagai pengusaha sukses akan berpengaruh besar untuk kelancaran kampanye Pilpres 2024, yang secara ekonomis membutuhkan biaya yang sangat besar.
Baca Juga: Anies, Bidak JK di 2024?
Pada akhirnya, persahabatan politik antara Anies dan JK bisa dilihat dari aspek politik dan sosiologis. Pertama, peneliti politik dari Universitas Erlangen-Nürenberg, Jürgen Gebhardt dalam tulisannya Friendship, Trust, and Political Order mengatakan, political friendship atau persahabatan politik dalam sistem demokrasi sebagai pengejaran utilitas. Dua orang teman politik tidak menjalin persahabatan karena mereka mencintai satu sama lain, tetapi karena mereka melihat ada manfaat besar yang bisa dipetik dengan menjalin persahabatan.
Dari segi sosiologis, ahli sosiologi Prancis, Emile Durkheim dalam bukunya The Divison of Labor, mengatakan bahwa yang mendorong seseorang untuk menjalin persahabatan adalah untuk melengkapi kekurangan, dengan menjalin persahabatan, seseorang akan merasa lebih ‘komplit’.
Ada tiga unsur penting dalam persahabatan yang dikonseptualisasikan oleh Durkheim, yaitu dua individu itu sendiri, dan sebuah unit kolektif yang mereka bentuk berdasarkan ikatan pertukaran manfaat yang menyangkut beberapa aktivitas kehidupannya. Tanpa tiga unsur ini, suatu persahabatan tidak akan berfungsi dengan baik.
Dalam konteks JK dan Anies, sesuai pemaparan di atas, bisa kita lihat sampai saat ini persahabatan antara JK dan Anies sanggup bersinergi. Pengalaman, jaringan, dan kekuatan ekonomi JK mampu melengkapi modal politik yang dibutuhkan Anies untuk 2024. Untuk JK sendiri, menjalin persahabatan dengan pemegang jabatan penting pemerintah bisa memperluas dan mempermudah kepentingan politik dan ekonominya. (D74)