Setelah adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menolak RKUHP, sejumlah pihak mulai menghujani Menkumham Yasonna Laoly dengan kritik untuk membatalkan atau merumuskannya ulang. Kini, Yasonna yang kembali ditunjuk sebagai Menkumham menimbulkan dugaan bahwa agenda pengesahan RKUHP ini akan kembali diteruskan. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Rencana pengesahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada September 2019 lalu benar-benar menjadi salah satu faktor terbesar yang menyulut datangnya ribuan mahasiswa dari berbagai daerah untuk melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR.
Aksi massa tersebut terbilang sangat mengejutkan. Pasalnya, itu adalah demonstrasi mahasiswa terbesar dalam dua dekade terakhir. Sontak saja, untuk menurunkan tensi publik, pemerintah memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP dalam tempo waktu yang belum ditentukan.
Berbagai pihak yang berwenang dalam merumuskan RKUHP tampak menjadi bulan-bulanan masyarakat ataupun warganet, menimbang terdapat berbagai pasal kontroversial yang ditemukan di dalamnya.
Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) Yasonna Laoly selaku pihak yang memiliki andil besar dalam perumusan RKUHP tidak luput dari kritik. Bahkan, berbagai pihak meminta sang menteri untuk merevisi berbagai pasal kontroversial ataupun mengkaji ulang RKUHP yang telah disusun.
Sorotan publik nampak semakin intens kepada Yasonna setelah dirinya mengkritik keras artis Dian Sastro pada 23 September 2019, dan para Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang hadir di acara Indonesia Lawyers Club pada 24 September 2019 karena dinilai tidak mengerti substansi serta tidak membaca produk hukum tersebut.
Kini, Yasonna kembali ditunjuk oleh Jokowi untuk jabatan yang sama. Penunjukannya kembali ini menguatkan spekulasi bahwa pemerintah, khususnya Yasonna, akan terus melanjutkan proses pengesahan RKUHP. Yasonna sendiri sempat menegaskan akan melanjutkan kembali pembahasan RKUHP yang telah disusun.
Ini tentu menjadi tanda tanya. Mengapa pemerintah, khususnya Yasonna akan terus menggodok RKUHP kendati telah menerima berbagai penolakan dari banyak pihak?
Berkaca pada Partai Republik
Pengangkatan kembali kebijakan politik “tidak populer” – istilah bagi kebijakan yang menuai banyak kritik ataupun penolakan – seperti RKUHP, sebenarnya juga terjadi di berbagai negara. Bahkan, ini juga terjadi di negara sekelas Amerika Serikat (AS) yang disebut sebagai salah satu negara yang paling menjunjung demokrasi.
Kala itu, dalam agenda Kongres Partai Republik pada tahun 2017, para anggota kongres memutuskan untuk tetap mendukung pencabutan UU Perawatan Terjangkau dan RUU Reformasi Pajak yang sebenarnya telah gagal diterima.
Kedua kebijakan tersebut, seperti yang dilaporkan The Washington Post, merupakan opini yang paling tidak populer dalam sejarah AS.
Lalu, untuk apa Partai Republik tetap menyuarakan keduanya?
Disebutkan bahwa para anggota parlemen Partai Republik percaya akan adanya kebijakan yang layak diperjuangkan, kendati merupakan kebijakan yang sangat tidak populer. Ya, ini tampak seperti jawaban ideologis atau normatif.
Akan tetapi, dalam tulisan yang dimuat CNN, disebutkan bahwa ternyata alasan kebijakan tersebut tetap diperjuangkan karena adanya kekhawatiran akan adanya backlash dari para pendonor dana pembahasan dua produk hukum tersebut jika mereka gagal.
Artinya, di balik usulan tersebut, Partai Republik sebenarnya tengah memperjuangkan kepentingan para pendonor – mereka yang tentunya akan mendapat keuntungan jika kebijakan tersebut terlaksana.
Tidak hanya karena motif ekonomi, kebijakan tersebut sepertinya juga didorong oleh motif psikologis.
Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden AS, Donald Trump yang juga merupakan politikus Partai Republik kepada Senator Government Publishing Office (GOP) AS pada tahun 2015 lalu.
Saat itu, Trump dengan tendensius mengutarakan: “Bagaimana mungkin kita tidak melakukan ini setelah menjanjikannya selama bertahun-tahun?”
Merujuk pada pernyataan Trump, investasi pengajuan kebijakan tersebut bukan hanya soal dana, melainkan juga pada tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan.
Melihat pada dua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Partai Republik tetap memperjuangkan pencabutan UU Perawatan Terjangkau dan RUU Reformasi Pajak karena menimbang telah adanya investasi besar yang telah dilakukan seperti dana dari para pendonor, ataupun waktu dan tenaga para anggota parlemen yang telah menjanjikannya selama bertahun-tahun.
Berkaca pada kasus Partai Republik, dalam kasus penunjukan kembali Yasonna sebagai Menkumham, sangat mungkin terdapat investasi-investasi yang membuat pemerintah enggan untuk mengkaji ulang RKUHP, kendati kebijakan ini sepertinya telah menerima label tidak populer.
Atas persoalan ini, sangat tepat sekiranya untuk melihat pernyataan peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana yang kecewa atas penunjukan kembali Yasonna sebagai Menkumham.
Baginya, Yasonna misalnya tidak menunjukkan sikap pro pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat dari RKUHP yang menempatkan tindak pidana korupsi tidak lagi sebagai pidana luar biasa, melainkan sebagai tindak pidana umum.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, bahwa pemuatan pasal-pasal korupsi tidak boleh mendegradasi statusnya sebagai tindak pidana luar biasa dan melemahkan KPK. Lanjut Fickar, dalam RKUHP juga tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Atas temuan tersebut, tentu saja tidak mengejutkan apabila berbagai pihak menghubungkan RKUHP dengan kepentingan para politisi karena muatannya yang memberi tendesi mendegradasi tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, tindak pidana korupsi memang menjadi tindak pidana umum yang menjerat para politisi.
Tidak hanya itu, perumusan RKUHP sendiri telah memakan biaya investasi yang tidak sedikit.
Dari segi anggaran, selama periode 2015-2019 saja, dalam laporan ICW, jumlah anggaran DPR untuk pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp 1,62 triliun yang sebagian besar dialokasikan pada perancangan Undang-Undang, yaitu sebesar Rp 307,112 miliar.
Kemudian, dari segi waktu dan tenaga, dalam proses perumusannya, seperti dalam pernyataan Yasonna di acara ILC, telah berlangsung sejak era presiden-presiden sebelumnya. Bahkan tandasnya, ini adalah utang yang harus dibayarkan kepada profesor-profesor terdahulu, serta merupakan perjuangan panjang anak-anak bangsa untuk menggantikan hukum kolonial.
Merangkum variabel-variabel tersebut, kasus penerusan RKUHP ini terlihat begitu mirip dengan kasus Partai Republik yang terus menyuarakan pencabutan UU Perawatan Terjangkau dan RUU Reformasi Pajak. Keduanya, sama-sama telah memakan banyak biaya investasi besar yang meliputi dana, waktu, ataupun tenaga.
Melihat pada kedua fenomena politik tersebut, ini sebenarnya bisa disebut sebagai fenomena yang terjadi karena adanya efek sunk cost fallacy. Konsep apakah itu?
Terjerat Jebakan Psikologis?
Sunk cost fallacy adalah kondisi ketika suatu putusan atau kebijakan tetap dilanjutkan karena telah melakukan banyak investasi, baik berupa uang, waktu, ataupun tenaga terhadap suatu hal.
Kondisi tersebut terjadi – seperti yang diterangkan oleh Rolf Dobelli dan Thomas Kelly – karena manusia sulit melupakan investasi besar yang telah dilakukan, sehingga senantiasa terjadi rasionalisasi untuk membenarkan keputusan atau kebijakan yang diambil.
Menurut Dobelli dan Kelly, ini adalah perilaku manusia yang begitu berbahaya dan sebenarnya tidak rasional.
Pada kasus Partai Republik dan RKUHP, terlihat jelas bahwa telah terdapat investasi besar yang dipertaruhkan. Atas hal ini, tentu saja tercipta efek psikologis bahwa kebijakan tersebut akan begitu berat untuk ditinggalkan kendati telah mendapat berbagai penolakan.
Pernyataan-pernyataan Yasonna di acara ILC terlihat begitu tendensius untuk kembali mengupayakan pengesahan RKUHP. Bahkan Yasonna sendiri mengakui tidak dapat menahan diri ketika terdapat berbagai pihak yang mengkritik RKUHP yang telah dirumuskan selama puluhan tahun.
Itu menunjukkan dengan jelas bahwa Yasonna memiliki ikatan emosional yang kuat dengan RKUHP. Atas dasar ini, besar kemungkinan sunk cost fallacy telah terjadi pada Yasonna karena telah merasakan keberatan yang “besar” apabila RKUHP ditolak.
Yasonna sendiri, sebagaimana diketahui, menolak dengan keras untuk mengkaji ulang RKUHP. Karena baginya, jika kaji ulang dilakukan, RKUHP tersebut tidak akan pernah berhasil diselesaikan.
Pada akhirnya, atas berbagai korelasi tersebut, publik dapat menebak bahwa pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, pengesahan RKUHP akan kembali diusahakan. Terlebih lagi, Yasonna yang terlihat memiliki ikatan emosional yang kuat dengan RKUHP, terpilih kembali sebagai Menkumham.
Akan tetapi, opsi lain seperti penundaan RKUHP karena terdapat banyak pasal yang direvisi ataupun dikaji ulang adalah kemungkinan yang terbuka lebar pula. Atas kelanjutan nasib RKUHP ini, tentu sangat menarik untuk dinantikan. (R53)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.