Jusuf Kalla masih menjadi salah satu figur yang diperbincangkan untuk menampingi Jokowi.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]pa yang bisa manusia lakukan di usia kepala tujuh? Tidak banyak sebenarnya. Orang yang memiliki keberuntungan dapat hidup hingga usia 70-an tahun umumnya akan menghabiskan waktu untuk beristirahat dan berkumpul dengan keluarga. Namun, nampaknya hal itu tidak berlaku bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
JK saat ini masih aktif berpolitik, bahkan tengah menikmati salah satu kursi puncak dalam karir politik nasional. Hal itu juga tampaknya belum akan berhenti dalam waktu dekat. Ada upaya untuk mendorong mantan Ketua Umum Golkar tersebut mendampingi kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode kedua.
Parpol-parpol koalisi pendukung Jokowi tampaknya belum rela ditinggal figur politikus senior tersebut. Jokowi sendiri menilai JK adalah salah satu kandidat paling mumpuni untuk menjadi pendampingnya di periode kedua.
Petinggi-petinggi parpol tampaknya tidak terlalu khawatir dengan aturan yang mengganjal mantan Menko Kesra tersebut. Padahal, berdasarkan konstitusi yang berlaku, JK seharusnya tidak lagi dapat dicalonkan sebagai cawapres karena telah dua periode menjabat pada posisi itu, sekalipun secara tidak berurutan. Lalu, mengapa mereka begitu mendamba JK untuk menunda masa pensiunnya?
JK Idola Parpol
Sulit memang untuk menentukan calon orang nomor dua bagi Jokowi. Berbagai nama muncul dan melamar untuk menjadi pendampingnya. Beragam kriteria disiapkan untuk menemukan formula yang pas. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada nama yang benar-benar secara resmi bisa diusung.
Di tengah pencarian tersebut, ada sebuah ide sederhana namun menarik. Mengapa tidak pasangkan saja lagi Jokowi dengan JK?
Mayoritas parpol pendukung Jokowi tampaknya cenderung lebih menyukai ide tersebut. Bagi mereka, ketimbang sibuk dan repot mencari sosok baru, figur lama dapat menjadi opsi mudah yang tidak buruk juga.
Sebagai pemilik kursi terbanyak di DPR, PDIP menilai JK adalah sosok yang ideal untuk kembali berdampingan dengan Jokowi. Ketua Dewan Masjid Indonesia tersebut dianggap sudah padu dengan Jokowi dan juga memiliki banyak pengalaman.
Hal senada juga diungkapkan oleh Partai Golkar. Meski tetap mendorong Ketua Umum mereka Airlangga Hartarto untuk menjadi cawapres, sosok JK tetap dianggap sebagai figur yang ideal bagi Jokowi. Mereka menyatakan siap untuk mendukung JK jika akhirnya dipilih oleh Jokowi.
Lalu bagaimana dengan JK sendiri? Dalam beragam kesempatan, ia kerapkali menyebutkan bahwa dirinya ingin beristirahat. Meski begitu, ia juga pernah melontarkan pernyataan bahwa jika masih dibutuhkan, ia siap melaju kembali untuk berebut kursi RI-2. Hal itu akan ia lakukan dengan catatan jika tidak bertentangan dengan konstitusi.
Konstitusi memang menjadi ganjalan utama bagi JK jika ingin membentuk pasangan Jokowi-JK jilid II. Untuk itu, sekelompok orang melayangkan gugatan ke MK terhadap pasal yang menjegal pria asal Sulawesi Selatan tersebut.
Gugatan dilakukan oleh Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak) dan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS). Selain kedua kelompok tersebut, ada satu individu bernama Muhammad Hafidz yang juga menjadi penggugat. Hafidz tercatat sebagai salah satu anggot tim sukses JK pada Pilpres 2009.
Keberadaan Hafidz dapat menjadi indikasi bahwa JK sebenarnya memang masih berkeinginan untuk berpasangan dengan Jokowi. Meski demikian, sejauh ini mantan Menko Kesra ini mengaku tidak mengetahui gugatan yang tengah digulirkan di MK tersebut.
Memaksimalkan Konsekuensi
Jika didalami, preferensi parpol terhadap JK bisa dilihat melalui filsafat konsekuensialisme. Konsekuensialisme merupakan salah satu cabang etika dalam ilmu filsafat. Ada beberapa pemikir terkemuka dari cabang etika ini, misalnya John Stuart Mill dan Jeremy Bentham.
Secara umum, prinsip dari filsafat ini adalah baik atau buruknya suatu kebijakan atau tindakan tergantung pada konsekuensi yang dihasilkan. Tindakan yang baik adalah tindakan yang memiliki konsekuensi baik paling banyak dan memiliki konsekuensi buruk paling sedikit. Jika dirumuskan, maka rumus untuk menentukan suatu tindakan adalah dengan jumlah konsekuensi baik dikurangi total konsekuensi buruk.
Berdasarkan konsekuensinya, JK dapat dipandang sebagai salah satu opsi ideal bagi partai-partai koalisi pendukung Jokowi. Ada beragam konsekuensi baik yang menanti koalisi tersebut jika memilih mantan Ketua Umum Golkar tersebut ketimbang calon lainnya.
Secara elektabilitas, saat ini nama JK masih cenderung difavoritkan menjadi orang nomor dua bagi Jokowi. Hampir seluruh survei menempatkannya menjadi cawapres paling ideal bagi Jokowi di periode kedua nanti.
Pada survei Litbang Kompas misalnya, terlihat nama JK unggul jika dibandingkan figur-figut lain untuk menjadi cawapres Jokowi. JK bertengger di puncak survei tersebut dengan persentasi 15,7 persen. Ini menjadi penanda bahwa sosoknya masih difavoritkan masyarakat untuk menjadi pasangan Jokowi.
Mantan Ketua Umum Golkar tersebut juga dianggap dapat menambal sejumlah kendala elektabilitas Jokowi. JK dianggap sebagai figur yang mampu memenuhi unsur Islam karena saat ini ia menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia. Ia juga merupakan sosok pengusaha dengan pengalaman mumpuni. Bersama Jokowi, mereka dapat membantuk pasangan ideal yang memenuhi unsur nasionalis, agama, dan ekonomi bisnis.
JK juga dapat dikategorikan sebagai sosok yang netral dan menjadi jalan tengah bagi parpol-parpol di dalam koalisi. Di tengah ribut-ribut parpol yang berebut kursi RI-2, JK dapat menjadi figur netral, sehingga tidak ada parpol yang merasa dirugikan karena tidak dilirik untuk jadi cawapres.
Pria berdarah Bugis tersebut juga dapat dikatakan figur yang akan habis masa jayanya untuk Pemilu 2024. Saat ini, ia sudah berusia 75 tahun, di tahun 2024, usianya akan masuk kepala delapan. Sulit untuk mengatakan seorang politikus sedang berada dalam kondisi prima di usia 80-an. Oleh karena itu, sulit pula untuk melihat JK akan maju untuk posisi yang lebih tinggi di 2024.
Sebagai sosok yang dianggap netral, sosok JK tidak akan memberikan banyak keuntungan pada satu pun partai anggota koalisi. Jika memilih JK menjadi cawapres, maka tidak akan ada partai yang tiba-tiba menjadi besar karena memegang kursi RI-2. Masing-masing partai akan memiliki kekuatan serupa dan seimbang dengan memilih sosok netral seperti JK.
Memilih wapres dari kalangan parpol dapat berbuah momentum bagi parpol yang kadernya diambil jadi orang nomor dua, sebaliknya mendatangkan kecemburuan di sisi partai yang tokohnya tidak diambil. Jika memilih figur seperti Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, atau Romahurmuziy, maka mereka berpeluang menjadi tokoh tenar pada Pilpres 2024. Selain itu, partai tempat mereka bernaung juga dapat melonjak elektabilitasnya jelang Pemilu 2024. Jika JK yang dipilih, maka momentum semua parpol dan tokoh akan setara di Pemilu 2024.
Terjegal Konstitusi
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, dapat dilihat bahwa memilih JK sebagai cawapres memberikan banyak konsekuensi baik bagi parpol-parpol koalisi Jokowi. Akan tetapi, langkah JK menuju kursi RI-2 untuk yang ketiga kali diprediksi tidak akan mudah.
Aturan yang mengganjal adalah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Oleh karena itu kelompok penggemar JK segera menggugat pasal yang menjegal idola mereka ke MK.
Bila memaksakan @Pak_JK jd cawapres lagi, akan jadi preseden buruk bagi demokrasi.https://t.co/Pp49GoEwjj
— Syamsuddin Haris (@sy_haris) May 6, 2018
Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut bahwa pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah amanat dari amandemen UUD 1945. UU Pemilu yang kini digugat adalah konsekuensi dan manifestasi dari amandemen tersebut. Oleh karenanya, gugatan tersebut kecil kemungkinan dikabulkan.
Jalan baru akan mulus jika langkah yang ditempuh adalah dengan amandemen UUD 1945. Tidak ada jalan untuk melakukan uji materi terhadap UUD 1945, sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mengamandemennya.
Sulit membayangkan amandemen UUD 1945 akan dilakukan hanya demi memuluskan jalan JK menjadi wapres untuk ketiga kalinya. Ada trauma masa lalu tentang pemimpin dengan masa jabatan tidak terbatas. Amandemen akan terkesan menjadi jalan kekuasaan saja dan demokrasi yang susah payah dibangun terpaksa diruntuhkan hanya demi satu orang saja.
Melihat kondisi tersebut, JK hanya dapat dikatakan memiliki konsekuensi baik bagi lingkar koalisi Jokowi saja. Sementara itu, bagi konstitusi -dan mungkin masyarakat luas- suami Mufidah Kalla tersebut belum tentu benar-benar ideal. Oleh karena itu, sangat penting bagi parpol-parol koalisi dan juga JK sendiri untuk memperhatikan aturan yang berlaku agar keputusan yang diambil tidak hanya menguntungkan kubu mereka. (H33)