Site icon PinterPolitik.com

Jerinx, Propaganda Nazi, dan Falsifikasi

Pemain drum Superman is Dead (SID) Jerinx

Pemain drum Superman is Dead (SID) Jerinx (Foto: Okezone)

Akhir-akhir ini jagat maya dihebohkan oleh konsistensi dan ketegasan Jerinx dalam menyebarluaskan teori konspirasi mengenai virus Corona (Covid-19). Lantas, mungkinkah pemain drum Superman is Dead (SID) tersebut sedang memainkan taktik propaganda Nazi?


PinterPolitik.com

Jika terdapat sosok yang harus diapresiasi atas konsistensinya akhir-akhir ini, mungkin pemain drum Superman is Dead (SID) Jerinx adalah orangnya. Bagaimana tidak, dalam beberapa minggu terakhir, ia seperti mencurahkan hidupnya untuk menyebarluaskan teori konspirasi terkait virus Corona (Covid-19) di berbagai akun sosial medianya.

Melihat berbagai videonya, inspirasi utama Jerinx sepertinya merujuk kepada ahli teori konspirasi asal Inggris David Vaughan Icke. Nama Icke sendiri mendapat perhatian luas, khususnya terkait Covid-19 karena wawancara yang dilakukannya di kanal YouTube London Real.

Inti dari argumentasi Icke adalah, selama puluhan tahun terdapat kelompok orang yang berjumlah 1 persen dari penduduk dunia, yang disebutnya sebagai cult atau kultus – atau setidaknya memiliki hubungan dengan kultus – yang berkuasa atas 99 persen penduduk dunia.

Menurut Icke, Covid-19 adalah bagian dari upaya kultus untuk menjaga kekuasaan atau status quo mereka, karena ekonomi dunia yang porak-poranda akibat Covid-19 merupakan peluang untuk memperkuat pengaruhnya ataupun mengontrol ekonomi. Terlebih lagi, dengan banyaknya beredar video yang mempertanyakan jumlah riil kasus dan korban Covid-19, narasi virus tersebut sebagai buatan kultus yang kerap disebut sebagai elite global terus mengemuka.

Bertolak atas hal tersebut, Jerinx begitu percaya bahwa Covid-19 merupakan virus yang digunakan untuk mengontrol ekonomi agar elite global dapat terus mempertahankan status quo-nya. Tidak ketinggalan, Jerinx juga menyebutkan salah satu aktor besar di balik virus tersebut adalah pendiri Microsoft Bill Gates yang diduga mengontrol rekomendasi penanganan Covid-19 yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Untuk lebih memberikan kesan ilmiah dalam argumentasinya, Jerinx juga mengaku bertolak dari buku filsuf Amerika Serikat (AS) Noam Choamsky yang menyebut “segala sesuatu tidak ada yang kebetulan”. Namun, karena Jerinx tidak pernah menyebutkan judul buku Choamsky yang dimaksud, jika ingin menebak, besar kemungkinan buku tersebut adalah Who Ruled the World? yang juga menjelaskan adanya kelompok 1 persen orang yang berkuasa atas 99 persen penduduk sisanya.

Di luar benar tidaknya teori konspirasi yang dikemukakan oleh Jerinx, yang menjadi menarik dari pemain drum SID tersebut adalah pada pengakuannya bahwa ia percaya pada sains. Bertolak pada kepercayaannya terhadap sains tersebut, tulisan ini hendak untuk menguji secara metodis, apakah teori konspirasi yang disebutkan oleh Jerinx dapat dikategorikan sebagai teori dalam sudut pandang sains/ilmiah/ilmu pengetahuan atau tidak.

Menguji dengan Falsifikasi

Untuk menguji teori konspirasi yang dikemukakan Jerinx dapat disebut sebagai teori ilmiah atau bukan, maka kita perlu menggunakan pisau analisis philosophy of science atau filsafat ilmu pengetahuan. Dalam perkembangan bidang filsafat tersebut, salah satu objek bahasan utamanya adalah untuk menetapkan demarkasi atau batas pemisah yang dapat digunakan untuk menentukan suatu teori disebut ilmu pengetahuan atau bukan.

Pada awalnya, prinsip yang masyhur digunakan untuk tujuan tersebut adalah prinsip verifikasi yang dipopulerkan oleh kelompok filsuf yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna Circle) atau yang akrab disebut dengan aliran positivisme logis.

Kelompok filsuf yang dipimpin oleh Moritz Schlick tersebut menyatakan bahwa suatu teori dapat disebut ilmu pengetahuan apabila proposisi teori tersebut dapat dibuktikan bermakna. Dan cara untuk membuktikannya adalah dengan prinsip verifikasi. Prinsip ini menekankan bahwa suatu proposisi harus dapat diuji dengan pengalaman atau observasi.

Sederhananya, untuk mengetahui proposisi “api itu panas” sebagai proposisi yang bermakna, maka kita harus menyentuh api tersebut untuk membuktikannya.

Akan tetapi, tantangan hebat atas prinsip verifikasi justru hadir dari salah satu filsuf Lingkaran Wina yang “membelot” dan kemudian melayangkan kritik keras yang diklaimnya telah membunuh aliran positivisme logis. Filsuf tersebut adalah Karl Raymund Popper. Atas kritik Popper inilah, kemudian dikenal prinsip falsifikasi yang digunakan sebagai suatu prinsip normatif untuk menguji kelayakan suatu teori disebut sebagai teori ilmu pengetahuan atau tidak.

Dalam falsifikasi, suatu proposisi disebut bermakna apabila proposisi tersebut memungkinkan dirinya untuk dibuktikan keliru atau dimungkinkan untuk dibantah. Contohnya, untuk membuktikan proposisi “api itu panas” adalah proposisi yang bermakna, maka berbagai usaha untuk membuktikan api itu tidak panas harus dimungkinkan untuk dilakukan. Atas prinsip falsifikasi ini, kemudian lahir prinsip normatif yang menyebutkan tidak ada kata final dalam ilmu pengetahuan.

Lantas, mungkinkah teori konspirasi yang dikemukakan oleh Jerinx dapat diuji dengan prinsip falsifikasi?

Mengacu pada prinsip falsifikasi, maka teori konspirasi yang dikemukakan oleh Jerinx harus dimungkinkan untuk bisa dibantah. Selain itu, jika benar Jerinx percaya pada sains, yang dengan kata lain harus membuatnya percaya pada prinsip normatif di sains, maka pemain drum SID tersebut harus memiliki keterbukaan bahwa teorinya dapat dibantah.

Akan tetapi, alih-alih memegang prinsip normatif tersebut, Jerinx justru kerap meninggikan nada suara ketika argumentasinya dipojokkan. Dan yang utama adalah, Jerinx seolah memposisikan teorinya sebagai suatu kebenaran yang niscaya. Padahal, dalam sains, status teori hanya dipandang benar karena teori tersebut belum terbukti salah, atau belum memiliki bantahan. Artinya, status kebenaran teori, selalu pada kondisi temporer atau sementara.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara prinsip, teori konspirasi yang dikemukakan oleh Jerinx tidak dapat disebut sebagai teori atau proposisi yang bermakna. Oleh karenanya, yang tersisa adalah konspirasi semata, tanpa adanya embel-embel “teori” di depannya.

Taktik Propaganda Nazi

Di luar Jerinx tidak menerapkan prinsip falsifikasi dalam teori konspirasinya, pernyataannya terkait kebenaran dapat dibangun sebenarnya menyimpan kebenaran tersendiri.

Dalam usahanya untuk membentengi argumentasi, Jerinx kerap mengutip pernyataan Paul Joseph Goebbels – Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi – yang menyebutkan, “kebohongan yang dikampanyekan secara terus menerus dan sistematis akan berubah menjadi kenyataan.”

Dalam kacamata logika, pernyataan yang kerap disebut sebagai taktik propaganda Nazi tersebut dikenal dengan argumentum ad nauseam. Argumentum ad nauseam menekankan pada sebuah argumentasi yang diucapkan secara berulang-ulang akan menciptakan efek benar – sederhananya, sebut saja sebagai argumentasi pernyataan berulang.

Argumentasi pernyataan berulang tersebut umumnya dilakukan oleh orator, misalnya saja Soekarno yang kerap mengulang pernyataan tertentu untuk memberikan kesan keseriusan atau kebenaran.

Dalam filsafat pragmatisme, khususnya neo-pragmatisme seperti yang digagas oleh filsuf AS Richard Rorty, suatu kebenaran atau “kata benar” tidak lagi dipahami sebagai suatu hal yang transendental atau universal, melainkan dipahami sebagai semacam konstruksi bahasa atau konsensus bahasa yang terjadi di suatu komunitas masyarakat.

Artinya, jika dalam suatu komunitas teori konspirasi dipahami sebagai suatu hal yang mengada-ada, maka segala bentuk pernyataan dalam teori konspirasi pasti ditolak atau dibantah. Inilah yang berusaha dijelaskan oleh Jerinx dengan menyebutkan elite global telah menciptakan propaganda agar teori konspirasi tidak dipercaya oleh masyarakat.

Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah Jerinx lupa bahwa kebenaran ala neo-pragmatisme tersebut juga dapat berlaku pada teori konspirasi yang dibawanya. Artinya, usahanya dalam menyebarkan teori konspirasi sejatinya juga merupakan taktik propaganda Nazi yang ingin membuat teori tersebut dipandang sebagai kebenaran oleh masyarakat.

Dengan demikian, pernyataan Jerinx yang hendak menyebutkan pandangan minor terhadap teori konspirasi seperti halnya taktik propaganda Nazi sejatinya tidak dapat dibuktikan karena pemain drum SID tersebut luput untuk membuktikan bahwa dirinya tidak hendak melakukan taktik propaganda yang sama.

Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan, bahwa pengakuan Jerinx yang menyebut dirinya percaya pada sains telah menjadi “pemukul balik” atas teori konspirasi yang disebarkannya karena tidak memenuhi prinsip falsifikasi. Kemudian, Jerinx juga menempatkan dirinya pada posisi relativisme kebenaran atau yang disebut juga sebagai era post-truth karena tidak mampu untuk membuktikan bahwa dirinya tidak sedang memainkan taktik propaganda Nazi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version