Dengarkan artikel ini:
Twitter/X dikenal sebagai platform media sosial yang paling sering terjadi diskusi politik. Namun, apakah kita bisa mempercayai diskusi politik yang terjadi di sana?
Media sosial dan internet kini menjadi sumber informasi awal bagi publik dalam mengakses informasi.
Menurut laporan survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bertajuk Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu, pada September 2023, jumlah orang yang menggunakan media sosial sebagai sumber informasi utama meningkat menjadi 47,2 persen pada tahun 2023, dari 14,3 persen pada tahun 2019.
Sementara, televisi yang tadinya menempati posisi pertama kini mengalami penurunan menjadi 39,3 persen pada tahun 2023 dari 75 persen pada tahun 2019.
Namun, laporan yang dibuat CSIS ini memiliki informasi menarik soal penggunaan sosial media, yang sepertinya cukup berkaitan langsung dengan dinamika soal Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres).
Dari bermacam media sosial yang digunakan Indonesia, Whatsapp menempati posisi pertama dengan skor 95,8%, sementara, X (Twitter), menempati posisi paling bawah dengan skor 12,4%. Akan tetapi, meskipun X merupakan media sosial yang paling jarang digunakan, ia justru memiliki tingkat kepercayaan misinformasi paling tinggi dengan skor 76,4 persen.
Ini artinya, selain menjadi media sosial yang paling jarang digunakan, X juga adalah media sosial yang kontennya paling tidak dipercaya oleh para pengguna media sosial.
Menariknya, sejumlah survei politik digital justru kerap mengacu pada dinamika perbincangan yang terjadi di X, karena platform ini –secara ironisnya- sering dinilai sebagai platform yang paling efektif dalam memantik diskusi politik.
Lantas, bagaimana kita bisa mengartikan data dari CSIS tadi dengan diskusi politik perihal Pilpres 2024 yang terjadi di X?
X Adalah ‘Bubble’?
Pada awal dekade 2000-an, seorang ilmuwan politik terkemuka dari Amerika Serikat (AS), Francis Fukuyama, mengemukakan prediksi bahwa media sosial akan menjadi panggung utama pertempuran politik di masa yang akan datang.
Saat ini, media sosial memang mulai menunjukkan dirinya sebagai platform modern yang memfasilitasi diskusi politik bagi masyarakat. Namun, evolusi media sosial sendiri telah menimbulkan sejumlah permasalahan kompleks yang kini dianggap cukup berdampak negatif pada kemajuan demokrasi.
Permasalahan ini memiliki istilah sendiri, yakni social bubble filter. Istilah ini merujuk pada situasi di mana individu di dalam suatu populasi lebih mungkin terpapar hanya pada informasi dan pandangan yang sejalan dengan keyakinan atau sudut pandang mereka sendiri.
Masalahnya, di dunia media sosial, algoritma teknologi yang diterapkan di masing-masing platform cenderung mewujudkan persoalan social bubble, karena penyaringan konten media sosial sering kali hanya menyajikan konten yang mendukung pandangan yang sudah seragam dengan apa yang disukai penggunanya, tidak menampilkan pandangan yang baru.
Seiring waktu, pola ini dapat merayap ke seluruh populasi pengguna, terutama jika ukuran populasi di platform media sosial tersebut sangat kecil, seperti yang terjadi pada pengguna X di Indonesia. Dampaknya, seluruh wacana yang berkembang di X dapat menjadi ‘homogen’.
Dalam konteks ini pula, terbentuklah kelompok-kelompok atau “gelembung sosial” di mana individu hanya bertukar pikiran dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa. Hal ini menghasilkan perdebatan yang kurang beragam dan pada akhirnya membatasi pemahaman terhadap sudut pandang yang berbeda.
Dampaknya, saat seseorang hanya terpapar pada informasi yang memvalidasi keyakinan mereka, ada kemungkinan besar bahwa mereka akan cenderung mengabaikan atau bahkan menolak pandangan yang berbeda. Secara sekilas, orang-orang yang terlibat dalam diskusi homogen ini mungkin akan melihat diskusi yang terjadi sebagai sesuatu yang progresif, akan tetapi dalam kenyataannya, bisa jadi kondisinya justru kebalikannya.
Nah, bila survei yang diungkap CSIS dalam bagian awal tulisan ini memang benar, maka ada kemungkinan bahwa para pengguna X di Indonesia sebetulnya juga berpotensi terjebak dalam persoalan social bubble yang regresif. B
ila memang benar bahwa ketidakpercayaan informasi begitu marak di X, maka para pengguna yang berada di sana pun bisa saja terjebak dalam pandangan yang sebetulnya tidak sesuai kenyataan, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Hal ini lantas mengantar kita ke pertanyaan selanjutnya: apakah ini artinya diskursus politik di platform yang homogen seperti X adalah sesuatu yang semu?
Sentimen Politik di X
Belakangan ini, hampir di setiap akhir debat capres atau cawapres, banyak lembaga yang melakukan survei di media sosial demi memetakan kandidat mana yang kira-kira mendapatkan sentimen paling positif dari warganet. Tentunya, X menjadi salah satu platform media sosial yang dianalisis.
Continuum INDEF, misalnya, usai debat Pilpres 2024 yang ketiga, menganalisis sentimen yang muncul di X. Dan berdasarkan data yang mereka dapat, capres dari kubu 01, Anies Baswedan, mendapat sentimen positif yang terbesar yakni 75 persen.
Namun, kalau kita ingin melihat hal ini dengan kacamata social bubble, bisa jadi sentimen positif yang demikian sebetulnya bersifat ‘hampa’. Karena, bisa saja, dengungan opini yang berputar di X saat itu hanya diisi oleh orang-orang yang sebenarnya satu pandangan dari awal, bukan didasari dari diskursus politik yang diisi oleh pandangan orang yang berbeda-beda.
Hal ini lantas membawa kita kembali kepada pertanyaan dasar soal demokrasi. Platform seperti apa yang bisa kita percaya untuk melihat opini soal demokrasi? Well, mungkin jawabannya sebetulnya bukan pada media sosial lain seperti Instagram atau Facebook, namun, justru kepada diskusi di dunia nyata, yang sangat minim akan adanya lalu lintas misinformasi.
Pada akhirnya, persoalan social bubble dan homogenitas opini yang mungkin terdapat di platform X hanya menjadi contoh dari rumitnya persoalan demokrasi di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat. Mungkin, untuk saat ini, demokrasi yang sesungguhnya masih hanya akan terjadi di dalam diskusi tatap muka. (D74)