Saat ini jurnalisme memasuki babak baru, yakni era New Media. Disebutkan, era ini dicirikan oleh penetrasi artificial intelligence (AI) ke dalam industri pers. Jika terus berkembang, apakah ke depannya AI akan menggantikan peran manusia sebagai jurnalis?
“Predicting the future isn’t magic, it’s artificial intelligence.” – Dave Waters
Seperti apa masa depan?. Itu lah pertanyaan yang menjadi inti berbagai film fiksi ilmiah. Menurut David Ropeik dalam tulisannya Why Do We Keep Predicting The Future If We Are So Often WRONG?, ketakutan atas ketidakpastian menjadi landasan utama untuk menebak masa depan. Kita sangat tidak nyaman atas ketidaktahuan. Kita ingin mengetahui 10-30 tahun lagi akan seperti apa.
Khususnya dengan perkembangan pesat pengetahuan dan teknologi, prediksi atas masa depan tampaknya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan. Seperti yang disebutkan Howard H. Stevenson, prediksi masa depan adalah pijakan untuk membuat rencana tentang perkembangan pembangunan.
Terlepas dari tingkat keakuratannya, kita butuh membuat prediksi untuk memetakan risiko dan peluang. Ini pula yang menjadi penekanan Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century. “Seperti apa pasar kerja di tahun 2050?”, tanya Harari. Pasar kerja di tahun 2050 mungkin akan dicirikan oleh kerja sama antara artificial intelligence (AI) dengan manusia, jawabnya.
Di berbagai lini kehidupan dan industri, penetrasi AI sebenarnya telah banyak terlihat. Misalnya Google Maps untuk menggantikan peta dan Google Translate untuk menggantikan kamus. Tidak terkecuali industri media atau pers, saat ini ada narasi tentang jurnalisme masa depan.
Profesor Jurnalisme di Université du Québec à Montréal (UQAM), Patrick White dalam tulisannya How artificial intelligence can save journalism juga memberi prediksi serupa. Di masa depan, ruang-ruang redaksi media akan diisi oleh AI, dan itu sepertinya tidak terhindarkan.
Dengan perkembangan yang disebutkan Patrick White, apakah AI dapat menggantikan manusia menjadi jurnalis?
New Media
Terkait penetrasi AI di dunia pers, saat ini ramai diskursus soal New Media. Ini adalah bentuk media yang komputasional dan mengandalkan komputer untuk redistribusi berita. Media tidak lagi berkutat pada paper, koran, atau surat kabar, melainkan telah menjadi ruang-ruang digital.
Robert Wynne dalam tulisannya What’s New About The “New” New Media, menyebutkan, apa yang baru dari New Media adalah semuanya menjadi mobile – everything is mobile. Interaksi media dengan pembaca menjadi real time alias 24 jam. Jika sebelumnya pemberitaan media berjalan satu arah, saat ini pemberitaan langsung mendapat respons atau tanggapan dari pembaca, sehingga alur komunikasinya menjadi dua arah.
Dan yang paling menarik, kembali mengutip Patrick White, AI dapat membantu dan membuat konten berita. AI dapat melakukan transkrip wawancara, mencari foto pemberitaan, mengoreksi ejaan, hingga membuat berita seputar update skor pertandingan olahraga.
Meskipun dapat membantu, menurut Patrick White hanya 8-12 persen tugas jurnalis yang dapat dilakukan oleh AI. Menulis berita panjang, seperti analisis elaboratif dan investigatif merupakan peran yang hanya bisa dilakukan oleh jurnalis manusia.
Penekanan ini juga terlihat dalam penjelasan Yuval Noah Harari. Menurutnya, kendati di masa depan AI akan mengambil alih sebagian pekerjaan manusia, itu tidak membuat manusia kehilangan pekerjaan, melainkan membuat pekerjaan-pekerjaan baru.
Yuval mencontohkannya dengan dokter AI. Di masa depan, dokter tidak perlu lagi mendiagnosis penyakit yang sudah benar-benar diketahui karena tugas itu dapat dilakukan oleh dokter AI. Dengan demikian, dokter manusia akan fokus untuk mengembangkan metode bedah, obat, dan diagnosis baru.
Meminjam konsep ekonom Austria, Joseph Schumpeter, apa yang digambarkan Yuval adalah creative destruction. Awalnya, penetrasi AI mungkin merusak tatanan media, banyak reporter berita pendek yang digantikan robot. Namun itu kemudian menciptakan peluang dan kreativitas baru dengan hadirnya jurnalis-jurnalis dengan daya analisis tinggi.
Jika benar demikian, ini menjadi jawaban atas keresahan Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise. Menurut Nichols, tuntutan berita serba cepat dan clickbait saat ini, telah membuat jurnalis bergaya analisis dan investigatif menjadi semakin langka di industri pers.
Lantas, seberapa besar peluang creative destruction ini berhasil?
“New” New Media
Ada satu variabel kunci yang membuat creative destruction di era New Media akan berhasil, yakni kemuakan informasi repetitif. Seperti yang diketahui, dengan adanya berbagai platform media, kita tidak perlu lagi membeli koran untuk membaca berita. Saat ini berita seperti singa-singa betina yang memburu mangsanya. Kita, pembaca yang justru didatangi oleh hujan pemberitaan.
Apa akibatnya? Alih-alih menikmati berita, kita menjadi letih atas arus informasi yang begitu cepat dan masif.
Menariknya, sejak tahun 1932, dalam novelnya Brave New World, Aldous Huxley telah memprediksi fenomena ini. Menurut Huxley, di masa depan akan ada waktu ketika masyarakat dibanjiri dengan begitu banyak informasi, sehingga membuatnya muak dan menjadi apatis terhadap pemberitaan.
Apalagi, seperti penjelasan Tom Nichols, dengan tuntutan pemberitaan cepat dan produksi masif, pemberitaan telah menjadi begitu repetitif, pendek, kurang berkualitas, dan sering kali hanya memainkan emosi pembaca.
Konteks-konteks tersebut membuat Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly sampai memberi saran yang radikal, yakni untuk berhenti membaca berita. Dobelli menyarankan untuk membaca jurnal ilmiah karena melihat berita justru mengganggu kesehatan kognisi dalam berpikir.
Nah, jika kemuakan itu telah memuncak dan berita menjadi begitu repetitif, dengan mengadopsi judul tulisan Robert Wynne, ini akan menjadi kebangkitan dari “New” New Media, yakni Media Baru yang Baru. Ini bukan lagi soal ruang redaksi media yang bekerja sama dengan AI. Penetrasi AI yang mengambil alih pembuatan berita repetitif akan membuat jurnalis dituntut untuk menjadi seorang interpretator.
Ya, tentu banyak yang bertanya, bukankah tugas jurnalis adalah menyampaikan fakta dan realitas apa adanya? Itu tidak salah, tapi bagaimana jika realitas itu tidak tetap?
Lincoln, Lynham dan Guba dalam tulisannya Paradigmatic controversies, contradictions, and emerging confluences menjelaskan terdapat tiga paradigma utama dalam melihat realitas. Pertama adalah positivist dan post-positivist, yakni realitas dipahami tetap, sehingga semua orang dapat melihat realitas yang sama.
Kedua adalah social critical, yakni realitas ditentukan oleh kekuasaan, sehingga gambaran atas realitas bergantung dari sudut pandang otoritas. Ketiga adalah interpretivist-constructivist, yakni realitas merupakan buah dari interpretasi. Alasannya sederhana, karena apa yang kita sebut dengan realitas pada dasarnya adalah persepsi.
Sejak filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche memperkenalkan gagasan perspektivisme, paradigma interpretivist-constructivist yang banyak diamini saat ini. Apa yang kita lihat adalah persepsi atau perspektif. Realitas itu kompleks, kita hanya mendapatkan gambaran parsial atasnya.
Di tengah pemberitaan yang memuakkan, jurnalis interpretatif akan mendapatkan tempatnya. Di masa depan akan hadir media-media interpretator yang tidak hanya menyampaikan apa yang terlihat, melainkan memberikan interpretasi terhadapnya. Kita tidak lagi menjumpai berita yang merupakan rangkuman dari press release atau cuitan politisi di Twitter.
Menjawab harapan Tom Nichols, media masa depan akan kembali beradu mempertontonkan ketajaman analisisnya. Mereka akan semakin mengembangkan pemberitaan analisis dan investigatif yang tidak mungkin dilakukan oleh AI. Itu lah “New” New Media. (R53)