Isu agama diperkirakan masih akan tetap mempengaruhi hasil akhir Pilpres 2019. Keengganan Ma’ruf Amin untuk meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI adalah ironi yang mengindikasikan masih sentralnya politik Islam – posisi yang boleh jadi akan menguntungkan kubu oposisi. Apakah ini adalah jebakan politik?
PinterPolitik.com
“Good people do not need laws to tell them to act responsibly, while bad people will find a way around the laws.”
:: Plato (428-348 SM) ::
[dropcap]P[/dropcap]ertarungan politik identitas – suku, agama, ras, jenis kelamin, dan lainnya – sebagai strategi merengkuh kekuasaan, memang punya sejarah panjang.
Mulai dari kisah Konstantin Agung di Kekaisaran Romawi yang menggunakan identitas agama Kristen untuk mengukuhkan kekuasaannya, hingga sejarah ratusan tahun Perang Salib dengan menggunakan panji agama, atau bahkan Thirty Years War – perang 30 tahun – antara Katolik melawan Protestan pada abad ke-16, adalah beberapa gambaran bagaimana perang, kekuasaan dan politik punya hulu identitas yang sama.
Nyatanya, peristiwa terakhir adalah yang melahirkan Perjanjian Westphalia – konsesi yang salah satunya memperkenalkan konsep nation state atau negara bangsa sebagai cikal bakal negara modern seperti saat ini.
Artinya, negara dan politik identitas adalah hal yang tidak bisa dipisahkan, salah satunya dibuktikan lewat Sumpah Pemuda 1928 sebagai tonggak perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. So, thanks to Habib Rizieq Shihab. (Baca: Tombol Politik Identitas Rizieq Shihab)
Saya mikirnya justru KH Ma'ruf Amin JANGAN dulu mundur dari ketua MUI sementara di sana masih bercokol oknum2 penebar HOAX macam @ustadtengkuzul
Ini bisa berbahaya bagi masa depan Islam dan NKRI#Damai1Indonesia #IndonesiaMaju
— Randu Alit (@randualit) September 23, 2018
Karena politik adalah perang dan perang adalah politik – demikian kata Mao Zedong – maka nuansa politik identitas layaknya peristiwa-peristiwa sejarah tersebut masih akan dominan terasa, termasuk jelang Pilpres 2019 yang pestanya akan dinikmati masyarakat negara ini pada April tahun depan.
Namun, konteks politik identitas di 2019 tampaknya akan menampilkan wajah yang berbeda, katakanlah jika dibandingkan dengan yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Pasalnya, dua kubu yang akan bertarung sama-sama memagari diri dengan isu politik tersebut. Joko Widodo (Jokowi) misalnya tidak ingin kecolongan dan menggandeng ulama paling kuat di republik ini, Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya.
Prabowo Subianto? Masih sama, selain membekali diri dengan sokongan partai paling militan soal agama dalam diri PKS, sang jenderal juga mengantongi dukungan Ijtima Ulama yang dibarter dengan Pakta Integritas yang nuansanya lagi-lagi sangat “identitas” – jika kata terakhir bisa dianggap sebagai adjektiva.
Memang pasca terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, isu politik identitas sempat diprediksi tidak akan digunakan lagi. Berbagai headline yang muncul di media massa merujuk ke arah sana.
Tetapi apakah benar demikian? Keputusan Ma’ruf Amin yang tidak mundur dari jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru menampilkan hal yang sebaliknya. Ini nyatanya juga menjadi gambaran lain dari tarung ulama, bahkan mungkin menjadi jebakan politik dari kubu lawan. Apakah untung atau buntung untuk Jokowi-Ma’ruf?
Kaki Politik Agamais
Faktanya, politik agama masih akan menjadi warna utama kampanye yang tidak bisa terhindarkan untuk Pilpres 2019. Setidaknya Fadli Zon dan sajak “Potong Bebek Angsa PKI” adalah salah satu gambarannya, sekalipun kepujanggaan Wakil Ketua DPR itu tidak akan dibahas di tulisan ini.
Yang jelas, penandatanganan Pakta Integritas yang dilakukan Prabowo dalam Ijtima Ulama II yang diadakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama menunjukkan bahwa sang jenderal telah menjalin kesepakatan politik dengan gerakan yang punya peran besar lewat politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa dimensi politik Islam masih sangat kuat. “Fatwa” yang ada di huruf terakhir singkatan nama GNPF merupakan produk hukum yang menjadi nasihat atau jawaban resmi dari kebijaksanaan para ulama di Indonesia lewat MUI untuk suatu hal tertentu.
Fatwa tentang penistaan agama yang dikeluarkan untuk kata-kata Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah salah satu alasan naik daunnya GNPF dan menguatnya politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta lalu.
Hal inilah yang mungkin membuat Ma’ruf Amin “enggan” melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Padahal sebelumnya, wacana Ma’ruf akan meletakkan jabatan tersebut sempat santer beredar. Ia bahkan sempat legawa dan menyatakan akan mengikuti mekanisme yang berlaku di organisasi ulama itu.
Namun, keputusan itu berubah. Ma’ruf hanya menanggalkan jabatannya sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU). Sementara untuk posisinya sebagai Ketua MUI baru akan ia lepas jika ia secara resmi terpilih sebagai wakil presiden.
Bagi publik sikap ini mungkin dianggap biasa. Namun, ada langkah politik yang cukup signifikan dalam keputusan ini, sekalipun dalil yang digunakan sang kiai adalah tentang persoalan mekanisme organisasi.
Faktanya, saat ini MUI punya kekuatan politik yang jauh lebih besar, katakanlah jika dibandingkan dengan NU – utamanya dalam konteks politik identitas – terutama karena signifikansinya yang punya legitimasi terhadap semua umat Islam di Indonesia tanpa memandang apa pun ormasnya.
Artinya, jabatan di MUI jelas punya implikasi politik yang lebih besar. Kubu Jokowi – tim penasihat politik atau kampanyenya – tentu saja telah berhitung bahwa jika Ma’ruf melepas posisinya di MUI, maka jabatan tersebut berpotensi jatuh ke tokoh dari kubu lawan dan kemungkinan akan “digunakan” untuk kepentingan politik.
Bagaimanapun juga GNPF adalah “anak” yang lahir dari fatwa Ma’ruf tentang penistaan agama. Artinya, Ma’ruf jauh di atas GNPF dalam konteks konservatisme agama. Share on XTerlepas dari fakta penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, Ma’ruf sendiri telah “mengaplikasikan” fungsi politik jabatan Ketua MUI itu ketika ia mengeluarkan fatwa yang melahirkan gelombang demonstrasi besar-besaran pada penghujung 2016 lalu.
Hal inilah yang membuat desakan bagi dirinya untuk mundur dari MUI muncul dari ulama yang berseberangan kubu, katakanlah dalam konteks Pilpres 2019 nanti. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Didin Hafiduddin merupakan salah seorang yang mendesak Ma’ruf meletakkan jabatan di MUI.
Faktanya Didin adalah salah satu ulama yang meminta partai-partai pendukung Prabowo memperhatikan rekomendasi Ijtima Ulama – pernyataan yang sekaligus menguatkan posisinya sebagai pendukung Prabowo.
Artinya, ada perebutan kepentingan politik lewat jabatan Ketua MUI yang kini disandang Ma’ruf. Melepaskan Rais Aam NU cenderung lebih aman secara politik untuk sang kiai, ketimbang jabatannya sebagai ulama paling berkuasa di Indonesia – demikian kata Profesor Greg Fealy dari Australia National University – di MUI, lembaga pemberi label halal ini.
Apalagi, pertarungan politik di MUI juga melibatkan banyak ulama yang kini ada di kubu Prabowo, salah satunya adalah Muhammad Yusuf Martak yang kini menjadi salah satu bendahara di organisasi ulama itu. Nama terakhir kini menjabat sebagai Ketua GNPF dan berperan besar dalam Ijtima Ulama beberapa waktu terakhir.
Anomali Tarung Ulama, Sebuah Jebakan?
Tidak melepaskan jabatannya di MUI tentu saja menjadi kalkulasi politik yang dibuat Ma’ruf. Ia dan kubu Jokowi tentu saja telah menghitung-hitung political risk atau risiko politis yang timbul jika melepas jabatan di lembaga tersebut.
Kalkulasi political risk – konsepsi yang dikupas tuntas oleh Catherine Althaus dalam bukunya Calculating Political Risk – yang dibuat Ma’ruf tentu saja memperhatikan konteks posisi MUI yang jauh lebih kuat berdampak politis ketimbang NU.
Apalagi, di NU masih ada Said Aqil Siradj yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar (PB) ormas tersebut. Said Aqil cenderung punya posisi politik yang linear dengan Ma’ruf, sehingga jabatan Rais Aam lebih “aman” untuk ditinggalkan.
Seorang Kyai Ma'ruf Amin tidak bisa memberi keteladanan, berkaitan majunya beliau jadi Cawapres.
Sebagai Ketua MUI sebaiknya beliau mundur. Ini tentu akan jadi teladan yang positif
Dengan statemen beliau bahwa mundur setelah jadi Wapres, sungguh disayangkan. #iDeasRabbani
— Prijanto Rabbani (@RabbaniIdeas) September 20, 2018
Namun, keputusan untuk tidak lepas dari MUI juga punya risiko besar. Hal ini berpotensi menjadi jalan bagi kubu Prabowo-Sandi untuk menggeser beban isu politik identitas ke arah Jokowi. Dalam salah satu pernyataannya, Prabowo menyebut tudahan bahwa kubunya memainkan isu politik identitas berbasis SARA – suku, agama, ras, antargolongan – adalah hal yang keliru. Justru sebaliknya, kubu oposisi menurutnya jauh lebih Pancasilais.
Pernyataan Prabowo ini menyiratkan strategi untuk menggeser beban politik identitas ke kubu Jokowi, terutama lewat sosok Ma’ruf Amin. Bagaimanapun juga GNPF adalah “anak” yang lahir dari fatwa Ma’ruf tentang penistaan agama. Artinya, Ma’ruf jauh di atas GNPF dalam konteks konservatisme agama.
Hal ini akan menguntungkan kubu Prabowo di depan pemilih pluralis-minoritas-progresif yang selama ini tidak diuntungkan dengan fatwa dan sikap Ma’ruf Amin. Pada titik ini, mengunci posisi Ketua MUI justru akan merugikan Jokowi-Ma’ruf di depan core voters – pemilih inti Jokowi – yang punya basis ideologis cenderung bertolak belakang dengan sang kiai. Inilah yang disebut jebakan politik.
Namun, konteks tersebut tidak akan terjadi jika Jokowi mampu merangkul pemilih intinya dan meyakinkan mereka untuk tetap mendukung dirinya lagi. Pekerjaan ini tentu tidak akan mudah mengingat isu lain, misalnya ekonomi, justru memberatkan posisi Jokowi di hadapan para pemilih rasional.
Pada akhirnya, tarung ulama akan menjadi panggung utama kampanye politik berbasis identitas di Pilpres 2019, dan seperti kata Plato di awal tulisan ini, baik buruknya tergantung perspektif yang dipakai. Bukan begitu? (S13)