Site icon PinterPolitik.com

Jerinx Jadi Simalakama Pemerintah?

Drummer Superman Is Dead, I Gede Ari Astina atau yang lebih dikenal dengan Jerinx.

Drummer Superman Is Dead, I Gede Ari Astina atau yang lebih dikenal dengan Jerinx. (Foto: nadanadi)

Baik secara langsung maupun tidak langsung, sosok konspiratif yang vokal seperti Jerinx dinilai turut berkontribusi terhadap stagnansi bahkan degradasi penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Aksi unjuk rasa terbarunya di Bali yang menolak tes Covid-19 sebagai syarat administrasi serta menolak penggunaan masker, bahkan kali ini direspon tegas oleh Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo. Lantas, sejauh mana sebenarnya pemerintah mampu meredam langkah destruktif Jerinx dalam penanganan Covid-19?


PinterPolitik.com

Harus diakui, bukanlah hal yang langka untuk menyebutkan berbagai tindakan yang tidak berlandaskan bukti empirik, atau yang lebih tenar dengan sebutan konspirasi, dari sejumlah masyarakat di seluruh dunia sepanjang kurang lebih lima bulan berlangsungnya pandemi Covid-19.

Berbagai tindakan kontraproduktif yang berhulu dari konspirasi disebutkan oleh Florian Bieber dalam Conspiratorial Corona: Hoaxes and Conspiracy Theories in the Balkans, menjamur saat pandemi kala sebagian besar individu mencoba merasionalisasi berbagai kejadian acak secara bersamaan meskipun faktanya tidak bermakna atau bertautan sekalipun.

Dan realitanya, berbagai tindakan berbasis konspirasi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung dinilai turut berkontribusi pada belasan juta angka manusia yang terinfeksi di seluruh dunia, beserta besarnya angka kematian dari jumlah tersebut yang tidak bisa dilihat hanya berupa angka statistik belaka.

Di tanah air sendiri, paradigma konspiratif juga terlihat berbaur dengan inherensi rendahnya kepatuhan sebagian masyarakat Indonesia atas peraturan dan protokol kesehatan selama pandemi.

Kombinasi destruktif itu dinilai menghambat dan meruntuhkan sinergi bersama, baik pemerintah serta masyarakat lain yang sadar akan pentingnya protokol tersebut, selama ini. Menjadikannya seolah seperti paradoks pemecahan masalah yang tak berujung.

Salah satu sosok yang konsisten – dalam arti minor – dengan fundamental paradigma konspiratifnya ialah I Gede Ari Astina atau yang beken dengan panggilan Jerinx. Dengan popularitasnya, Jerinx vokal bersandar pada argumen bahwa Covid-19 hanyalah konspirasi bagi kepentingan tertentu.

Konteks tersebut bahkan berdampak pula pada berbagai perkara konkret yang secara nyata kontraproduktif terhadap upaya penanganan Covid-19 pemerintah. Seperti misalnya “keteguhannya” dengan tetap menggelar konser dengan kerumunan penonton pada 20 Juni lalu, serta memilih untuk tidak menggunakan masker.

Persoalan ketidakperluan penggunaan masker ini bahkan seolah ia “kampanyekan” saat turut meramaikan unjuk rasa segelintir elemen masyarakat Bali yang konteksnya menolak rapid dan swab test di seputaran Monumen Perjuangan Rakyat Bajra Sandhi, Denpasar pada hari Minggu silam.

Sosoknya sebagai public figure yang dianggap memiliki signifikansi tersendiri bagi sebagian orang, membuat Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo sampai harus angkat bicara. Doni bahkan memerintahkan BNPB Provinsi Bali memanggil para peserta termasuk Jerinx untuk diedukasi lebih lanjut.

Yang terbaru, Polresta Denpasar bahkan juga akan turun tangan dengan memanggil Jerinx dengan tujuan meluruskan persepsi atas tindakan yang tidak tepat tersebut, mengingat Kota Denpasar sendiri merupakan zona merah penyebaran Covid-19.

Lantas pertanyaan menarik mengemuka mengenai sejauh mana upaya halus berupa pemanggilan tersebut efektif untuk mengatasi merebaknya perilaku masyarakat berbasis paradigma konspiratif seperti Jerinx? Lalu apakah akar persoalan sebenarnya yang harus dibenahi pemerintah atas fenomena Jerinx?

Kekeliruan Hak Berekspresi

Persoalan pangkal yang agaknya memiliki basis teoretis kuat dari kesan tak terkendalinya paradigma konspiratif, dalam konteks ini ialah berbagai manuver Jerinx selama pandemi Covid-19 di Indonesia, dapat dilihat melalui kacamata kebebasan berekspresi.

Problematika terkait kekeliruan dalam merefleksikan kebebasan hak, termasuk hak berekspresi, dikaji oleh John Rawls dalam publikasinya yang berjudul A Theory of Justice.

Rawls menyebutkan terdapat eksistensi conflict of rights atau konflik hak, yang terjadi ketika segala bentuk hak dianggap dijamin dan memiliki perlindungan legal basis yang sama, di mana pada faktanya persinggungan antara dua hak dengan nilai yang bertolakbelakang adalah keniscayaan.

Conflict of right inilah yang membuat Rawls sampai pada kesimpulan bahwa hak asasi manusia tidak boleh diperluas tanpa batasan karena ekspansi semacam itu memiliki efek negatif pada perlindungan hak itu sendiri yang sangat fundamental.

Pada spektrum yang sama, conflict of rights dinilai eksis ketika Jerinx agaknya menganggap berbagai manuver konspiratifnya selama ini sebagai sebuah kebebasan berekspresi semata.

Padahal pada sisi yang berbeda, rasionalisasi empiris atas bahaya nyata Covid-19 bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas menjadi fundamental perlindungan hak yang lebih kuat dan menjadi batasan bagi eksistensi kebebebasan hak lain dalam bentuk apapun.

Namun demikian, seperti yang disebutkan dalam sebuah publikasi Wiktor Osiatyński yang berjudul Human Rights and Their Limits batasan atas persinggungan hak manusia harus diakui memang tidak terlihat dengan jelas, dan oleh karenanya acapkali menimbulkan dilema tersendiri pada level implementasi.

Kecenderungan itulah yang agaknya menjadi efek negatif dari tindak tanduk Jerinx yang seolah sangat leluasa dalam menyebarkan narasi kontraproduktif bahkan destruktif jika dihadapkan pada upaya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Hal ini menjadi semakin mengkhawatirkan saat belum terlihat upaya dari pemerintah dalam meluruskan kekeliruan tersebut.

Landasan hukum bagi batasan kebebasan berekspresi nyatanya tersaji dalam berbagai kerangka regulasi di Indonesia. Paska reformasi, kebebasan berpendapat sendiri bukan berarti bebas berekspresi tanpa batas, sesuai dengan apa yang tertuang dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Dasar negara tersebut bahkan menjadi pijakan bagi kerangka hukum lain yang tetap menjunjung tinggi eksistensi hak pihak lain dalam kebebasan berekspersi di era disrupsi informasi saat ini, seperti Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum hingga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Lantas dengan dasar legal yang ada, pasifnya peran elemen manapun dari pemerintah menjadi dipertanyakan terkait mengapa kebebasan berekspresi “kebablasan” nan desrtruktif seperti apa yang dilakukan Jerinx masih jamak ditemukan? Terlebih ekspresi tersebut terpaut langsung dengan kegentingan akibat pandemi seperti saat ini.

Usik Jerinx Timbulkan Tendensi Minor?

Tentu menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah seolah membiarkan sosok seperti Jerinx leluasa dengan dampak kemudaratan yang dibawa dari narasinya. Apakah jika “menertibkan” Jerinx justru akan berbalik membawa konsekuensi negatif bagi pemerintah sendiri?

Barangkali jawabannya adalah mungkin saja. Seperti yang disampaikan oleh Joseph Uscinski dalam Conspiracy Theory Vs Free Speech – Should We Regulate Social Media? bahwa konspirasi memang membawa masalah, akan tetapi sejak muasal karakteristik nirtransparansi pemerintah menjadi akar dari eksistensi konspirasi sendiri. Ini kemudian menjadikan penanganan konspirasi membawa kepada persoalan lain yang lebih kompleks.

Dari intisari tulisan Uscinski tersebut, paling tidak terdapat tiga hal mengapa pemerintah terkesan tidak terlalu serius dalam menangkal narasi konspiratif seperti yang digaungkan oleh Jerinx, di mana ketiganya terkait erat dengan efek backfire bagi pemerintah sendiri.

Pertama, jika mengacu pada dilema batasan kebebasan berekspresi yang disebutkan Osiatyński sebelumnya, “penertiban narasi” seperti yang menjadi andalan Jerinx oleh pemerintah dinilai menjadi isu yang rentan ditafsirkan sebagai bentuk represi.

Kedua, postulat Uscinski sebelumnya, bahwa pemerintah pun acapkali menelurkan kebijakan yang memiliki karakteristik konspiratif seperti tendensi tidak transparan dan sebagainya, dinilai akan berbalik menjadi kluster persoalan negatif lain yang tidak diinginkan pemerintah.

Ketiga, jika pemerintah melakukan intervensi signifikan terhadap narasi-narasi seperti yang menjadi andalan Jerinx, disinyalir juga akan menjadi “bahan” bagi lawan politik dengan landasan miskalkulasi prioritas maupun pengalihan isu ataupun rasionalisasi lainnya.

Oleh karena itulah, respon pemerintah terhadap narasi konspiratif sejauh ini dinilai masih terkesan abstrak dan seolah tidak konkret serta substansial. Padahal, narasi konspiratif seperti yang dilakukan Jerinx, yang bersifat destruktif berdasarkan bukti empiris – konteks Covid-19 – dapat dikategorikan sebagai hoax dan butuh intervensi serius dari pemerintah jika melihat dampak negatifnya.

Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh terus berada satu langkah di belakang para penghembus konspirasi dan narasi kontraproduktif pandemi Covid-19. Langkah tegas harus segera ditempuh oleh elemen pemerintah manapun yang berkepentingan untuk mengentaskan berbagai narasi negatif yang memperkeruh jamaknya bias dan stigma minor masyarakat terhadap Covid-19. Tentu itulah yang menjadi harapan kita bersama. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version