Site icon PinterPolitik.com

Jet Pribadi Nasdem “Hancurkan” Anies?

nasdem ungkap 3 nama cawapres untuk anies baswedan

NasDem deklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden. (Foto: Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Salah satu kandidat calon presiden (capres) Anies Baswedan mengunjungi sejumlah daerah di Pulau Sumatera dengan menggunakan pesawat jet pribadi. Itu kemudian menghebohkan jagat maya lantaran politisi biasanya justru menampilkan image yang sederhana. Lalu, apakah sentimen minor yang ada mampu “menghancurkan” image Anies?


PinterPolitik.com

Calon presiden (capres) yang akan diusung Partai NasDem di kontestasi elektoral 2024 Anies Baswedan melakukan kunjungan ke beberapa daerah di Pulau Sumatera. Kunjungan itu menjadi lebih berbeda lantaran dirinya menaiki pesawat jet pribadi.

Video yang menampilkan dirinya menuruni pesawat jet pribadi itu menjadi viral di media sosial. Partai NasDem menyatakan bahwa pesawat yang digunakan Anies merupakan pesawat carteran atau sewaan.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali kemudian menekankan tidak ada salahnya jika Anies melakukan kunjungan menggunakan pesawat jet pribadi untuk mengefisiensi waktu.

Dia juga menambahkan terdapat hambatan untuk menggunakan pesawat komersial karena keterbatasan sehingga tanpa pemakaian pesawat jet sewaan, maka rombongan harus kembali terlebih dahulu ke Jakarta untuk kemudian menaiki pesawat menuju Sumatera Barat (Sumbar).

Pesawat jet sewaan itu diketahui memiliki biaya sewa per jam sebesar lebih dari 3.478 USD atau sekitar Rp53 juta. Sekilas, jika dilihat dari segi harga, pesawat jet sewaan Anies dapat dikatakan sangat mahal sehingga bisa jadi menimbulkan kesan sebagai politisi yang senang dengan kemewahan. Terlebih, perjalanan Anies memakan waktu kurang lebih sebanyak lima jam.

Dampaknya, kemungkinan dapat merambah kepada ranah dukungan dan elektabilitas seorang politisi. Lantas, mengapa politisi yang memperlihatkan kemewahan cenderung tidak disukai oleh masyarakat?

Tanda Tidak Setara?

Salah satu faktor mengapa publik cenderung tidak gemar dengan politisi yang mengumbar kemewahan yakni karena adanya faktor perasaan ketidaksukaan terhadap orang kaya akibat persepsi masyarakat yang merasakan ketidaksetaraan sosial-ekonomi.

Pernyataan itu dimuat dalam suatu tulisan berjudul It’s Easy To Hate The Rich But Harder To Justify It oleh Rhymer Rigby. Dia lebih lanjut menjelaskan konsep ketidaksetaraan itu dapat digambarkan menjadi sebuah piramida.

Orang kaya ditempatkan pada puncak piramida dengan jumlah yang lebih sedikit, namun memiliki pengaruh yang begitu besar sehingga menimbulkan kondisi yang timpang dengan masyarakat yang ditempatkan pada bagian bawah piramida dengan pengaruh yang tidak sebesar kelas atas.

Meskipun, banyak pihak yang begitu mudah untuk membenci orang kaya, namun pada dasarnya mereka sulit menjustifikasi alasan kebencian tersebut.

Selain itu, artikel berjudul Why Does Everybody Suddenly Hate Billionaires? Because They’ve Made It Easy yang ditulis oleh Roxanne Roberts juga membahas terkait terminologi negatif dari istilah “miliarder”.

Terminologi itu dapat dilihat dari ketidaksukaan mantan kepala eksekutif Starbucks Howard Schultz yang menyatakan dirinya tidak suka dipanggil miliarder, meskipun Howard memiliki kekayaan sekitar 3,5 miliar USD.

Oleh karenanya, tendensi psikologis semacam itu pada akhirnya mendorong politisi untuk mewujudkan citra sederhana sehingga mudah disukai. Sebaliknya, jika politisi menampilkan kemewahan, maka akan cenderung mendapatkan kritik, tidak disukai, hingga dicaci maki.

Jika terminologi dapat dibenarkan, mengapa citra begitu penting bagi politisi? Serta, mengapa politisi tidak boleh menampilkan citra apa adanya dengan kemewahan?

Sederhana Adalah Kunci?

Pada umumnya, masyarakat sudah tidak kaget lagi jika mengetahui besarnya dana politik dan kemampuan finansial seperti apa yang dibutuhkan untuk mengikuti kontestasi demokrasi seperti pemilihan umum (pemilu).

Keharusan seorang politisi yang berasal dari kalangan orang kaya sudah menjadi rahasia umum belaka, namun harus dibungkus dengan image “sederhana” untuk mengambil hati publik.

Sehubungan dengan menciptakan image tertentu, seseorang perlu memahami konsep identitas sosial di mana seorang psikolog sosial Henri Tajfel yang terkenal dengan teori identitas sosial mendefinisikan istilah tersebut sebagai perasaan seseorang tentang siapa mereka berdasarkan keanggotaan kelompok mereka.

Dia mengusulkan bahwa kelompok seperti kelas sosial, keluarga, tim sepak bola, dan sebagainya yang melekat pada diri seseorang merupakan sumber kebanggaan dan harga diri yang penting sehingga mampu menghadirkan perasaan memiliki atas dunia sosial tersebut.

Dunia itu kemudian terbagi menjadi kelompok “mereka” dan “kami” berdasarkan proses kategorisasi sosial dengan menempatkan orang ke dalam kelompok sosial. Tajfel mengusulkan stereotip — yaitu menempatkan orang ke dalam kelompok dan kategori — didasarkan pada proses kognitif dan kecenderungan untuk mengelompokkan berdasarkan perbedaan dan persamaan.

Ini dikenal sebagai in-group (kami) dan out-group (mereka). Hipotesis sentral dari teori identitas sosial adalah bahwa anggota kelompok dari in-group akan mencari aspek negatif dari out-group sehingga meningkatkan citra diri mereka.

Kategorisasi sosial adalah salah satu penjelasan untuk sikap prasangka (yaitu mentalitas “mereka” dan “kita”) yang mengarah ke dalam kelompok dan kelompok luar.

Teori identitas sosial telah menggambarkan kondisi di mana identitas sosial menjadi lebih penting daripada identitas seseorang sebagai individu. Selain itu, teori ini juga menentukan cara-cara di mana identitas sosial dapat mempengaruhi perilaku antarkelompok.

Lantas, mungkinkah citra Anies dapat hancur akibat kehebohan pesawat jet yang dia gunakan untuk menghadiri kunjungan dari salah satu agenda politiknya itu?

Hancurkan Strategi Populis?

Citra agaknya menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh untuk mendapatkan dukungan publik. Citra menjadi salah satu strategi politik untuk mempengaruhi suatu kelompok dan akan selalu bersinggungan dengan gaya kepemimpinan seseorang.

Seiring berjalannya waktu, tren kampanye politik mengalami pergeseran terutama ketika nama Joko Widodo (Jokowi) melambung ketika pertama kali menjadi kandidat capres saat pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu.

Dirinya seringkali berkunjung ke berbagai daerah sekaligus melakukan pencitraan yang populer disebut-sebut sebagai “blusukan”. Strategi ini kemudian memunculkan ide yang terkonstruksi kepada masyarakat hingga lahir nilai-nilai populisme.

Asumsi hasil nilai-nilai populisme dimanfaatkan untuk membangun persepsi yang menguntungkan bagi salah satu calon melalui pelekatan konsep identitas sosial.

Pada suatu publikasi berjudul Populisme: Konsekuensi dari Stagnasi Politik dan Demokrasi di Indonesia yang ditulis oleh Bachtiar Nur Budiman, Balilah Rizki Putriga, Bella Dewi Safitri, dan Vinona Julietta Imanuela, mengemukakan bahwa Pemilu 2024 akan sangat menentukan perkembangan politik Indonesia ke depannya.

Hal itu akan menguak apakah di kemudian hari penggunaan strategi populisme masih digunakan sebagai political branding dengan ada atau tidaknya berbagai isu agama dan suku yang akan terulang kembali.

Menariknya, publikasi tersebut juga menunjukkan hasil survei elektabilitas bakal capres 2024. Tiga nama teratasnya yakni Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Menurut mereka, ketiga nama tersebut berpotensi melahirkan gelombang dan strategi populisme baru.

Salah satu persamaan antara strategi kampanye Anies dan Jokowi yaitu “blusukan” di mana kedua tokoh tersebut melakukan kunjungan, kemudian mendengarkan berbagai keluhan rakyat serta menawarkan solusi secara langsung dengan sikap yang anti-konfrontasi.

Perspektif itu kemudian agaknya dapat menjustifikasi bahwa Anies sedang melakukan political branding dengan strategi populisme untuk meningkatkan elektabilitasnya. Namun sayangnya, penggunaan pesawat jet sewaan bisa jadi menghancurkan image yang berujung kepada “tercemarnya” identitas sosial Anies.

Meskipun demikian, fenomena penggunaan pesawat jet pribadi fasilitas Partai NasDem untuk keperluan politik Anies bukan lah pertama kalinya terjadi. Presiden Jokowi pun pernah menggunakan pesawat jet pribadi untuk menghadiri suatu urusan kampanye dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) menuju Malang, Jawa Timur (Jatim) ketika dirinya masih menjadi capres.

Fenomena itu juga mengundang berbagai kritik. Saat itu, Jokowi mengaku tidak ikut campur terkait urusan jet pribadi lantaran disiapkan oleh partai. Namun, pada akhirnya fenomena tersebut tidak meruntuhkan image politisi sederhana Jokowi.

Bisa jadi, image politisi sederhana Jokowi dapat dinilai begitu kuat. Dengan demikian, fenomena penggunaan jet pribadi Partai Nasdem untuk agenda kunjungan Anies bisa jadi meruntuhkan image politisi sederhana. Namun, tidak menutup kemungkinan image itu akan menghilang secara signifikan dengan sendirinya. (Z81)

Exit mobile version