Setelah poster deklarasi, kini muncul Sahabat LBP yang mendukung Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk maju sebagai capres di 2024. Jika boleh berandai-andai, kira-kira apa yang terjadi jika Luhut terpilih sebagai presiden di 2024?
“In China, you have to have a strong leader for a business to get anything done.” — Zong Qinghou, pebisnis Tiongkok
“Hidup Julius Caesar, hidup Julius Caesar”. Begitu sorak sorai masyarakat Roma di sebuah pasar ketika pemimpin mereka, Julius Caesar tengah lewat dengan kereta kuda berkilau emasnya. Sorak sorai seperti itu adalah pemandangan biasa di Roma sekitar tahun 49-44 SM. Menurut Steven Fife dalam Caesar As Dictator: His Impact on the City of Rome, itu lah tahun di mana Caesar memimpin sebagai diktator.
Meskipun dikenal sebagai pemimpin bertangan besi, secara mengejutkan Caesar justru mendapat cinta yang meluas dari masyarakat Roma. “Julius Caesar adalah pemimpin yang agung,” tutur seorang pedagang sutra kepada pembelinya dari negeri yang jauh.
Dalam berbagai catatan sejarah, kecintaan atas sosok Caesar ternyata bukan sebuah kultus individu, melainkan karena kehebatannya dalam menjawab masalah-masalah di Roma. Mengutip Steven Fife, salah satu krisis awal yang harus dihadapi Caesar ketika memimpin adalah hutang yang meluas di Roma, terutama setelah pecahnya perang saudara ketika pemberi pinjaman menuntut pembayaran dan runtuhnya nilai real estat.
Imbasnya, terjadi kekurangan mata uang yang serius karena orang menimbun apa pun yang mereka miliki. Menyadari keseriusan situasi, Caesar mengeluarkan berbagai kebijakan responsif. Mulai dari menetapkan harga properti seperti nilainya sebelum perang, memberlakukan kembali undang-undang yang melarang seseorang memegang lebih dari 60.000 sesterce secara tunai, membatalkan semua pembayaran bunga yang jatuh tempo sejak awal tahun 49 SM, dan mengizinkan penyewa untuk tidak membayar sewa selama satu tahun.
Baca Juga: Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?
Selain responsif terhadap berbagai persoalan di Roma, Caesar juga memainkan “politik mercusuar” dengan membangun gedung-gedung publik baru dan merancang proyek-proyek besar. Ternyata, pembangunan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai metode untuk mengurangi pengangguran, melainkan juga agar penampilan Roma tidak kalah mengesankan dari Alexandria, kota terbesar di Mediterania saat itu.
Membaca penghormatan yang diterima Caesar dari masyarakat Roma meskipun merupakan seorang pemimpin bertangan besi, membuat penulis teringat pada intrik-intrik politik terbaru saat ini. Ya, bagi yang mengikuti pemberitaan, tentu mengetahui tengah ada sinyal dukungan terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk maju sebagai capres di 2024 nanti.
Tidak hanya ada poster deklarasi, bahkan sudah ada relawan Sahabat LBP yang siap mendukung di kontestasi elektoral mendatang. Jika boleh berandai-andai, katakanlah Luhut maju di Pilpres 2024 dan kemudian memenangkannya, apakah sang jenderal dapat menjadi seperti Julius Caesar?
Butuh Pemimpin Kuat?
Kenapa penulis teringat cerita Julius Caesar, karena menurut Tony Walker dalam The rise of strongman politics, saat ini tengah terjadi tren kebangkitan pemimpin-pemimpin kuat. Mulai dari Tiongkok ke Rusia, hingga India ke Mesir, pemimpin-pemimpin kuat tengah ramai menampakkan dirinya.
Seperti yang terjadi di awal kepemimpinan Caesar di Roma, kondisinya mungkin mirip-mirip dengan di Indonesia. Ada persoalan hutang yang kerap jadi bahan kritik oposisi, masalah pengangguran, dan banyaknya proyek-proyek infrastruktur besar.
Dengan fakta Luhut selalu diberikan tugas-tugas berat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), itu adalah sinyal kuat bagaimana sosoknya adalah seorang pemimpin kuat dan efektif. Ini pula yang menjadi dasar dukungan Sahabat LBP terhadapnya. Luhut disebut sebagai problem solver.
Apalagi, seperti dalam pandangan Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Durham University, David J Hunter, karakter kepemimpinan Luhut yang tidak banyak beretorika dan lebih menunjukkan hasil sesuai dengan kondisi media saat ini. Dalam banyak kasus, pemimpin yang banyak beretorika kerap menjadi sasaran pemberitaan media, khususnya ketika kebijakannya tidak sejalan dengan retorika. Ini jelas penting untuk menghindari kebisingan-kebisingan politik berlebih.
Apa yang Terjadi?
Sekarang kita ke perandaian saktinya. Tentu penulis menyadari terdapat berbagai rintangan besar untuk terpilih sebagai RI-1. Jangankan terpilih, maju sebagai capres saja Luhut belum tentu berkesempatan. Namun, apabila kita sedikit menutup mata dan menerawang apa yang terjadi jika Luhut jadi presiden di 2024, setidaknya ada lima poin yang dapat dibayangkan.
Pertama, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Indonesia akan memiliki pemimpin kuat. Poin ini sangat vital karena dalam berbagai pengamatan, Presiden Jokowi terlihat mendapat berbagai tekanan politik.
Ini misalnya terlihat jelas pada kasus revisi UU KPK, di mana Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sempat menyebut RI-1 dapat dimakzulkan apabila menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi tersebut. Kemudian, ada pula pernyataan berulang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang mengeluarkan diksi “petugas partai”.
Masalahnya, tekanan politik yang terjadi juga berimbas pada tidak efektifnya pengambilan kebijakan. Menurut ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama, masalah ini disebut dengan vetokrasi (vetocracy).
Baca Juga: Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?
Dalam wawancara bersama PinterPolitik, politisi PDIP Budiman Sudjatmiko mengemukakan perbedaan situasi politik selepas kejatuhan Soeharto. Tuturnya, saat ini segalanya menjadi politis, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke level pembahasan teknis. Kontras, di negara otoriter semuanya justru adalah masalah teknis, sehingga terjadi efektivitas pengambilan kebijakan.
Seperti kutipan Zong Qinghou di awal tulisan, Luhut yang merupakan pemimpin kuat sekiranya adalah sosok yang dibutuhkan agar “bisnis” dapat berjalan dan selesai dengan baik.
Jika Luhut jadi RI-1, dengan besarnya pengaruh politik yang dimiliki, serta karakternya yang dominan, rasa-rasanya sulit membayangkan ada pihak yang menyebut Luhut “petugas partai”. Terkait hal ini, pada Maret 2017 lalu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar bahkan menyebut, jika dulu pengaruh Luhut seperti sekarang, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mungkin tidak jatuh sebagai presiden.
Menurut Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff, Luhut juga disebut sebagai semacam bemper Presiden Jokowi dari berbagai tekanan politik dan kelompok kepentingan. Jika itu benar, sekali lagi, itu menunjukkan betapa besarnya pengaruh politik mantan Dubes Singapura ini.
Kedua, Luhut akan langsung memiliki relasi yang baik dengan militer. Faktor Luhut sebagai militer senior jelas sangat berpengaruh di sini. Konteks ini pula yang akan membedakannya dengan Presiden Jokowi. Pasalnya, menurut peneliti senior CSIS Evan A. Laksmana dan Direktur ISESS Khairul Fahmi, di periode pertamanya Presiden Jokowi disebut “insecure” karena tidak memiliki pengalaman dalam mengelola hubungan dengan militer.
Barulah di periode kedua, tepatnya menjelang akhir periode pertama, Evan dan Fahmi melihat mantan Wali Kota Solo tersebut sudah memiliki modal politik, pengalaman yang cukup, dan kepercayaan diri untuk mengelola hubungan dengan militer.
Ketiga, Luhut dapat mengulang kasus Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau Jusuf Kalla (JK) yang aktif tampil di forum-forum internasional. Terkhusus JK, menurut Indonesianis dari Ohio State University, William Liddle, salah satu keunggulan JK terletak pada internasionalismenya, yang mana ini melengkapi tipe kepemimpinan SBY yang cenderung nasionalis.
Keunggulan tersebut kemudian begitu kentara di era Jokowi. Mantan Ketua Umum Golkar ini kerap menggantikan Jokowi di forum-forum internasional dan diutus sebagai delegasi. Misalnya, ketika JK memimpin delegasi Indonesia pada KTT G20 di Buenos Aires, Argentina pada 2018, dan menggantikan Jokowi pada Konferensi Tingkat-Tinggi One Belt One Forum (KTT OBOR) di Beijing, Tiongkok pada April 2019.
Dengan jejaring bisnis yang luas, kemampuan diplomasi yang baik, dan karakter kepemimpinannya, besar kemungkinan Luhut tidak akan memilih pengganti atau akan tampil sendiri di forum-forum internasional.
Baca Juga: Menakar Peran Internasional JK vs Ma’ruf
Keempat, ada potensi arah ekonomi Indonesia akan fokus dan mengembangkan sektor energi. Selain karena energi adalah pasar yang tidak bisa habis, ini juga berkaitan dengan grup perusahaan yang didirikan Luhut, PT Toba Sejahtra, yang bergerak di bidang energi, seperti kelistrikan, pertambangan, dan migas.
Penekanan ini bukan dalam artian Luhut memanfaatkan posisinya untuk menguntungkan PT Toba Sejahtra, melainkan pengalamannya di grup perusahaan tersebut akan membentuk kacamata dan preferensi arah ekonominya ketika menjadi RI-1.
Ini misalnya sudah terlihat ketika Luhut beberapa kali menjalin kontak dengan pendiri Tesla Elon Musk, membahas baterai mobil listrik, dan ungkapan Indonesia akan menjadi pemasok nikel terbesar di dunia.
Kelima, mungkin Luhut akan memiliki hubungan yang kurang baik dengan kelompok Islam konservatif. Ini dapat kita lihat pada kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang terus didera demonstrasi karena statusnya sebagai bukan pemimpin Muslim.
Well, apa pun yang terjadi, kelima poin tersebut adalah perandaian sakti. Seperti yang disebutkan sebelumnya, jangankan terpilih sebagai RI-1, maju sebagai capres di 2024 nanti juga belum tentu bagi Luhut. Kita lihat saja kelanjutan fenomena dukungan terhadap LBP ini. (R53)