Site icon PinterPolitik.com

Jegal Megawati di BLBI?

Kebijakan Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipercaya akan menjadi senjata yang ampuh ‘menyandera’ dirinya dan PDIP. (Foto: istimewa)

KPK makin getol melakukan penyelidikan dan memeriksa beberapa tokoh penting yang terkait dengan kasus BLBI. Kasus ini dipercaya juga akan mengarah pada elit politik partai besar saat ini, salah satunya Megawati Soekarnoputri.


PinterPolitik.com

“In war, you can only be killed once, but in politics, many times.” – Winston Churchill (1874-1965), Perdana Menteri Inggris

[dropcap]T[/dropcap]ampaknya, pengusutan kasus korupsi masih akan menjadi sajian politik utama di tahun 2018. Salah satu kasus yang diprediksi akan kembali mencuri perhatian publik adalah skandal mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pasalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan BLBI sebagai ‘resolusi’ lembaga tersebut untuk tahun ini. Artinya, layaknya resolusi yang dibuat untuk tahun baru, KPK telah menargetkan kasus ini terselesaikan pada 2018, di samping kasus-kasus korupsi lain macam KTP elektronik.

Namun, ini bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, BLBI tidak hanya melibatkan pengusaha atau pelaksana kebijakan di tingkat bawah saja, tetapi juga pengambil kebijakan di tingkat paling atas.

Setelah KPK menetapkan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka, banyak yang menduga kasus ini juga akan menyeret elit berkuasa, salah satunya Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden saat itu.

Megawati disebut-sebut ikut bertanggungjawab menerbitkan Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2002 yang menjadi dasar lahirnya Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi pihak-pihak yang belum melunasi utangnya kepada negara lewat BLBI. Tapi apakah KPK berani?

Jika dilihat dari fakta bahwa kasus ini kembali dibuka, tentu saja mengindikasikan adanya keinginan kuat untuk secara terang benderang mengusut kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang merugikan negara hingga Rp 138,4 triliun.

Apalagi, KPK telah memeriksa elit-elit besar, misalnya Wakil Presiden ke-11 RI Boediono dengan status sebagai saksi – Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan saat Megawati berkuasa – kemudian Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli juga dengan status saksi, serta Menteri Koordinator Perekonomian di era Megawati, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

KPK memang telah menyebut bahwa sangat kecil kemungkinan Megawati akan diperiksa, mengingat lembaga tersebut fokus pada pengusutan pelaksanaan kebijakan, bukan pada pembuatan kebijakan. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyebut Inpres yang ditandatangani oleh Megawati tidak bisa menjadi tindak pidana korupsi.

Namun, banyak selentingan bermunculan dan menyebut pengusutan BLBI punya muatan politik, terutama menjadi bentuk tekanan terhadap Megawati sendiri. Selain itu, sangat mungkin Megawati juga ikut bertanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sebagai presiden, putri Soekarno ini minimal mengetahui adanya kebijakan penerbitan SKL BLBI.

Jika demikian, sampai sejauh mana Megawati akan terjerat dalam kasus ini? Apakah benar selentingan yang menyebut pengusutan kasus ini ada signifikansinya dengan Pilpres 2019?

Megawati dan BLBI

“Saya berani mengatakan, yang menganggap perlu harus mengambil risiko kerugian yang begitu besar tidak mengerti persoalan. Karena persoalan ini tidak anda kuasai. Persoalan ini hanya dikuasai oleh sebuah ilmu yang namanya ilmu ekonomi perusahaan yang anda tidak mengerti!”

– Komentar Kwik Kian Gie atas kasus BLBI –  

Keterlibatan Megawati dalam kasus BLBI memang masih menjadi tanda tanya besar. Megawati jelas bukan orang yang memutuskan kebijakan ini. BLBI yang diputuskan pada 26 Januari 1998 merupakan salah satu produk terakhir Soeharto di masa kekuasaannya. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 26 tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Soeharto memberi jaminan dalam bentuk dana sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Walaupun demikian, Megawati dianggap bertanggung jawab ketika menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002 yang memberikan kepastian hukum pada para obligor BLBI.

“Kepada para debitur yang menyelesaikan kewajiban pemegang saham … diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum.”

Demikianlah penggalan beberapa bagian dari Inpres tersebut.

Dalam pertimbangannya, Inpres tersebut menyatakan bahwa Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement And Acquisition Agreement(MSAA)Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Perjanjian PKPS serta Pengakuan Utang merupakan dasar pemberian jaminan kepada pihak-pihak yang berutang dalam kasus BLBI ini.

Namun, Inpres ini dianggap sebagai jalan masuk lahirnya SKL yang diterbitkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) – sayangnya – kepada obligor yang justru masih memiliki utang.

Beberapa di antaranya masih menunggak utang dalam jumlah cukup besar, misalnya Bank Central Asia (BCA) yang saat itu baru mengembalikan Rp 19 triliun dari total Rp 52 triliun pinjaman, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang baru mengembalikan Rp 4 triliun dari total Rp 28 triliun pinjaman, dan Bank Umum Nasional (BUN) yang baru mengembalikan Rp 1 triliun dari total Rp 6 triliun pinjaman.

Inpres Megawati tersebut bahkan dianggap sebagai ‘penyelamat’ bagi para pengemplang utang BLBI.  Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung memang bertanggungjawab dalam penerbitan SKL tersebut. Namun, dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPPN, posisi Syafruddin tidak berdiri sendiri.

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie menyebut kebijakan penerbitan SKL diketahui oleh semua pejabat di sektor ekonomi. Bahkan, Megawati sangat mungkin ikut andil dalam lahirnya kebijakan tersebut.

Lalu, apakah Megawati bisa diperkarakan karena menerbitkan Inpres? Pada dasarnya, Inpres memang berbeda dari Peraturan Presiden (Perpres) maupun Keputusan Presiden (Keppres) karena merupakan ‘bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa’, demikian menurut Jimmly Asshiddiqie.

Instruksi presiden hanya terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Secara formal, Inpres tidak dapat disebut peraturan yang resmi. Artinya, masih agak sulit untuk membayangkan Megawati dijerat pasal korupsi, hanya karena menerbitkan Inpres tersebut.

Namun, berbeda jika ternyata penerbitan SKL BLBI diketahui atau bahkan melibatkan pengaruh Megawati sebagai presiden. Sehingga, sekalipun banyak yang berkilah kalau Megawati tidak terlibat karena hanya menerbitkan Inpres – bukan SKL, namun ia tetap dianggap harus bertanggung jawab, sebab mengetahui adanya penerbitan SKL tersebut.

Bahkan saudarinya sendiri, Rachmawati Soekarnoputri, meminta Megawati ikut diperiksa dan menyebut Megawati sebagai ‘tersangka utama’.  Selaras dengan tuduhan Rachma, hal yang sama juga dilontarkan oleh lawan-lawan politik Megawati.

Jerat Politik Menuju 2019?

Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA), Sya’roni menyebut kasus BLBI punya muatan politik yang sangat kuat. Ia mengatakan tuduhan bahwa KPK ‘sedang bermain politik’ terkait Pilpres 2019 jelas terlihat dalam kasus ini, apalagi jika muaranya mengarah ke  Megawati.

Dengan demikian, bisa dipastikan kasus ini tidak hanya akan berhenti di Syafruddin Arsjad Temenggung, tetapi juga akan menyasar para pembuat kebijakan saat itu, termasuk Megawati Soekarnoputri.

Lalu jika memang bertujuan sebagai alat politik, siapa yang menggunakan kasus ini dan untuk apa?

Jika mengacu pada fakta bahwa pimpinan KPK adalah orang-orang pilihan Presiden Jokowi, apakah mungkin kasus ini adalah cara Jokowi ‘menyandera’ Megawati untuk 2019? Apalagi, PDIP belum resmi mengusung Jokowi sebagai calon presiden di 2019.

Apakah Jokowi masih akan menjadi ‘petugas partai’ di tahun 2019? (Foto: istimewa)

Argumentasi tersebut bisa jadi benar. Apalagi, jika melihat jalur politik Jokowi dalam beberapa tahun terakhir yang semakin ‘mahir’ memainkan politik keseimbangan kekuasaan. Jokowi tentu akan memanfaatkan semua tools politik yang dimilikinya untuk tetap menjaga kestabilan pemerintahannya.

Bukan rahasia lagi jika dalam kabinetnya saja, Jokowi harus berurusan dengan lebih dari satu oligarki politik. Jika tidak mempunyai tool penekan, sulit bagi Jokowi untuk menjalankan program-programnya serta mengamankan kekuasaannya.

Sangat mungkin, kasus BLBI dijadikan sebagai alat untuk ‘menyandera’ Megawati jika terlalu berusaha mendominasi. Selain itu, Jokowi juga bisa mengamankan dukungan PDIP dengan status keterikatan politik yang lebih luwes daripada ‘petugas partai’ yang selama ini menekan dirinya.

Di depan publik, baik KPK maupun Jokowi memang menyebut Megawati tidak punya hubungan dengan kasus BLBI ini. Jokowi meminta masyarakat membedakan ‘pembuat kebijakan’ dengan ‘pelaksanaannya’. Begitupun dengan KPK yang menyebut tidak akan ‘menyentuh’ Megawati dalam kasus ini.

Namun, apakah seorang ketua BPPN bisa mengambil kebijakan sendiri dalam penerbitan SKL untuk dana yang cukup besar tanpa melibatkan stakeholders ekonomi, termasuk presiden? Agaknya, hal itu masih sulit dibayangkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi Indonesia saat itu yang masih sulit.

Selain itu, jika ingin mengusut tuntas kasus ini, maka mau tidak mau Megawati juga harus diperiksa KPK. Sebagai presiden saat itu, Mega jelas yang paling tahu tentang kasus ini.

Pertanyaannya adalah apakah KPK berani? Atau kasus ini hanya akan dibiarkan terus menggantung dan digunakan sebagai sekedar penekan posisi politik Megawati?

Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, jika kasus ini punya muatan politik, sangat mungkin ini adalah cara Jokowi ‘mengendalikan’ Megawati dan PDIP.

Pada akhirnya, kita hanya bisa menunggu apakah BLBI akan mempengaruhi dukungan politik PDIP dan Megawati pada Jokowi di 2019, bukan begitu? (S13)

 

Exit mobile version