HomeNalar PolitikJIS dan Komodifikasi ala Anies

JIS dan Komodifikasi ala Anies

Salat Idulfitri yang meriah di kawasan Jakarta International Stadium (JIS) membuat sebagian pengamat menilai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tengah memanfaatkan momentum sebagai panggung politik. Lantas, mungkinkah Anies juga menjadikan salat Idulfitri itu sebagai komoditas politik?


PinterPolitik.com

Warga Jakarta menyambut Idulfitri kali ini dengan penuh sukacita. Mereka berbondong-bondong melakukan salat Idulfitri di kawasan Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara – sebuah bangunan monumental yang baru saja diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Anies memperlihatkan rasa puas dengan hasil karyanya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut juga mengungkapkan bahwa hal ini merupakan pertama kalinya penyelenggaraan salat Idulfitri di JIS – sehingga peristiwa ini dapat menjadi momentum bersejarah bagi warga Jakarta.

Namun, di balik rasa bahagia itu, terdapat pula sebagian orang yang bertentangan. Sejumlah pengamat politik menilai Anies tengah memanfaatkan momentum tersebut untuk menunjukkan kemampuan mengerahkan massa.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin mengatakan bahwa Anies memanfaatkan momentum salat Idulfitri berjamaah di JIS sebagai panggung politik – meski tetap melihat bahwa apa yang dilakukan Anies sah-sah saja dalam memanfaatkan berbagai kesempatan.

Anies juga dinilai sedang bermanuver habis-habisan sebelum masa jabatannya berakhir pada Oktober mendatang. Anies bahkan dituduh memanfaatkan salat Idulfitri berjamaah di JIS sebagai upaya menggeser stigma kedekatan dengan kelompok garis keras.

Strategi memanfaatkan momentum, seperti salat Idulfitri ini, merupakan taktik yang cerdas dilakukan oleh Anies. Terlihat bahwa usahanya untuk mencuri perhatian dalam sebuah momen bisa dianggap berhasil.

Namun, apakah menggunakan momen seperti salah Idulfitri ini tanpa risiko? Kemungkinan risiko muncul pasti ada.  Meski manuver ini akan berdampak positif bagi persiapan Anies menuju 2024, Anies bukan tidak mungkin akan diberikan stigma sebagai kandidat yang menggunakan agama – spesifiknya ritual agama yang menjadi komoditas politik.

Peristiwa ini bisa asumsikan bahwa Anies menjadikan agama sebagai komoditas politik karena salat Idulfitri di JIS bukan hanya peristiwa ritual keagamaan. JIS dapat dilihat sebagai  simbol kerja Anies. Salat di JIS seolah mengapresiasi kinerja Anies. Karena itu, dalam konteks politik, ini bisa menguntungkan Anies.

Dalam konteks politik ini, menjadi menarik untuk melihat konsep politik yang jadikan agama sebagai komoditasnya. Lantas, muncul pertanyaan, seperti apa akar sosiologis dan dampaknya jika agama dijadikan komoditas politik?

anies janji sudah ditunaikan ed.
ANies Janji Sudah Ditunaikan

Meraba Komodifikasi Agama

Andrew Norman Wilson dalam bukunya Why We Should Live Without It mengatakan bahwa tumbuh berkembangnya agama dalam suatu negara bukan disebabkan oleh esensi dari nilai religiositas, melainkan oleh pemanfaatan nama atau simbol agama tersebut untuk kepentingan politik dan bisnis.

Argumentasi Wilson ini dapat dijadikan sebagai gerbang pembuka untuk memahami normalitas baru tentang arti dari nilai religiositas yang mulai berubah dalam pandangan negara modern. Tentunya, hal ini terpengaruh dari sikap akan afirmasi negara terhadap sekularisasi antara agama dan politik.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Sikap ini terlihat jelas ketika ritual agama sudah tidak lagi dianggap sakral, melainkan hanya sebagai seremonial. Lebih jauh, seremoni ritual agama ini selalu lekat dengan kepentingan politik yang hadir di tengah masyarakat.

Adjie Suradji dalam tulisannya Politisasi dan Komodifikasi Agama mengatakan bahwa ritual keagamaan tak lagi bisa dimaknai secara teologis semata tetapi sudah bergeser menjadi bagian dari afiliasi dan afinitas kelas sosial yang bersifat duniawi. Dari sini, bisa diamati bahwa bukti politisasi dan bisnis agama itu nyata.

Dalam konteks sejarah, muncul fenomena naiknya tren konsumsi jargon Islam oleh pemeluknyya (Islamic consumption trend) yang mewabah di Indonesia. Sebuah fenomena yang memperlihatkan peningkatan tren para kaum muslim untuk mengkonsumsi istilah-istilah atau jargon-jargon dalam ajaran Islam.

Sekilas, fenomena ini seolah menggambarkan peningkatan religiositas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya.Islamic consumption trend yang tumbuh sejak era 1990-an realitasnya telah menjadi kekuatan politik dan bisnis sangat signifikan di Indonesia.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam terbesar di dunia – sebesar 229 juta jiwa, menjadi wajar bila politisasi dan komodifikasi Islam tumbuh di negeri ini.

Namun, dalam perspektif lain, fenomena ini mengisyaratkan ada keterlibatan politik praktis di dalamnya. Euforia aktualisasi identitas Islam telah dimanfaatkan oleh para elite politik untuk menjadikan agama sebagai kemasan politik dan komoditas meraih kekuasaan.

Praktik politisasi dan komodifikasi agama ini sekaligus menandakan terjadinya transformasi dari spiritual intelligence (kecerdasan spiritual) menjadi emotional spiritual marketing (pemasaran spiritual secara emosional).

Kondisi dekadensi spiritual ini sudah diramalkan oleh filsuf Islam yang bernama Ibnu Rusyd dengan pernyataannya yang terkenal, yaitu, jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama. Agama dapat dijadikan alat politik untuk menggerakkan orang tak berpengetahuan.

Selanjutnya, muncul pertanyaan, mengapa agama menarik untuk dijadikan komoditas politik? Pertanyaan ini menarik karena mencoba mempertanyakan agama sebagai objek yang selalu diminati untuk dijadikan komoditas politik.

Merujuk dari tulisan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang berjudul Agama Rentan Jadi Komoditas Politik, mengatakan, terdapat alasan mengapa agama menjadi pertimbangan utama dalam politik dapat dilihat dari level hubungan sosial di masyarakat.

Hubungan sosial memiliki kaitan erat dengan politik identitas karena memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi bridging yang dibentuk dengan pergaulan yang baik dengan kelompok lain. Kedua, dimensi bonding yang bertumpu pada hubungan  sosial dengan kelompok sejenis dalam agama dan etnis.

Kedua dimensi tersebut memiliki dampak yang jauh berbeda. Bonding berdampak pada solidaritas pada kelompok yang sejenis tetapi, pada kelompok luar, cenderung negatif. Sementara, bridging memiliki sisi positif dengan kelompok luar yang berbeda.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Karena melihat peluang dari praktik politisasi agama begitu efektif digunakan. Anies bisa jadi menggunakan strategi semacam ini di tengah momen salat Idulfitri di JIS. Lantas, mungkinkah politik ini akan punya dampak positif bagi Anies dalam mengkapitalisasi dukungan untuk maju pada Pilpres 2024?

jokowi anies psi gigit jari ed.
Jokowi kunjungi sirkuit formula e bersama Anies

Politik Anies Berisiko?

Meski punya dampak positif terhadap elektabilitas, pilihan strategi politik agama yang dilakukan oleh Anies ini cukup berisiko. Risiko yang dimaksud bukan berdampak kepada Anies sebagai aktor politik, melainkan agama sebagai sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.

Bisa jadi, kondisi seperti ini mengisyaratkan bahwa ritual keagamaan khususnya Islam, tak lagi bisa dimaknai secara teologis semata, melainkan  sudah bergeser menjadi bagian dari afiliasi dan afinitas kelas sosial yang bersifat duniawi (profan).

Dengan demikian, tak heran jika nilai-nilai religiositas Islam semakin kabur dan kehilangan nilai kesakralannya. Dengan mengakumulasi spiritualitas menjadi komoditas politik, tata nilai Islam berubah hanya menjadi simbolis yang hanya mengedepankan kamuflase dan pencitraan semata.

Di sinilah akar risiko yang dimaksud di awal, yaitu memungkinkan akan munculnya sikap eksklusivisme dan inklusivisme yang berkaitan dengan ideologi radikalisme dan ini seharusnya menjadi perhatian bersama.

Mengakomodasikan agama (Islam) ke dalam persoalan politik menjadikan eksistensi Islam menguat meskipun bukan dalam hal pemahaman nilai spiritualitas atau religiositasnya, melainkan untuk kepentingan duniawi atau politik.

Fenomena ini yang telah lama dikhawatirkan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang merupakan tokoh pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia yang mencoba mengisyaratkan bahwa perlu adanya sekularisasi dalam tubuh Islam.

Sekularisasi yang dimaksudkan adalah liberating development. Pembebasan (liberating) kesejarahan umat Islam yang tidak sanggup membedakan mana yang masuk ke dalam nilai transendental (ukhrawi) dengan nilai temporal (duniawi).

Menurut Cak Nur, masih banyak yang menempatkan wilayah yang seharusnya temporal ke dalam transendental. Umat Islam semestinya menempatkan porsi keduniawian sebagai sesuatu yang duniawi. 

Perlu semacam tuntutan etis untuk menolak agama dijadikan komoditas politik karena efeknya yang besar terhadap agama itu sendiri. Dampaknya adalah membuat semakin mengaburnya nilai religiositas Islam. Kita akan sulit membedakan identitas Islam sebagai media spiritual (agama) ataukah merupakan senjata politik.

Sebagai penutup, Anies sebagai salah satu cendekiawan muslim yang punya rekam jejak dalam dunia intelektual Islam diharap mampu melihat dampak fenomena politik ini. Jangan sampai karena didorong oleh ambisi politik, rela tetap gunakan simbol agama sebagai komoditas politik yang cukup berisiko. (I76)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...