Wali Kota Bogor Bima Arya dan Bupati Bogor Ade Yasin mendorong dibentuknya Provinsi Bogor Raya. Menurut keduanya, pemekaran wilayah ini diperlukan untuk mengantisipasi pertumbuhan dan memangkas birokrasi. Namun, sebagian besar pemekaran wilayah di Indonesia justru gagal dan hanya menguntungkan elite-elite politik saja.
PinterPolitik.com
Rencana pemakaran ini sudah muncul setidaknya sejak tahun 2016. Saat itu anggota DPR RI Fraksi PKS, Soenmandjaja, mendorong Bogor menjadi provinsi sendiri karena jumlah penduduknya yang besar.
Sejauh ini rencana Bima dan Ade mendapat penolakan dari Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil alias Kang Emil dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Menurut Emil, jika birokrasi dan pelayanan publik jadi alasan, pemekaran yang diperlukan bukan di level provinsi, melainkan di level kabupaten. Sementara Tjahjo meminta wacana pemekaran wilayah Bogor ditunda.
Ia juga menghimbau para pimpinan daerah untuk fokus kepada optimalisasi pembangunan daerahnya masing-masing, bukan fokus memekarkan diri.
Penolakan juga datang dari Bekasi dan Depok. Pemerintah kedua kota ini malah lebih memilih bergabung dengan Provinsi DKI Jakarta karena melihat manfaat ekonomi yang lebih besar serta faktor administrasi dan sejarah.
Mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya menjadi alasan dan tujuan utama dimekarkannya suatu daerah. Namun, pada kenyataannya pemekaran daerah sering kali digunakan sebagai kedok oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.
Lalu, bagaimana dengan Bogor Raya?
Motif Politik-Ekonomi
Menurut banyak pihak pemekaran daerah baru, atau dikenal dengan istilah Daerah Otonomi Baru (DOB), lebih sering didasari oleh kepentingan elite politik lokal dan partai politik (parpol) nasional.
Hal ini dikarenakan terbentuknya DOB secara otomatis akan menambah jumlah jabatan yang tersedia, baik itu gubernur, wali kota, hingga DPRD.
Di sini elite politik diuntungkan karena peluang mereka untuk mendapatkan promosi atau jabatan baru semakin besar pula. Begitupun bagi parpol, karena kader-kadernya yang belum kebagian kursi bisa diserap oleh pemerintahan baru DOB.
Inilah mengapa pemekaran daerah sering kali dicurigai sebagai kedok bagi elite politik dan parpol untuk “bagi-bagi kekuasaan”.
DOB juga menambah beban APBN karena pembentukan DOB juga berarti pembentukan instansi pemerintahan baru, jalur birokrasi baru, dan berbagai infrastruktur pemerintahan baru.
Selain motif poliltik, menurut Rita Helbra Tenrini – peneliti Pusat Kebijakan APBN Kementerian Keuangan – adanya iming-iming insentif fiskal menjadi salah satu alasan suatu daerah ingin memekarkan diri.
Jika selama ini anggaran yang diterima sautu daerah berasal dari daerah induknya, maka keberhasilan memekarkan diri DOB juga akan mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat.
Anggaran ini hadir dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Setelah mekar pun DOB tetap akan menerima anggaran dari mantan daerah induknya selama 3 tahun.
DOB akan diuntungkan karena mendapat dua sumber pemasukan, namun hal yang berbeda berlaku bagi pemerintah pusat.
Dengan bertambahnya jumlah DOB, maka jumlah transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah akan semakin tinggi. Hal ini membebani APBN dan mempersempit kapasitas fiskal pemerintah pusat. Untuk tahun ini, DAU sudah menyentuh angka Rp 417 triliun.
Sejauh ini ada sepuluh daerah yang direncanakan, atau lebih tepatnya diajak, untuk bergabung ke Provinsi Bogor Raya.
Sepuluh daerah ini terdiri dari empat kota yaitu Bogor, Sukabumi, Depok, dan Bekasi, serta enam kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bekasi, Karawang, dan Subang.
Jika melihat komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jabar, sepuluh daerah di atas adalah daerah-daerah dengan nilai ekonomi tinggi. Pada tahun 2016, Rp 9,2 triliun atau 57 persen PAD Jabar datang dari sepuluh daerah ini, padahal Jabar memiliki 27 kabupaten/kota.
Dari 10 daerah, 3 daerah dengan pendapatan tertinggi adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Sumber utama pendapatan ketiganya berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Mengacu pada peraturan Menteri Keuangan, setelah dikurangi 10-20 persen untuk pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota harus memberikan sekitar 16 persen sisa PBB dan BPHTB ke pemerintah provinsi.
Oleh karena itu, dengan memisahkan diri menjadi provinsi sendiri, Bogor Raya dapat mengelola dan memanfaatkan sendiri PAD-nya tanpa harus “berbagi” dengan daerah Jabar lainnya.
Maka dari itu, jika kesepuluh daerah ini sepakat membentuk Provinsi Bogor Raya, Jabar berpotensi kehilangan lebih dari setengah PAD-nya.
Potensi berkurangnya pendapatan daerah inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Kang Emil menolak pemekaran Provinsi Bogor Raya.
Lebih lanjut lagi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat pernah mencurigai adanya mafia pemekaran daerah yang terdiri dari elite politik, pejabat daerah, dan pemodal.
Menurutnya mafia-mafia ini menekan pejabat tertentu agar proposal pemekaran daerah disetujui.
Hal yang sama juga diutarakan oleh mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida. Laode melihat munculnya DOB tidak lepas dari permainan mafia pemekaran daerah yang melakukan praktik korupsi dan penyelewengan anggaran.
Tidak hanya dalam tahap proposal, ketika sudah terbentuk, DOB juga rentan dijadikan sarang korupsi, terbukti dari masih banyaknya pejabat-pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi.
DPD Desak Pemerintah Batalkan Moratorium Pemekaran Daerah
Jakarta – Wakil Ketua DPD RI, Akhmad Muqowam, mendesak pemerintah segera membatalkan moratorium pemekaran daerah. Hal… https://t.co/DkvFrVgmgz
Citra Buruk Pemekaran Daerah
Sejak kebijakan desentralisasi muncul pada tahun 1999, sudah muncul 8 provinsi dan 215 kabupaten/kota baru di Indonesia.
Dari ratusan DOB ini, setidaknya 67-78 persen dinilai gagal karena pembangunannya stagnan dan pemerintahnya sangat bergantung dari dana yang diberikan pemerintah pusat.
Kegagalan ini menyebabkan DOB-DOB yang gagal direncanakan untuk digabung kembali dengan mantan daerah induknya.
Pemekaran daerah yang lebih banyak memberikan dampak negatif inilah yang membuat pemerintah pusat sejak 2009 mengeluarkan Moratorium Pemekaran Daerah hingga waktu yang tidak ditentukan.
Hingga saat ini moratorium masih berlaku dan pemerintah belum berencana untuk mencabutnya. Namun di sisi lain, tekanan untuk pencabutan moratorium semakin besar.
Desakan kepada pemerintah pusat untuk mencabut moratorium juga terus bermunculan, misalnya dari berbagai partai politik di Jawa Barat, masyarakat Garut, hingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Meskipun menghadapi penolakan dari pusat, rencana pembentukan Provinsi Bogor Raya masih berlanjut. Bima Arya sendiri mengatakan bahwa kajian pemekaran daerah akan selesai akhir tahun ini.
Bukan hanya Kota dan Kabupaten Bogor, sejauh ini sudah ada 314 daerah yang ingin memekarkan diri, entah karena didasari kebutuhan nyata atau hanya mengejar keuntungan politik dan ekonomi kelompok tertentu. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.