HomeNalar PolitikJenderal Gatot: Demokrasi Kita Tak Sesuai Pancasila!

Jenderal Gatot: Demokrasi Kita Tak Sesuai Pancasila!

Kecil Besar

Gatot mengkritik proses demokrasi di parlemen yang seringkali tidak mencerminkan sila ke-4 Pancasila. Atas kritiknya ini, Gatot mengaku tidak masalah kalau ia akhirnya dimusuhi oleh sejumlah pihak.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]D[/dropcap]emokrasi Indonesia tidak sesuai dengan Pancasila, demikian yang dikatakan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat memberikan ceramah kebangsaan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, pada Minggu, 4 Juni 2017.

Gatot menyebutkan bahwa demokrasi yang dianut di Indonesia sesuai dengan prinsip ajaran Islam, sementara cara berdemokrasinya diatur dalam Pancasila yakni pada sila keempat.

“Cara berdemokrasinya sesuai dengan Islam, dengan cara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawaratan perwakilan,” ujar Gatot. Ia kemudian memperingatkan anggota DPR RI dari PAN sekaligus putra pertama Amien Rais, Hanafi Rais yang juga hadir pada kesempatan tersebut.

“Jadi musyawarah dan mufakat, bukan voting, ini Pak Hanafi Rais saya ingatkan,” kata Gatot.

Menurut Gatot, demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, tapi yang terjadi di parlemen saat ini adalah demokrasi yang diterapkan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Gatot mengkritik proses demokrasi di parlemen yang seringkali tidak mencerminkan sila ke-4 Pancasila. Atas kritiknya ini, Gatot mengaku tidak masalah kalau ia akhirnya dimusuhi oleh sejumlah pihak. Gatot meyakini apa yang diungkapkannya benar.

“Saya siap juga ditembaki, enggak apa-apa, memang Pancasila seperti itu kok. Demokrasi kita tidak sesuai lagi dengan Pancasila, tidak melalui musyawarah dan mufakat lagi,” lanjutnya.

Selepas acara tersebut, Hanafi Rais menanggapi ucapan Jenderal Gatot dengan menyebutkan bahwa demokrasi Pancasila yang diterapkan di parlemen tentu saja masih dengan semangat musyawarah dan mufakat.

Demokrasi Indonesia Tak Sesuai Pancasila
Politisi Partai Amanat Nasional, Hanafi Rais (foto: istimewa)

“Semangatnya jelas musyawarah mufakat. Sebenarnya kami mengesampingkan voting,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I DPR RI tersebut.

Baca juga :  Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Menurut Hanafi, wujud anggota dewan mengesampingkan voting dapat dilihat dari semangat fraksi-fraksi di parlemen yang lebih mengedepankan konsensus ketimbang voting.

“Walaupun fraksi berbeda-beda, kalau ada persoalan politik atau apa kami menginginkan konsensus, tidak langsung voting,” dalihnya.

Hanafi juga memberi catatan agar demokrasi Pancasila yang diterapkan sekarang jangan sampai kembali ke zaman orde baru karena pada masa itu setiap orang yang berbeda pandangan  dengan pemerintah selalu dianggap makar.

“Dulu yang beda pandangan politik dengan pemerintah ditahan, ditangkapi, dianggap makar,” katanya.

Apakah demokrasi di Indonesia memang benar-benar tidak Pancasila-is lagi seperti kata Jenderal Gatot? Jika melihat beberapa waktu terakhir, DPR memang jarang menggunakan mekanisme voting, apalagi dalam sistem parlemen Indonesia dengan 10 fraksi saat ini.

Kasus yang paling terakhir adalah dalam pembahasan RUU Pemilu misalnya, di mana DPR batal melakukan voting pada pertengahan Mei lalu.

Namun, kritik Jenderal Gatot ini tetap patut dijadikan catatan bagi DPR, mungkin untuk memperbaiki kinerja lembaga legislatif ini yang belakangan makin buruk. (Berbagai sumber/ S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

More Stories

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.