Kebakaran gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) banyak disebut sebagai upaya sabotase karena Kejagung tengah menangani kasus besar, seperti kasus Djoko Tjandra. Jika benar demikian, di mana peran Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendeteksi dan mencegah masalah tersebut?
“Knowledge is power and the man who knows most will be the most powerful” – Peter Hamilton dalam Espionage and Subversior
Bagi sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara, malam Minggu merupakan waktu yang istimewa. Ini adalah saat untuk bertemu, bercengkerama, dan melepas rindu. Terlebih, jika sebelumnya disibukkan dengan rutinitas kerja, malam Minggu bersama dengan pasangan merupakan bentuk relaksasi tersendiri.
Namun, istimewanya malam Minggu tampaknya tidak terjadi bagi Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini. Bagaimana tidak, di malam Minggu kemarin, telah terjadi kebakaran besar yang melalap sebagian besar gedung Kejagung.
Uniknya, tidak sedikit warganet yang mengaitkan kebakaran tersebut dengan kasus Djoko Tjandra yang tengah ditangani oleh Kejagung saat ini. Terlebih lagi, politisi elite sekaliber Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD turut berkomentar dengan menyebutkan adanya potensi sabotase atas kejadian ini.
Tidak hanya Mahfud, Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta juga memberikan dugaan serupa. Tuturnya, menimbang pada kasus-kasus besar yang tengah ditangani Kejagung, tidak mengherankan apabila publik mengaitkannya dengan upaya sabotase. Apalagi, menjadi pertanyaan tersendiri apakah gedung Kejagung tidak memiliki sistem pencegahan yang memadai, menimbang pada besarnya kebakaran yang terjadi?
Kendati Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan berkas-berkas perkara aman, publik tentu tetap menaruh curiga perihal berdekatannya momentum penangkapan Djoko Tjandra dengan kasus kebakaran.
Lantas, mengapa tudingan sabotase ini ramai terlontar di tengah diskursus publik? jika benar telah terjadi sabotase alias gedung Kejagung sengaja dibakar, di mana peran Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai lembaga yang seharusnya mendeteksi dan mencegah masalah tersebut?
Dugaan Tak Terhindarkan?
Jika kita ditanya, apakah yang membedakan manusia dengan organisme lainnya? Tentu jawabannya adalah kemampuan dalam berpikir. Namun, jika kembali ditanya, kemampuan berpikir seperti apa yang dimaksud? Di sini, mungkin tidak sedikit yang akan kesulitan merangkai kata untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Mark P. Mattson dalam tulisannya Superior Pattern Processing is the Essence of the Evolved Human Brain menjelaskan bahwa keunggulan utama otak manusia terletak dari kemampuannya dalam merangkai pola yang disebut dengan superior pattern processing (SPP).
SPP adalah kemampuan manusia yang memungkinkannya untuk membuat bahasa, berimajinasi, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial. Keunggulan fitur ini yang dapat kita gunakan untuk menjawab mengapa sapi tidak akan pernah dapat mengikuti bahasa manusia meskipun hidup bertahun-tahun bersama manusia.
Tidak hanya sekedar menangkap pola, SPP juga memungkinkan manusia untuk membuat proyeksi masa depan. Kemampuan ini didapatkan karena selama proses evolusi, telah terjadi perluasan di bagian otak korteks serebral, terutama korteks prefrontal, di mana bagian otak ini terlibat dalam pemrosesan gambar dan imajinasi.
Jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu sosial, seperti semiotika, hermeneutika, dan fenomenologi, kajian-kajian tentang kemampuan manusia dalam merangkai simbol dan melakukan interpretasi atasnya, tampaknya berakar pada SPP.
Penjelasan Mattson tersebut sedikit tidaknya menjawab mengapa berbagai pihak berusaha mencari pola dan membuat simpulan atas kasus kebakaran gedung Kejagung baru-baru ini. Pasalnya, publik tidak hanya menangkap pola seperti adanya momentum kejadian yang berdekatan seperti belum lama ini Djoko Tjandra ditangkap, melainkan juga turut membuat imajinasi dan proyeksi, seperti membayangkan adanya usaha sabotase untuk menghilangkan jejak perkara.
Secara sederhana, mudah bagi publik untuk berpikir, jika kebakaran tersebut berakibat pada hilangnya berkas-berkas perkara, akan terdapat rasionalisasi untuk menunda perkara, hingga pada mengubah berkas perkara.
Apalagi, tidak hanya kasus Djoko Tjandra yang tengah ditangani, kasus besar lainnya seperti Jiwasraya, yang ramai disebut memiliki kaitan dengan Pilpres 2019 juga berada di bawah Kejagung.
Menariknya, dengan kebakaran besar yang terjadi di gedung vital negara, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Tubagus Ade Hidayat justru menyebutkan bahwa olah tempat kejadian perkara (TKP) urung dilakukan pada hari Minggu kemarin.
Tegasnya, ini karena tim pemadam kebakaran masih berjibaku memadamkan api dan mendinginkan TKP. Kendati alasan tersebut masuk akal karena berkaitan dengan keamanan penyidik, mengacu pada Mattson, variabel ini secara alamiah akan dikaitkan, serta diimajinasikan oleh publik sebagai adanya kekuatan di luar sana yang tengah menghambat penyelidikan.
Jika kita berspekulasi jahat, karena olah TKP baru akan dilakukan di hari Senin, bisa saja terdapat pihak-pihak tertentu yang berusaha menghilangkan barang bukti. Namun, sekali lagi ini hanyalah spekulasi semata.
Katakanlah memang benar terdapat sabotase seperti yang diduga oleh Mahfud dan Stanislaus, apa yang dapat dimaknai dari kasus ini?
Di Mana Badan Intelijen?
Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, menyebutkan bahwa salah satu raison d’etre intelijen adalah mekanisme umpan-balik. Mengutip Sun-Tzu dalam War and Management, ini adalah strategic controls yang dilakukan oleh intelijen dengan menyampaikan feedback pada tahap penentuan tujuan dan strategi, tahan evaluasi, dan tahap implementasi kebijakan.
Tentunya, untuk dapat memberikan masukan yang andal, intelijen harus melakukan penyelidikan dan riset agresif atau proaktif agar informasi yang diberikan bermutu dan terbaru. Penyelidikan ini, tidak hanya berguna sebagai masukan kebijakan, melainkan juga sebagai bagian upaya mendeteksi potensi masalah, demi terciptanya keamanan.
Atas hal tersebut, tentu menjadi pertanyaan tersendiri, di mana peran Badan Intelijen Negara (BIN) saat ini? Jika terdapat potensi sabotase atau penghilangan jejak perkara, mengapa BIN tidak melakukan tindakan pencegahan agar kebakaran gedung Kejagung tidak terjadi? Apakah BIN tengah mati suri di kasus ini?
Mengacu pada pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, kendati BIN mengkoordinasikan setiap lembaga intelijen, namun ujung tombak atau eksekusi atas penyelidikan yang dilakukan berada di tangan Polri. Artinya, menjadikan BIN sebagai pesakitan atas tidak adanya upaya pencegahan kebakaran gedung Kejagung adalah keliru adanya.
Getirnya, kurangnya peran Polri dalam masalah ini beririsan dengan investigasi Tempo dengan tajuk Nyanyian Sumbang Kawan Seiring, yang menyebutkan kasus Djoko Tjandra menyeret dua jenderal dan pengusaha yang dekat dengan petinggi Kepolisian RI.
Merujuk kembali pada penjelasan Mattson terkait SPP, ini tentunya membuat berbagai pihak sulit untuk tidak mengaitkannya dengan seolah tidak adanya upaya pencegahan kebakaran gedung Kejagung dari pihak Kepolisian.
Terlebih lagi, dengan melihat polanya, seolah terdapat pelonggaran upaya pencegahan atau keamanan terhadap pihak yang menangani kasus korupsi. Gatot Tarunamihardja, Sukarton Marmosudjono, Baharudin Lopa, dan Syafiuddin Kartasasmita adalah contoh jaksa agung terdahulu yang tidak mendapatkan perlindungan memadai ketika bersentuhan dengan kasus korupsi.
Melihat pada bukti sejarah tersebut dan berbagai kasus kekinian, Fahmi melihat seolah terdapat inkonsistensi dalam menegakkan kewaspadaan. Di satu isu tingkat kewaspadaan dapat begitu tinggi, sementara di isu lain terkesan meremehkan atau mengabaikan peluang adanya gangguan. Tegasnya, hal tersebut dapat menimbulkan persepsi bahwa ada konspirasi dalam berbagai gangguan keamanan yang terjadi.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai spekulasi yang menyebutkan kebakaran gedung Kejagung sebagai upaya sabotase adalah lumrah jika mengacu pada kemampuan kognisi manusia. Kemudian, peran Polri sudah seharusnya dievaluasi atas minimnya upaya pencegahan kebakaran, apabila benar kasus ini adalah upaya sabotase.
Bagaimana pun, tentu sukar untuk menjustifikasi kejadian apa yang sebenarnya terjadi di balik kebakaran gedung Kejagung. Kita tunggu saja hasil penyelidikan pihak berwenang atas peristiwa ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)