“JK-AHY ini salah satu opsi yang sedang Demokrat pikirkan untuk Koalisi Kerakyatan. Ini pasangan ideal,” ~Jansen Sitindaon, Ketua DPP Demokrat
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]emimpin tua atau pemimpin muda? Pertanyaan seperti ini kerap dimunculkan jelang pesta demokrasi baik Pemilu nasional maupun Pilkada. Pendapat tentang pemimpin mana yang lebih unggul kerapkali dipertentangkan untuk mencari formula terbaik mengisi kursi kepemimpinan.
Bagi Partai Demokrat, kedua pendapat tersebut tidak melulu harus dipertentangkan. Mereka mencoba menawarkan solusi baru dari perdebatan soal pemimpin tua dan pemimpin muda. Bagaimana jika pemimpin dari latar belakang usia ini dipadukan saja?
Partai bernomor urut 14 tersebut belakangan tengah mewacanakan pasangan Jusuf Kalla (JK) dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Bagi mereka, pasangan dengan tingkat usia berbeda tersebut dapat menjadi salah satu opsi menarik untuk menyelesaikan persoalan negeri ini.
Pemimpin tua dan pemimpin muda jelas memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Apakah karakteristik berbeda ini perlu terus-menerus dipertentangkan? Bisakah JK dan AHY dengan perbedaan karakteristik berbeda ini menjadi salah satu opsi yang diperhitungkan?
Wacana JK-AHY
Partai Demokrat hingga saat ini memang belum mendeklarasikan nama capres yang akan diusung pada 2019 nanti. Partai berlogo mercy ini juga belum secara resmi menyatakan akan merapat ke kubu manapun, baik itu kubu petahana Joko Widodo (Jokowi) atau kubu oposisi yang digawangi Gerindra dan PKS.
Beberapa fungsionaris Demokrat kemudian memunculkan opsi baru dalam bingkai Koalisi Kerakyatan yang mereka perjuangkan. Kader-kader partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mewacanakan pasangan JK-AHY.
Bagi partai berwarna biru itu pasangan ini memiliki keunggulan karena memadukan dua karakteristik umur yang berbeda. JK menjadi perwakilan dari politikus dengan kematangan dan senioritas yang tinggi. Sementara itu, AHY adalah representasi dari politikus muda yang segar dan baru.
JK dianggap sebagai politikus senior dengan jam terbang tinggi. Pria asal Sulawesi Selatan itu dianggap sebagai figur yang mumpuni dalam urusan ekonomi. Selain itu, JK juga dianggap sebagai salah satu figur yang menggambarkan Islam moderat. Mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut juga dapat menjadi representasi dari Indonesia Timur.
Di lain pihak, AHY adalah salah satu prospek baru yang tengah dibicarakan di masyarakat. AHY dianggap amat dekat dengan generasi milenial yang disebut-sebut mendominasi pemilih di Pemilu nanti. Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat ini juga dianggap memiliki wawasan geopolitik dan internasional yang memadai. Selain itu, ia juga dapat mewakili unsur militer dan perwakilan pulau Jawa yang kerap menjadi kunci kemenangan dalam Pilpres.
Di mata Demokrat, pasangan tua-muda ini merupakan contoh pasangan moderat yang bisa menjadi opsi untuk menyelesaikan polarisasi di negeri ini. Tidak hanya dianggap bisa menjadi jalan tengah, pasangan ini juga diharapkan berperan untuk meningkatkan wibawa negara di dalam maupun luar negeri.
Sejauh ini, Demokrat memang belum menemukan rekan koalisi untuk membentuk aliansi yang nantinya berlabel Koalisi Kerakyatan tersebut. Meski demikian, untuk mewujudkan pasangan JK-AHY mereka menyebut tengah intens berkomunikasi dengan partai-partai seperti PKB dan PAN.
Keunggulan Masing-masing Generasi
Bagi Alberto Alesina dari Harvard University, politikus muda memiliki karakteristik khusus yang membuatnya berbeda dengan politikus berusia lebih matang. Ia menyebut bahwa politikus muda cenderung lebih strategis dalam bertindak.
Menurut Alesina, ada tiga alasan yang membuat politikus muda berbeda dengan politikus tua. Alasan pertama adalah politikus muda memiliki karir yang lebih panjang sehingga memiliki kekhawatiran akan karir yang lebih besar. Alasan kedua, politikus dengan usia lebih rendah cenderung lebih dapat beradaptasi dengan kebijakan jangka panjang. Alasan ketiga, politikus muda cenderung lebih enerjik dan produktif dalam bekerja.
Sementara itu, politikus tua juga bukan berarti tidak memiliki keunggulan. Marcus Tullius Cicero merupakan salah satu filsuf yang amat menekankan kematangan usia dalam politik. Filsuf era Romawi Kuno ini bahkan mengilhami asas Lex Villia Annalis yang menjadi peraturan pembatasan usia politikus era Romawi Kuno.
Wah seru juga nih muncul lagi JK-AHY colek puang @saididu https://t.co/qHOGXGaiZj
— Jalan Ketiga (@panca66) June 12, 2018
Cicero memang cenderung mengunggulkan politikus berusia tua. Menurut Cicero, orang yang lebih tua memiliki pengalaman yang lebih banyak. Orang yang lebih tua lebih mampu mempraktikkan intelektualitasnya dengan lebih kuat karena telah ditempa oleh waktu.
Menggabungkan politikus tua dan muda dapat menggabungkan keunggulan dari masing-masing generasi. Pasangan yang muncul dapat memilki kemampuan strategis ala politikus muda sekaligus juga kaya akan pengalaman seperti politikus matang.
Kondisi ini jelas menguntungkan. Politikus muda yang lapar dan berorientasi pada karir jangka panjang cenderung akan membuat kebijakan progresif dan dalam kadar tertentu cenderung revolusioner. Dalam konteksi ini, politikus tua dengan pengalaman dan intelektualitasnya dapat memberikan saran agar kebijakan yang diambil tidak terlalu berlebihan.
Melalui pasangan seperti ini, perdebatan soal generasi mana yang lebih unggul mendapatkan jawabannya. Boleh jadi, tidak perlu lagi ada pertanyaan generasi mana yang lebih baik jika ada solusi untuk menggabungkan keunggulan masing-masing generasi dalam satu pasangan calon.
Opsi Alternatif
Pasangan JK-AHY bisa saja menggabungkan dua keunggulan generasi tersebut. Perdebatan siapa yang lebih unggul tidak lagi relevan karena keunggulan masing-masing generasi. Pasangan JK-AHY bisa memiliki unsur pengalaman ala Cicero dan juga produktivitas yang dikemukakan oleh Alesina.
AHY, sebagai sosok yang digadang-gadang menjadi pemimpin di masa depan jelas memiliki karir politik yang panjang seperti yang dikemukakan Alesina. Oleh karena itu, kebijakan yang ia ambil cenderung akan sangat strategis karena memperhitungkan karir politiknya yang masih panjang tersebut. Oleh karena itu, terobosan baru bisa diharapkan hadir dari pemimpin muda seperti AHY ini.
Jika pasangan JK-AHY jadi terbetul, ini kombinasi yg komplit; Luar Jawa-Jawa, Senior-Junior, Sipil-Militer, Tua-Muda, pengalaman dan visi millenial.
— MoneThamrin (@monethamrin) June 12, 2018
Di sisi lain, JK dengan segudang pengalamannya sudah mengalami cukup banyak tempaan intelektualitas seperti yang digambarkan oleh Cicero. Kematangannya akan mampu mengimbangi langkah strategis dan enerjik pemimpin muda agar tidak salah langkah. Orang tua seperti JK bisa menawarkan kebijaksanaan untuk melengkapi sisi enerjik pemimpin muda seperti AHY.
Selain bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi keunggulan dan kekurangan masing-masing, pasangan seperti ini juga dapat memberi keunggulan dari sisi regenerasi. Sebagai politikus yang lebih senior, JK bisa melakukan prosesi passing the torch atau “memberikan obor” kepada AHY.
Di usia yang telah memasuki kepala tujuh, JK boleh jadi telah melewati masa primanya sebagai seorang politikus. Oleh karena itu, diprediksi ia tidak akan telampau lama menduduki kursi orang nomor satu di negeri ini. Ia kemudian dapat melakukan suksesi dengan mulus kepada AHY. AHY yang telah ditempa oleh JK, kemungkinan dalam kondisi yang lebih matang sehingga tergolong lebih siap untuk menduduki pucuk pimpinan.
Meski demikian, ada rumor bahwa JK yang dimaksud dalam kolaborasi ini bukanlah JK berpasangan secara langsung dengan AHY. JK akan berperan sebagai promotor bagi kandidat lain untuk dipasangkan dengan Ketua Kogasma Demokrat tersebut. Sosok itu disebut-sebut adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Boleh jadi, kematangan intelektualitas ala Cicero dalam diri JK akan diterjemahkan melalui sosok Anies. Terlepas dari pasangan mana yang akan terbentuk nanti, penggabungan unsur tua-muda dapat menjadi salah satu opsi yang menarik. Bukan tidak mungkin penggabungan dua unsur itu dapat berbuah manis seperti yang diinginkan Demokrat. (H33)