Site icon PinterPolitik.com

Jembatan Gantung Rini Soemarno

Jembatan Gantung Rini Soemarno Dicopot Menteri BUMN

Posisi Rini Soemarno menjadi pertaruhan politik Jokowi (Foto: istimewa)

Setelah ditegur oleh Presiden Jokowi secara terbuka, muncul spekulasi bahwa Menteri BUMN Rini Soemarno menjadi salah satu yang akan digantikan dalam kabinet periode kedua sang petahana. Namun, perdebatan muncul karena Rini disebut-sebut justru menjadi orang di inner circle kekuasaan Jokowi dan menunjang posisi politik sang petahana. Ia bahkan dianggap sebagai salah satu benteng Jokowi bahkan termasuk di hadapan patron politik seperti Megawati Soekarnoputri – hal yang mirip dengan apa yang terjadi pada inner circle Presiden Xi Jinping di Tiongkok. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“In the midst of chaos, there is also opportunity”.

:: Sun-Tzu, The Art of War ::

Marcus Vipsanius Agrippa dan Gaius Maecenas adalah dua tokoh yang dianggap sebagai lingkaran dalam kekuasaan sang agung Augustus alias Octavian (63SM-14M), kaisar pertama Imperium Romawi.

Dua tokoh ini dianggap berjasa besar dalam membesarkan dan membantu Augustus memperkuat status politiknya di awal-awal transisi Romawi dari sebuah republik menjadi imperium. Sebagai sekutu dan tangan kanan yang handal, keduanya menjadi jalan bagi Augustus dikenang sepanjang sejarah sebagai salah satu pemimpin terbesar.

Dua tokoh ini pula yang membawa perdebatan tentang pentingnya “lingkaran dalam kekuasaan” atau inner circle ke permukaan – hal yang kini menjadi topik pergunjingan ketika membicarakan pemimpin-pemimpin besar. Konteks inilah yang kini ikut dibicarakan dalam kaitan dengan posisi Menteri BUMN Rini Soemarno.

Memang Rini tak bisa dianggap sama persis dengan Agrippa dan Maecenas. Namun, posisinya yang ada dalam kabinet Jokowi secara penuh pada periode pertama kekuasaan sang petahana membuat banyak yang bertanya-tanya terkait relasi politiknya dengan sang presiden.

Pasalnya, dengan segudang permasalahan yang ada di kementerian yang membawahi perusahan-perusahan pelat merah itu, Rini tak pernah tersentuh reshuffle sedikit pun.

Belakangan namanya kembali mendapatkan sorotan pasca dirinya dan Menteri ESDM Ignasius Jonan ditegur secara langsung oleh Jokowi terkait kebijakan impor yang tinggi di sektor migas.

Akibatnya, beberapa pihak bahkan secara terbuka menyebut bahwa Rini tak layak untuk dipilih kembali di periode kekuasaan kedua Jokowi. Para pengamat umumnya menafsirkan kritikan terbuka yang langsung menunjuk hidung tersebut sebagai hal yang cukup jarang terjadi dan dianggap jauh dari karakter politik Jokowi yang dikenal sebagai politisi soft spoken.

Tak heran hal tersebut makin memanaskan kursi yang diduduki Rini Soemarno. Hal ini ditambah lagi dengan ulasan terbaru yang dibuat oleh Majalah Tempo yang bahkan secara lebih jauh membahas nasib putri Soemarno, mantan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan di era Soekarno tersebut.

Dalam ulasan tersebut, Rini ditengarai tengah mempercepat proses pembentukan superholding BUMN yang wacananya sempat mencuat di debat Pilpres 2019 lalu.

Superholding adalah rencana untuk menyatukan semua BUMN dalam satu perusahaan induk gemuk yang besar. Jika ini terjadi, maka perusahaan super tersebut akan memiliki aset total sekitar Rp 8.207 triliun yang merupakan keseluruhan aset perusahaan-perusahaan pelat merah.

Menariknya, jika wacana ini terwujud, maka posisi Kementerian BUMN dengan sendirinya tidak lagi diperlukan. Sementara, jika tidak terwujud beberapa pihak juga menyebutkan bahwa ada kemungkinan besar Rini digantikan dari jabatannya saat ini.

Dengan fakta bahwa Rini kemungkinan besar menjadi inner circle kekuasaan Jokowi, tentu pertanyaannya adalah apakah mungkin sang presiden mengambil kebijakan untuk mengganti mantan istri Soewandi itu dari pucuk kekuasaannya?

Rini dan Bara di BUMN

Rini Soemarno adalah salah satu menteri yang sakti. Sebutan tersebut bukan asal diberikan begitu saja. Pasalnya, menjadi pimpinan tertinggi di kementerian dengan total aset terbesar – hampir 60 persen Gross Domestic Product (GDP) Indonesia – adalah pekerjaan yang tidak mudah.

Ia mungkin tak sepopuler Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan tak sementereng Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kerap menjadi fokus perhatian di forum-forum internasional. Namun, jika berbicara mengenai sosok menteri yang paling tahan tekanan politik, maka orang itu adalah Rini Soemarno.

Tiap kali ada wacana reshuffle kabinet, nama Rini selalu dihembuskan untuk diganti. Namun, hal tersebut tak sekalipun menjadi kenyataan. Ia juga selalu disorot terkait kebijakannya mengelola BUMN. Mulai dari penggantian direksi yang sering kali dituduh menyalahi aturan, hingga persoalan jual-beli aset perusahaan yang dianggap tak sesuai prosedur.

Ia bahkan sempat diboikot oleh DPR dalam sidang-sidang di lembaga legislatif tersebut. Sehingga, setiap kali ada pembicaraan yang berhubungan dengan Kementerian BUMN, Rini sering kali diwakilkan koleganya, misalnya oleh Menkeu Sri Mulyani.

Rini bahkan sempat “berseteru” dengan PDIP yang menjadi partai utama pengusung Jokowi. Perseteruan tersebut memang ditengarai karena kebijakan Rini yang lebih banyak memilih komisaris untuk BUMN dari relawan-relawan Jokowi yang non-partai.

PDIP memang berulang kali meminta agar menteri yang pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri dan menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era kekuasaan Ketum PDIP tersebut dicopot dari jabatannya.

Konteks inilah yang kemudian membuat banyak pihak menduga bahwa Rini punya kekuatan politik di sekitaran Jokowi yang memampukannya melampaui kekuasaan partai politik sekelas PDIP. Hal ini salah satunya ditulis oleh Wahyudi Soeriaatmadja di portal The Straits Times. Ia menyebut Rini sebagai orang yang dekat dan didukung oleh Jenderal Purnawirawan (HOR) A.M. Hendropriyono.

Menurutnya, kedekatan ini sudah terlihat ketika Rini ditunjuk menjadi bagian dari tim transisi Jokowi sebelum mantan Gubernur Jakarta itu menjabat sebagai presiden pada 2014 lalu. Bukan rahasia lagi jika Hendropriyono adalah salah satu mantan jenderal yang mendukung Jokowi dan berperan dalam kemenangan mantan Wali Kota Solo itu pada Pilpres 2014.

Hendropriyono juga disebut sebagai pihak yang mendukung posisi Rini dalam tim transisi itu, sekalipun banyak yang mengkritik keputusan tersebut.

Dalam konteks saat ini, poisi Rini di BUMN dan kekuatan politik banyak faksi politik memang saling berhubungan. Bahkan, pada gugatan Pilpres 2019 yang diajukan oleh kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, nama kementerian ini juga disebut-sebut sebagai salah satu “alat” politik yang digunakan oleh kubu petahana terkait dana kampanye pemenangan.

Bahkan, dalam narasi politik terbaru yang muncul di tengah rekonsiliasi politik pasca Pilpres, posisi Menteri BUMN adalah jabatan yang diminta oleh kubu Prabowo, sekalipun hal tersebut kemudian dibantah.  Sebelumnya, jatah Menteri BUMN dan Menteri Pertanian disebut-sebut sebagai dua posisi yang diminta kubu penantang tersebut – hal yang kemudian ditengarai ditolak oleh kubu Jokowi.

Seluruh angin dan badai yang menimpa Rini dan Kementerian BUMN memang menunjukkan bahwa posisi ini adalah “sapi perah” bagi politik di tingkat nasional. Partai-partai politik dan tokoh-tokoh nasional memang berlomba-lomba untuk duduk di jabatan yang tentu saja menjadi “lahan basah” ini.

Sementara dalam konteks Pemilu, hal ini juga pernah disinggung oleh Clara Volintiru dari Bucharest University of Economic Studies, serta Bianca Toma dan Alexandru dari Romanian Center for European Policies, yang dalam penelitian-penelitiannya menyebutkan bahwa praktik politik menggunakan sumber daya BUMN untuk memenangkan Pemilu banyak juga terjadi di negara-negara demokrasi.

Dengan demikian, sangat mungkin memang jabatan di puncak Kementerian BUMN akan jadi penentu hasil kontestasi elektoral di Pilpres 2024 mendatang.

Inner Circle atau Akan Diganti?

Jika akan diganti, pertanyaannya adalah siapa yang akan mengganti Rini?

Dalam ulasannya, Majalah Tempo memunculkan tiga nama kuat yang diprediksi akan mengisi posisi tersebut. Mereka adalah Wahyu Sakti Trenggono yang merupakan Bendahara Umum TKN Jokowi-Ma’ruf Amin sekaligus pemilik PT Tower Bersama Infrastructure.

Kemudian ada nama Budi Gunadi Sadikin yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Inalum. Posisi ini membuat Budi cukup diunggulkan karena dianggap sebagai seorang profesional tanpa latar politik. Sedangkan nama terakhir adalah Eko Putro Sandjojo yang merupakan Bendahara Umum PKB dan kini menjabat sebagai Menteri Desa.

Ketiga orang ini memang punya latar kepentingan dan pertalian politik masing-masing. Tempo misalnya menyebutkan bahwa Wahyu Trenggono punya kedekatan dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Artinya, sangat mungkin ia akan menjadi perpanjangan tangan partai banteng tersebut yang tidak ingin kecolongan lagi seperti dalam kasus Rini.

Sementara nama Eko Sandjojo besar kemungkinan menjadi tokoh yang didorong PKB. Lalu, nama Budi Sadikin sekalipun sosok profesional, mengingat posisinya yang sempat menjadi staf khusus Rini, sangat mungkin menjadi perpanjangan tangan sang menteri.

Artinya, pertaruhan calon pengganti Rini juga kembali pada perebutan kekuasaan dan pengaruh politik tersebut yang melibatkan faksi-faksi dan patron politik di sekeliling Jokowi, pun – tidak menutup kemungkinan – dari kubu Prabowo juga.

Persoalannya, baik Rini maupun kandidat-kandidat yang disebutkan Tempo punya pertalian kepentingan yang tidak tunggal. Pertanyaannya adalah apakah Jokowi benar-benar akan menyingkirkan Rini? Ataukan Rini masuk dan layak disebut sebagai inner circle mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut?

Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, jika Rini adalah inner circle Jokowi, maka kemungkinan besar dirinya akan tetap dipertahankan. Hal ini mirip dengan strategi Presiden Xi Jinping di Tiongkok yang mendapatkan kekuatan politiknya dari orang-orang yang ada di inner circle sejak dari jabatannya dari gubernur hingga menjadi presiden seperti sekarang ini.

Persoalannya tinggal kembali pada bagaimana Jokowi melihat sosok Rini secara politik. Jika sang menteri dianggap lebih banyak menguntungkan dirinya secara politik, maka mempertahankannya bisa jadi akan menjadi langkah yang positif. Tinggal bagaimana sang presiden mengolah berbagai penolakan yang muncul dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Bagaimanapun juga Rini tetap menjadi kekuatan politik Jokowi. Ia juga berperan besar dalam program pembangunan Jokowi – bersama Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan – dalam hubungan dengan negara seperti Tiongkok yang banyak berinvestasi di Indonesia.

Pada akhirnya, seperti kata Sun Tzu di awal tulisan, selalu ada peluang di tengah kekacauan. Mungkin dengan banyaknya masalah yang mendera BUMN belakangan ini, justru sebaliknya menjadi alasan bagi Jokowi untuk kembali memilih Rini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version