Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia dan Malaysia beberapa kali terlibat ketegangan. Lantas, apa jadinya jika dua negara rumpun melayu ini menjadi satu negara?
Ganyang Malaysia. Mungkin itu adalah intisari dari pidato Presiden Soekarno yang disampaikannya pada 3 Mei 1964. Dengan segala narasi anti kolonialisme yang dibawanya, Soekarno memang ingin menunjukkan sikap kerasnya terhadap negara-negara Barat – terutama Inggris – yang masih bercokol di Malaysia kala itu.
Walau memang banyak yang tidak mungkin terjadi, namun selalu ada cerita atau perandai-andaian yang muncul, misalnya bagaimana jika Soekarno berhasil mengalahkan Malaysia dan pada akhirnya membuat Indonesia dan Malaysia menjadi satu negara?
Apabila kita melihat buku sejarah, gagasan untuk menyatukan seluruh Melayu Raya atau Indonesia Raya di bawah satu negara, pernah muncul jelang kemerdekaan Indonesia. Adalah pertemuan rahasia Soekarno dan Hatta dengan beberapa tokoh dari Malaysia pada 13 Agustus 1945 yang disebut-sebut menjadi pintu masuk upaya untuk menyatukan Indonesia dan Malaysia menjadi satu negara.
Lalu seperti apa kisah pertemuan tersebut? Kemudian apa yang akan terjadi jika Soekarno dengan politik konfrontasinya berhasil menaklukkan Malaysia?
Kedekatan Kedua Negara
Kedekatan sosio-politik antara wilayah Melayu dengan Indonesia sudah terjadi sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha. Kerajaan Sriwijaya, misalnya, memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi hingga ke wilayah Semenanjung Malaka.
Demikian pun di era Majapahit, wilayah kekuasaannya bahkan juga sampai ke daerah Sabah dan Sarawak. Secara sosio-kultural, wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari negara Malaysia juga memiliki banyak kesamaan dengan masyarakat Indonesia.
Perbedaan utamanya mungkin dalam konteks penjajahan, di mana wilayah-wilayah di Indonesia adalah bekas jajahan Belanda, sedangkan Malaysia dijajah oleh Inggris.
Situasinya kemudian sedikit berubah ketika Jepang memulai kampanye politiknya ke Asia Tenggara. Sejak Desember 1941 Jepang mengambil alih wilayah-wilayah Malaysia. Sementara tanggal 10 Januari 1942 sering dianggap sebagai waktu awal Jepang menginvasi Indonesia.
Nah, konteks dikuasai oleh Jepang ini mungkin menjadi salah satu persamaan latar waktu yang kemudian mendasari gagasan pembentukan sebuah negara yang meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibombardir oleh Amerika Serikat (AS), tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat dipanggil ke Dalat, Vietnam, tepatnya pada 12 Agustus 1945. Mereka bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi yang merupakan pemimpin tertinggi militer Dai Nippon.
Terauchi menjanjikan akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Setelah selesai bertemu Terauchi, ketiga tokoh Indonesia itu tak langsung pulang ke Tanah Air. Mereka mampir dulu ke Singapura.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah 2 menyebutkan mereka kemudian dipertemukan dengan beberapa tokoh Malaysia, di antaranya adalah Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Hemy. Keduanya merupakan tokoh yang mendirikan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung atau KRIS yang merupakan organisasi pro unifikasi Indonesia dan Malaysia.
Ibrahim Yaacob sendiri merupakan tokoh politik yang menjadi pendiri Kesatuan Melayu Muda. Ini adalah organisasi nasionalis di Melayu yang berjuang melawan pemerintah Inggris.
Mengutip buku Graham K. Brown yang berjudul The Formation and Management of Political Identities, para tokoh yang berkumpul ini memang ingin berkongsi dengan harapan semua wilayah yang dikuasai oleh Jepang itu akan bersatu setelah kemerdekaan diberikan oleh Jepang. Adapun versi lain, seperti dikutip dari buku Reinventing Indonesia yang disunting oleh Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, pertemuan para tokoh ini bukan terjadi di Singapura, melainkan di Taiping, Perak – yang kini menjadi wilayah Malaysia.
Di kesempatan pertemuan itu, Ibrahim Yaacob berkata pada Hatta: “Marilah kita membentuk satu tanah air untuk seluruh putra-putri Indonesia”. Pertemuan ini sendiri memang difasilitasi oleh Jepang. Ada beberapa versi soal hasil pertemuannya. Ada sumber yang mengatakan kedua pihak menyambut ide tersebut secara antusias. Namun, ada pula yang menyebutkan tak ada deal yang terjadi pasca pertemuan itu.
Jika ditarik sedikit ke belakang, sumber lain menyebutkan narasi penggabungan menjadi satu negara ini sempat dibicarakan dalam rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945 dengan mayoritas anggota setuju. Namun, entah karena perubahan konstelasi politik atau hal lainnya, hal tersebut tak pernah terealisasi.
Yang jelas, setelah Soekarno dan Hatta kembali ke Indonesia dan dengan segala kompleksitas isu, misalnya terkait Jepang yang menyerah pada AS di tanggal 14 Agustus 1945, isu unifikasi ini akhirnya gugur. Apalagi para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus 1945.
Di kemudian hari, ketika Inggris kembali berkuasa atas Malaysia, Soekarno melakukan permusuhan terhadap negara tersebut yang berujung pada “pengerahan” sukarelawan perang ke wilayah perbatasan di Kalimantan.
Well, kembali pada perandaian sebelumnya. Kira-kira apa yang akan terjadi jika Indonesia dan Malaysia benar-benar bisa menjadi satu negara?
Jika Satu Negara
Sekalipun kemungkinan ini cukup kecil – mengingat kuatnya posisi Inggris di Malaysia kala itu dan bentuk dua negara ini sudah final – namun, jika berhasil dipersatukan, luas wilayah negara kesatuan ini akan ada di urutan ke-12 di dunia. Indonesia sendiri kini ada di urutan ke-15 dunia dalam hal luas wilayah.
Tambahan 32,3 juta populasi Malaysia membuat negara kesatuan ini akan total didiami hingga 300 juta penduduk. Lalu secara ekonomi, GDP Indonesia-Malaysia akan menyentuh angka US$1,6 triliun atau akan ada di urutan ke-13 dunia. Secara militer, akan mempunyai sekitar 1,2 juta personil militer.
Kemudian, konflik-konflik soal saling klaim budaya atau produk tertentu juga tidak akan terjadi. Sedangkan untuk bentuk negara, sangat mungkin Indonesia-Malaysia akan menjadi sebuah negara federasi karena pasti akan ada pertimbangan dengan Malaysia yang mempunya 13 negara bagian atau teritori independen lainnya. Kemudian, para TKI pun tak perlu pusing mengurus surat-surat keluar negeri karena mereka hanya pindah wilayah.
Perandaian ini dapat dikatakan positif. Namun, konfrontasi “Ganyang Malaysia” yang dilakukan Soekarno tampaknya telah membuat wacana ini menjadi masa lalu sejarah.
Pasalnya, eskalasi konflik bisa saja makin besar. Apalagi jika negara-negara di belakang masing-masing kubu – Indonesia dengan Uni Soviet dan Tiongkok, serta Malaysia dengan Inggris dan negara-negara Barat – ikut juga melibatkan diri. Level kekacauannya akan menjadi semakin besar, dan berpotensi menciptakan perang.
Jika melihat kondisi terkini, penggabungan kedua negara ini mungkin tidak sebaik yang dibayangkan. Pada konteks ekonomi, misalnya, penggabungan mungkin akan merugikan masyarakat Malaysia yang saat ini ekonomi per kapitanya lebih baik. GDP per capita Indonesia pada 2021 menyentuh angka US$4.349, sementara Malaysia ada di angka US$12.500.
Pada akhirnya, kisah tentang Ibrahim Yaacob memang menggambarkan bahwa narasi menyatukan Indonesia dan Malaysia dulunya pernah ada. Ibrahim Yaacob adalah sosok yang mengagumi Soekarno. Ia kemudian pindah ke Indonesia, dan berganti nama menjadi Iskandar Kamel. Ia juga menjadi salah satu orang yang pada akhirnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Well, Indonesia dan Malaysia mungkin tidak akan pernah bisa jadi satu negara. Tapi bukan berarti kita tidak bisa menjadi saudara yang saling menghormati dan menjaga. Sebab, apa gunanya serumpun bila tak berkawan. Apa gunanya sejarah bila tak membuat kita bersahabat.