“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” – Lord Acton
Pinterpolitik.com
[dropcap]E[/dropcap]ni Maulani Saragih, politisi Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR yang menjadi tersangka kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, sudah mengajukan diri menjadi Justice Collaborator (JC) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga anti rasuah itu dikabarkan sedang mempertimbangkan hal ini.
JC sebenarnya bukan produk baru dalam perkara pidana di Indonesia. JC menjadi semacam fasilitas yang digunakan untuk membantu aparat penegak hukum membongkar skandal korupsi yang masif.
JC sebagai strategi, teknik, dan instrumen baru merupakan legal policy untuk membentuk kesadaran dalam mengatasi dan mengendalikan korupsi. Share on XFaktanya, kasus-kasus korupsi di Indonesia semakin terpola dan sistematis. Potret buram korupsi senantiasa ditandai dengan banyaknya kasus yang coba diungkap, namun seringkali tidak tuntas dalam penyelesaiannya. Hal tersebut tentunya memerlukan strategi baru dengan melakukan terobosan tertentu.
Karena itu, hukum pidana khususnya pada kasus korupsi, mengenal yang namanya Justice Collaborator atau JC. Istilah JC dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Sebelumnya, memang sudah ada beberapa orang tersangka korupsi yang pernah mengajukan diri sebagai JC. Di antaranya adalah Muhammad Nazaruddin, Agus Condro Prayitno, Damayanti Wisnu Putranti, dan Antonius Tonny Budiono. Nama-nama tersebut adalah tersangka korupsi megaproyek yang merugikan negara dengan jumlah besar. Korupsi ini juga melibatkan banyak pihak dengan modus operandi yang sistematis dan berpola.
JC bisa dimaknai sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang mengakui perbuatannya, namun bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta mau memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Penetapan seorang tersangka sebagai JC diharapkan membantu penegak hukum dalam membongkar kejahatan lebih besar atau pelaku lain yang semestinya bertanggung jawab. Di sisi lain, penetapan JC akan menghindarkan pihak yang mengajukannya dari ancaman pidana yang paling berat.
Namun, keberadaan JC disebut oleh berbagai pihak rentan menimbulkan ruang untuk korupsi baru. Hal ini dikarenakan saat seseorang yang ditersangkakan mendapatkan tawaran untuk menjadi JC, muncul celah transaksional yang menjadi problematis, terutama beruhubungan dengan konteks politik hukum.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah seperti apa signifikansinya dalam upaya penegakkan hukum dan mungkinkah JC memiliki nuansa politis sehingga dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu?
Dimensi Deontologi JC
Menurut sejarahnya, JC sendiri sangat erat kaitannya dengan organisasi kejahatan ala mafia. Kelompok ini adalah organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.
Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut, membuat mereka bisa mempengaruhi berbagai sektor kekuasaan, mulai dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif, termasuk aparat penegak hukum.
Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul Omerta, Mario Puzo menulis kisah tentang kehidupan para mafia. Omerta dipersepsikan sebagai sumpah tutup mulut yang menjaga kehormatan, loyalitas dan solidaritas di kalangan mafia. Jika berani mengungkap kejahatan di internal organisasinya, maka nyawa akan menjadi taruhannya.
Di sisi yang lain, jika berbicara tentang JC, maka ada sebuah pembahasan kondisi di mana seseorang yang berasal dari suatu organisasi yang memberikan informasi rahasia kepada aparat penegak hukum tentang kejahatan yang telah, sedang atau akan dilakukan oleh orang-orang dalam organisasinya.
Dalam perannya sebagai JC, sesorang dituntut untuk bisa memberikan pendapatnya sejujur mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berkaitan dengan etika seseorang untuk membuka kejahatan luar biasa. Etika di sini harus meletakkan kepentingan masyakarat dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Dari segi etika, seorang JC wajib mengungkapkan kasus korupsi yang diketahuinya karena korupsi pada dasarnya memang merugikan masyarakat. Immanuel Kant, seorang filsuf dari Jerman menulis tentang etika deontologis yang memandang bahwa sebuah tindakan disebut bernilai baik karena dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki seseorang.
Kant mengatakan bahwa penilaian terhadap suatu tindakan moral itu harus didasarkan pada ukuran otonomi individu yang melaksanakan (maksim), tanpa mempertimbangkan konteks tindakan dan tujuannya.
Teori ini memandang kewajiban seseorang di dalam hal ini dapat berupa kewajiban terhadap masyarakat umum atau organisasi (negara) demi kepentingan hukum. Dalam konteks JC dan korupsi, orang itu memiliki kewajiban terhadap negara dan masyarakat untuk mengungkap kasus korupsi sampai ke akar-akarnya.
Tujuan dari adanya JC adalah untuk membantu penegakan hukum dan membongkar kasus korupsi yang sering melibatkan banyak pihak, berpola, serta sistematis. Namun begitu, pelaku kejahatan saat ini semakin berhitung untung rugi menjadi JC. Sebab, belum ada cara pandang yang sama mengenai kriteria JC di antara aparat penegak hukum. Apalagi risiko menjadi JC dengan mengungkap kejahatan pelaku lainnya sangat tinggi, bahkan bisa kehilangan nyawa.
Hal itu senada dengan yang disampaikan oleh aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. Ia menyebut jika perbedaan cara pandang di antara penegak hukum membuat pelaku kejahatan akan berhitung untung rugi menjadi JC. Sementara itu, pelaku tersebut masih harus melakukan proses persidangan.
Pada prinsipnya dalam fenomena korupsi, idealnya harus seimbang antara kemauan melapor dugaan korupsi dengan kemauan negara merespon laporan dan memberikan perlindungan. JC sebagai strategi, teknik, dan instrumen baru merupakan legal policy untuk membentuk kesadaran dalam mengatasi dan mengendalikan korupsi. Apabila keseimbangan tersebut tidak ada, maka muncul kondisi politik hukum yang tidak kondusif, yaitu adanya efek keengganan partisipasi atau keterlibatan sebagai JC.
Rawan Negosiasi Politik?
Kehadiran Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 (pdf) sebenarnya diharapkan menjadi komitmen nyata dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama terkait peran JC. Oleh karenanya, JC sebagai alat bantu dalam upaya mempercepat pengungkapan tindak pidana korupsi memerlukan pengaturan yang jelas, bukan sebaliknya.
Pun begitu, adanya JC menimbulkan sebuah pertanyaan baru dikarenakan proses hukum ini kerap disusupi kepentingan seperti tawaran dari penegak hukum terhadap pelaku kejahatan. Wacana JC itu justru menjadi pintu masuk terjadinya negosiasi dan kompromi atas substansi perkara hukum dan melemahkan proses penyidikan.
Misalnya dalam kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Nazar yang perbuatannya dikategorikan sebagai grand corruption atau korupsi besar, dianggap berjasa dengan menjadi JC dalam membongkar sejumlah kasus korupsi skala besar yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Keterangan Nazar yang signifikan dalam kasus suap wisma atlet misalnya menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
4. Dengan mengabulkan Nazaruddin sebagai Justice Collaborator, artinya @KPK_RI telah memutuskan Nazaruddin bukan pelaku utama tindak pidana.
— Teddy Gusnaidi (@TeddyGusnaidi) August 31, 2017
Dari kasus Nazar ini, setidaknya timbul dua catatan yang perlu dicermati. Pertama, banyak kalangan terutama para penegak hukum dan pegiat anti korupsi, yang menilai bahwa Nazaruddin tidak bisa dinilai kooperatif karena “menghilangkan diri” – kabur ke luar negeri – dan harus dijemput paksa dari Kolombia. Namun, pasca penangkapan tersebut, ia telah mengungkapkan banyak fakta terkait 11 kejahatan korupsi yang ditindaklanjuti.
Catatan kedua, seperti yang disampaikan oleh pengamat politik Alfan Alfian, bahwa setelah lama diam, mengapa Nazaruddin baru mengungkapkan kasus tersebut ke publik sekarang? Mengapa tidak sejak awal menyerahkan berbagai bukti ke KPK?
Pertanyaan retoris Alfan ini memancing hal baru dalam konteks perlindungan hukum bagi JC, terutama terkait motif seseorang mengemukakan kebenaran di persidangan yang memungkinkannya mendapatkan perlindungan hukum.
Memang, pokok perdebatan hukum tentang JC belakangan ini tak lagi steril dari pengaruh politik. Pada kenyataannya, JC adalah ruang yang amat rentan terhadap negosiasi. Status menjadi JC bagi para tersangka, justru menjadi lahan baru korupsi karena diperjualbelikan di Lembaga Pemasyarakatan agar seorang narapidana korupsi mendapat remisi atau hal lain yang diinginkannya.
Hal itu sejalan dengan yang disampaikan oleh peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang meminta pihak Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham membuka semua berkas narapidana yang mendapatkan remisi pasca 2012.
Ia menilai jika alasan pemberian remisi itu terkait dengan JC, maka bisa ditelusuri apakah ada “permainan” atau tidak. Pernyataan Erasmus itu terkait dengan komentarnya terhadap perubahan PP No. 99 Tahun 2012, tentang “Remisi Umum”.
Melihat fenomena terkait JC, tentu harapannya adalah agar upaya penegakkan hukum menjadi lebih maksimal. Namun, dengan adanya perbedaan kriteria dari para penegak hukum tentu akan menyulitkan seseorang untuk berpartisipasi. Selain itu, masih rentannya celah JC dimanfaatkan oleh oknum untuk kepentingan politis akan membuat upaya penegakkan hukum jauh dari tujuan. Jika demikian, layakkah Eni Maulani Saragih mendapatkan status serupa? (A37)