Site icon PinterPolitik.com

Jepang, “Pelindung” Baru Prabowo?

Jepang, “Pelindung” Baru Prabowo

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. (Foto: Istimewa)

Rencana pembelian senjata dari Jepang menimbulkan pertanyaan. ini adalah kali pertama Indonesia bekerja sama dengan Jepang bidang pertahanan dan Jepang sendiri baru memasuki masa re-militarisasi pasca amandemen UU Pasca Perang. Apakah Prabowo melihat ada peluang baik bagi Indonesia dari re-militarisasi Jepang?


PinterPolitik.com

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menandatangani Kesepakatan Pembelian Peralatan Pertahanan Jepang. Kesepakatan ini merupakan salah satu dari agenda pertemuan 2+2 Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi bersama dengan Menlu Jepang Toshimitsu Motegi dan Menhan Jepang Nobuo Kishi.

Prabowo menyatakan harapannya atas kesepakatan ini. “Saya mengundang Jepang untuk berpartisipasi dalam industri pertahanan kita dan dalam modernisasi kapasitas pertahanan Indonesia”, ujar Prabowo. Di sisi lain, Motegi menyebut kerja sama ini sebagai simbol upaya bersama kita dalam menghadapi ancaman kawasan.

Sejak menjadi Menhan, Prabowo memang sudah melakukan sejumlah pertemuan bahas topik ini dengan negara lainnya. Pada Januari 2020, Prabowo dan Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly bahas pembelian pesawat jet tempur Rafale, kapal selam Scorpene, dan korvet Gowind.

Baca Juga: Jurus Pendekar ala Prabowo

Pada September 2020, Menteri Pertahanan Austria Klaudia Tanner sangat senang saat Prabowo berencana untuk Eurofighter milik Austria. Pada Desember 2020, Prabowo disebut berhasil membujuk Plt. Menhan Amerika Serikat (AS) Christopher Miller untuk menjual jet tempur F-15 dan F-18 kepada Indonesia.

Namun, kesepakatan dengan Jepang ini spesial. Pada Januari 2020, Jokowi mengajak Motegi untuk berinvestasi di Natuna dalam rangka pengembangan pariwisata bagi wilayah terluar Indonesia. Namun, apa yang dilakukan Prabowo, memberi sinyal bahwa pengembangan Natuna mengarah pada penyiapan infrastruktur untuk Latihan militer Indonesia Jepang.

Dengan berbagai manuver luar negeri Prabowo, kunjungan ke Jepang ini bukan tidak mungkin juga disertai dengan kepentingan tertentu. Lantas, kepentingan nasional apa yang ingin dipenuhi sang Menhan? Peran apa yang dapat diisi oleh Jepang sebagai negara yang memiliki kekuatan militer terbatas?

Kembalinya Pelindung Asia?

Sebelum membahas kepentingan Prabowo, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa kerja sama pembelian alat ini juga merupakan momen penting bagi sejarah militer Jepang. Ini karena Jepang telah menjalani “puasa”bertahun-tahun supaya tidak terlibat dalam urusan konflik luar negeri.

“Puasa” tersebut dilatari kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua. AS melakukan pendudukan atas Jepang mulai 15 Agustus 1945 hingga 28 April 1952 sembari mulai melakukan proses demiliterisasi. Pasal 9 Konsistitusi Pasca Perang Jepang juga menyebutkan orang Jepang tidak akan terlibat dalam perang karena Jepang berpihak pada perdamaian internasional, dan angkatan militer tidak dibenarkan untuk melakukan peperangan.

Namun, itu berubah sejak September 2015. Parlemen Jepang meloloskan amandemen Undang-Undang Dasar Pasal 9 usulan Shinzo Abe yang mengizinkan tentara mereka bertempur di luar negeri untuk misi penyelamatan sandera serta menolong operasi militer sekutu. Shinzo Abe “memaksakan” amendemen ini guna mengembalikan harga diri masyarakat Jepang di mata dunia dan bersamaan dengan meneguhkan posisi Jepang sebagai ekonomi terbesar ketiga dunia.

Semangat “re-militarisasi” diteruskan oleh sejawatnya yang kini menjadi Perdana Menteri, Yoshihide Suga. Pada Desember 2020, Suga menyetujui Kementerian Pertahanan akan mendapatkan dana USD 51,7 miliar (sekitar Rp 723,8 triliun) untuk tahun yang dimulai pada bulan April. Anggaran ini merupakan peningkatan kesembilan berturut-turut dalam pengeluaran militer. Selain itu, Suga juga mendanai pengembangan pesawat tempur siluman dan rudal anti-misil jarak jauh.

Baca Juga: Sangat Kuat, Anies Kalahkan Prabowo

Pengembalian harga diri dan penguatan posisi ekonomi, menjadi ciri khas Jepang dalam politik luar negerinya yang selalu menggunakan apa yang disebut Linus Hagström sebagai Japan’s exceptionalism. Istilah ini merujuk pada bagaimana Jepang selalu menempatkan dirinya sebagai alternatif bagi politik luar negeri, menekankan pada kekhasan dirinya, dan selalu ingin tampil low profile.

Eksepsionalisme ala Abe tak berhenti dalam re-militarisasi. Abe juga mempersiapkan bangsanya untuk menerima gagasan harga diri Jepang. Ini terlihat pada penamaan era Reiwa yang diambil dari Manyoshou yang merupakan puisi klasik Jepang, bukan dari puisi klasik Tiongkok, yang Abe sangat mendukung dan berharap dia bisa mewariskan nilai budaya Manyoshou kepada generasi muda.

Re-militarisasi ini sebenarnya skenario dari satu-satunya sahabat Jepang yaitu Amerika Serikat (AS). Sebagai night watchman (penjaga malam) – sebuah konsep yang dicetuskan oleh John J. Mearsheimer yang merujuk pada negara dengan pengaruh yang besar secara global sehingga bisa memengaruhi dinamika di kawasan yang bukan tempatnya, AS terlihat merencanakan kecaman dengan mengajak Jepang untuk membuat joint statement dengan para menteri dalam two-plus-two meeting. Pernyataan ini untuk menunjukkan rasa kecewa atas kebijakan Tiongkok soal diperbolehkannya menembaki kapal di sekitar Kepulauan Senkaku.

Jepang sendiri dianggap memiliki taktik lain dalam mengatasi kebangkitan Tiongkok. Tomohiko Satake dan Ryo Sahashi dalam artikelnya The Rise of China and Japan’s ‘Vision’ for Free and Open Indo-Pacific menyebut bahwa Jepang menawarkan Konsep Free and Open Indo-Pacific (FOIP) didefinisikan sebagai visi untuk mencapai tatanan internasional yang diinginkan (atau tatanan internasional berbasis aturan) di kawasan Indo-Pasifik.

Salah satu implementasi konsep FOIP ini diwujudkan melalui penguatan kerja sama dengan negara-negara ASEAN. Kerja sama ini dalam lingkup capacity building terkait keamanan maritim, kontra-terorisme, operasi penjaga perdamaian, dan keamanan dunia maya dan ruang angkasa.

Di samping re-militarisasi ini, Jepang juga bekerjasama dengan negara-negara ASEAN di bidang alat pertahanan. Lantas, apakah Prabowo berusaha mengambil peluang di tengah kembalinya militer Jepang di panggung politik internasional?

Strategi Prabowo di Natuna?

Kerja sama pertama kali dengan Jepang ini perlu dilihat dalam konteks lebih luas hubungan militer Indonesia dengan Jepang di Kawasan. Sejak Juli 2020, TNI AL menurunkan 2.000 personel untuk latihan militer di Natuna, di mana sedang panasnya isu Laut China Selatan (LCS). Latihan tersebut boleh dibilang mendesak karena, pada bulan tersebut, masih dalam situasi pandemi dan para peserta pun diwajibkan mengikuti rapid test

Pada bulan November 2020, TNI AL telah mengerahkan sembilan kapal perang dan satu pesawat udara dalam Latihan Operasi di Natuna. Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal menyebut TNI bersiaga di Natuna. Ini sebagai antisipasi dan persiapan diri jika sewaktu-waktu konflik pecah antara AS dan Tiongkok.

Baca Juga: Dewa Kipas dan Memori Kekalahan Prabowo

Di tengah makin intensifnya latihan militer di Natuna, pemerintah tengah mempromosikan investasi di Natuna pada AS. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia khususnya untuk pulau terluar seperti Natuna.

Tidak berlebihan motif di balik investasi ini untuk memberi jalan pada AS. Pada Januari 2020, Prabowo menyebut pemerintah akan membangun pangkalan militer yang salah satunya di Natuna. Rencana menambah pangkalan militer itu muncul setelah sejumlah kapal Tiongkok diketahui memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Bukan tidak mungkin, langkah Prabowo bekerja sama dengan Jepang untuk melaksanakan latihan bersama di sekitar LCS bisa dibaca sebagai policy of deterrence. Istilah ini merujuk pada ancaman pembalasan militer yang diarahkan oleh para pemimpin suatu negara kepada pemimpin negara lain dalam upaya untuk mencegah negara lain menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan militer dalam mengejar tujuan kebijakan luar negerinya.

Dalam melakukan pembalasan tersebut, Prabowo menggunakan strategi buck-passing dengan cara mengundang Jepang dan AS untuk hadir di Natuna mengimbangi kekuatan Tiongkok. Dengan investasi, Indonesia tampaknya bisa mempersiapkan diri hingga strategi buck-passing tidak bisa digunakan lagi untuk melawan Tiongkok secara “diam-diam”. Latihan militer dengan AS dan Jepang juga akan menaikkan level militer Indonesia.

Lalu siapa yang sebenarnya yang sedang dibalas oleh Prabowo? Bisa jadi, jawabannya adalah Tiongkok. Ini terlihat misalnya pada akhir 2019, pelanggaran atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna, termasuk kegiatan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang dilakukan kapal penjaga pantai Tiongkok. Bahkan, pada awal 2021, Pemerintah Tiongkok menerbitkan undang-undang baru yang isinya memperbolehkan kapal penjaga pantai mereka menembaki kapal asing yang berpotensi mengancam wilayah perairannya.

Tindakan unilateral pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok ini bisa saja menjadi concern besar bagi Prabowo. Apalagi, persoalan kedaulatan ini merupakan hal yang sangat dititikberatkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kesalahan langkah kebijakan Prabowo bisa saja menimbulkan polemik di masyarakat. Isu serupa juga dapat mendapatkan perhatian besar pada tahun 2019 silam. Dengan kemungkinan akan meledaknya isu Natuna kembali, bukan tidak mungkin Prabowo berupaya agar momentumnya untuk maju sebagai calon presiden (capres) pada 2024 nanti tetap terjaga.

Bila benar begitu, mungkin deterrence yang dapat terbantu dengan kerja sama bersama Jepang dapat menjadi jawaban bagi Prabowo. Menarik untuk diamati lebih lanjut bagaimana Perang Dingin baru antara AS dan Tiongkok ini bisa saja memengaruhi dinamika politik Indonesia hingga tahun 2024 nanti. (F65)

Baca Juga: Prabowo: The Greatest Showman?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version