Sinyal agaknya kian menguat bagi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono untuk menjadi Panglima TNI selanjutnya. Namun, jalan terjal masih ada di hadapan Yudo ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) juga punya peluang yang sama kuat.
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono belum lama ini seolah menjalin relasi dengan makna simbolis saat meresmikan penamaan kapal kepresidenan baru, yakni KRI Bung Karno-369.
Ya, dalam prosesi itu, KSAL tampil hangat bersama Presiden RI Kelima yang juga Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri. Ditambah, sebelumnya Laksamana Yudo juga menyajikan romansa legacy Presiden RI pertama Soekarno saat hari ulang tahun (HUT) Penerbal pada 17 Juni lalu.
Pada kesempatan itu Laksamana Yudo terlihat menaiki replika Land Rover yang pernah dinaiki Bung Karno kala meresmikan Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal) Juanda, Surabaya pada 12 Agustus 1964 silam.
KSAL mengungkapkan bahwa semangat Bung Karno merupakan inspirasi bagi segenap prajurit TNI AL yang dipimpinnya.
Secara khusus, gestur dan jalinan relasi tersebut tampak dibangun berdekatan dengan kian dekatnya pergantian Panglima TNI dari Jenderal Andika Perkasa yang akan purna tugas pada akhir tahun ini.
Meskipun fairness rotasi matra semestinya membuat Laksamana Yudo berpeluang besar menjadi suksesor Jenderal Andika, tak lantas membuat kemungkinan calon lain seperti Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman tertutup sepenuhnya.
Lalu, mengapa romantisasi sejarah Soekarno yang diperagakan Laksamana Yudo dapat dimaknai sebagai salah satu pembuka jalannya menjadi Panglima TNI berikutnya?
Megawati Adalah Kunci?
Bukan merupakan rahasia bahwa jabatan Panglima TNI kiranya tak bisa dilepaskan dari aspek politis. Tak melulu bermakna kurang positif, Nicholo Machiaveli dalam Il Prince menyiratkan bahwa keberadaan orang-orang kepercayaan di dalam lingkaran kekuasaan cukup esensial agar penguasa dapat melakukan kendali dan melaksanakan kebijakan dengan lebih mudah.
Satu perspektif konkret pun eksis dari Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhamad Haripin. Dia menekankan bahwa sistem presidensial yang dianut Indonesia saat ini tak bisa dilepaskan dari dinamika multi-partai di parlemen.
Prasyarat itu ia nilai secara otomatis membuat TNI, meski telah dua dekade lebih melepas karakteristik Dwifungsi ABRI, tetap menjadi pengungkit politik.
Dalam konteks penjelasan nuansa membangkitkan keteladanan mantan Presiden Soekarno yang terlihat dari Laksamana Yudo, Eric Posner dalam publikasi berjudul Symbols, Signals, and Social Norms in Politics and The Law menuturkan bahwa suatu tindakan memiliki makna dan sinyal politis tertentu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah sejarah.
Afirmasi dari sang putri, Megawati Soekarnoputri lantas menjadi esensial jika berkaca pada ketokohan dan pengaruhnya dalam blantika politik dan pemerintahan saat ini sebagai pucuk pimpinan partai penguasa.
Shahla Haeri dalam Unforgettable Queens of Islam menjelaskan lebih dalam mengenai esensi pengaruh Megawati. Dia bahkan mempatkan ibunda Ketua DPR RI Puan Maharani itu dalam satu bab khusus yang spesifik membahas bagaimana progres kekuasaan dan posisi politiknya.
Haeri mengibaratkan sosok Mega sebagai Limbuk dalam pewayangan, yang dikenal sebagai pribadi yang ceplas-ceplos dengan daya nalar tak signifikan tetapi bisa menjadi jalan penghubung ke banyak pihak.
Dalam publikasi itu, dia juga menyebut bahwa sosok Limbuk itu lantas bertransformasi menjadi seorang ratu yang telah memiliki kuasa. Di era politik dan pemerintahan kontemporer, karakteristik itu kiranya dapat terlihat pula dari relasi antara Megawati dan Presiden Joko Widodo (Jokowi), maupun tokoh kunci lain dalam kekuasaan.
Dengan kata lain, Megawati merupakan tokoh ideal yang dapat melakukan endorsement atau fasilitator dalam beberapa aspek esensial.
Tak hanya Laksamana Yudo, gestur serupa juga belakangan kerap terlihat dari orang-orang kepercayaan serta mereka yang memiliki kedekatan dengan Megawati dalam institusi pertahanan dan keamanan.
Menetralkan politik de-Soekarno-isasi agaknya menjadi tajuk utama di baliknya. Ihwal tersebut paling awal tampak pada November 2020 silam saat Megawati meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk meluruskan catatan sejarah seputar situasi yang terjadi pada tahun 1965.
Megawati menilai bahwa ada sejumlah hal yang hilang dalam catatan sejarah Indonesia, khususnya pada periode 1965. Eksistensi politik de-Soekarno-isasi yang dimulai sejak kepemimpinan Presiden Soeharto menjadi gagasan inti yang disinggung dan agaknya menjadi fokus yang ingin dikedepankan Megawati.
Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menuturkan bahwa salah satu versi peristiwa G30S memang bermuara pada de-Soekarno-isasi, yaitu menjadikan Sang Proklamator sebagai dalang peristiwa dan bertanggung jawab atas segala dampak tragedi berdarah itu.
Skenario memang tak mengenakkan bagi Soekarno setelah pidato pembelaannya yang bertajuk Nawaksara ditolak Sidang Umum MPRS pada 22 Juni 1966. Dinamika politik setelahnya kemudian berujung pada “isolasi” yang dilakukan Soeharto pada Soekarno, hingga akhir hayatnya.
Belakangan, tampak gencar memang upaya untuk menetralkan politik de-Soekarno-isasi warisan Soeharto yang datang dari para aktor politik dan pemerintahan. Selain dari aspek kurikulum pendidikan via Nadiem, aktualisasi secara figuratif juga terlihat dari pembangunan patung dan penamaan sejumlah fasilitas institusi – utamanya pertahanan dan keamanan – dengan nama Putra Sang Fajar.
Artinya, apa yang dilakukan Laksamana Yudo kiranya memiliki urgensi plus signifikansi tersendiri di titik ini.
Lantas, pertanyaan berikutnya mengemuka. Apakah KSAL benar-benar merupakan sosok ideal sebagai Panglima TNI?
Ada Efek Dudung dan Luhut?
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa meskipun rotasi matra membuat peluang Laksamana Yudo terbuka untuk menggantikan Jenderal Andika sebagai Panglima TNI, peluang kandidat lain kiranya tak lantas tertutup.
Apalagi, pertimbangan siapa pengganti berikutnya untuk mengawal tahun politik 2024 agaknya akan menjadi salah satu yang jadi hal yang fundamental.
Nama KSAD Jenderal Dudung Abdurachman – yang purna tugas serupa dengan KSAL di tahun 2023 – dinilai tidak bisa begitu saja dikesampingkan jika berkaca pada pergantian matra dalam kepemimpinan TNI bukanlah hal yang saklek secara konstitusi.
Melakukan analisis pada dua kandidat kiranya menjadi menarik, paling tidak dalam memproyeksikan sejauh mana peluang keduanya, mengingat masa purna tugas yang juga serupa.
Pertama, dari sisi Laksamana Yudo. Abiturien Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1988 itu terkesan cukup positif di mata publik mengingat kinerjanya yang jauh dari tendensi intrik politis selama menjabat.
Di samping keunggulan rotasi matra dan citranya yang netral, KSAL pun sempat dikabarkan lebih “disenangi” Jenderal Andika untuk meneruskan tongkat estafetnya.
Sementara, KSAD Jenderal Dudung juga memiliki peluang mengingat reputasinya yang justru seolah berkebalikan dengan Laksamana Yudo. Sejak mendirikan patung Bung Karno saat menjadi Gubernur Akademi Militer (Akmil) dan membuat Megawati terkesan, karier Jenderal Dudung melesat dan kian moncer kala berani berkonfrontasi dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq Shihab (HRS).
Menaikkan Jenderal Dudung ke posisi Panglima TNI plus menelurkan jenderal bintang empat sebagai KSAD baru juga agaknya cukup ideal mengingat “kebutuhan” matra darat untuk menjadi Panglima TNI berikutnya dalam konteks stabilitas di tahun politik.
Di titik ini, suksesor Jenderal Dudung kemudian jadi menarik untuk pula dianalisis mengingat posisi bintang tiga matra darat potensial cukup banyak di tahun 2023.
Menurut Direktur ISESS sekaligus anggota tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik Khairul Fahmi, tercatat ada nama Letjen Maruli Simanjuntak yang saat ini menjabat sebagai Pangkostrad, Mayjen Widi Prasetijono, dan Letjen Agus Subiyanto yang berpeluang mengisi jabatan KSAD. Ketiganya memiliki rekam jejak dan kemiripan sebagai perwira “Istana” maupun perwira “Solo”.
Maruli menjadi sosok berbeda dari dua nama lain karena merupakan menantu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Kanupriya Kapoor dalam Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff menyebut bahwa Luhut merupakan semacam “bemper” bagi Presiden Jokowi dari berbagai tekanan politik dan kelompok kepentingan.
Di samping prestasinya, faktor non-teknis itu dianggap sejumlah pihak membuat Maruli menasbihkan diri sebagai Pangkostrad termuda plus jenderal bintang tiga termuda di TNI saat ini.
Akan tetapi, Fahmi menambahkan bahwa jika berbicara mengenai proyeksi Panglima TNI, “faktor Luhut” boleh jadi juga akan menjadi pisau bermata dua yang kemungkinan justru jadi penghambat.
Tak lain, hal itu dikarenakan potensi perbedaan kepentingan antara Luhut dengan PDIP maupun Megawati di 2024. Belum termasuk dari aspek keyakinan yang sempat membayangi pencalonan Kapolri Listyo Sigit Prabowo beberapa waktu lalu.
Selain itu, Luhut pun kerap terlibat ketegangan dengan PDIP dalam sejumlah hal seperti isu tiga periode hingga persoalan rangkap jabatan.
Satu hal teranyar yang cukup menarik kembali datang dari Megawati. Meskipun tampak terkesan dengan upaya menetralkan de-Soekarno-isasi yang dilakukan Laksamana Yudo, curhat Mega di rapat kerja nasional (Rakernas) PDIP kemarin agaknya memberikan satu sinyal tertentu.
Ketum PDIP itu menceritakan bahwa pekikan “merdeka”-nya di acara penamaan KRI Bung Karno yang dihelat TNI AL sempat disambut dengan keraguan. Kisah itupun disampaikan di depan Presiden Jokowi yang memiliki privilese untuk mencalonkan nama Panglima TNI.
Di atas semua itu, siapapun yang nantinya menjadi Panglima TNI diharapkan terus menjaga profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya dan dapat memberikan solusi atas semua persoalan yang dihadapi institusi kepercayaan rakyat itu. (J61)