Persoalan lingkungan kerap dipandang sebelah mata oleh politisi. Apakah pemerintahan Jokowi juga demikian?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]residen kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri mengaku prihatin dengan isu lingkungan di tanah air. Rasa prihatin tersebut, ia ungkapkan saat mengumumkan lima calon gubernur dari PDI Perjuangan untuk Pilkada Serentak 2018.
Ia mengatakan bahwa isu lingkungan saat ini masih menjadi milik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saja. Padahal, menurutnya, isu lingkungan adalah isu yang amat penting karena berkaitan dengan masa depan manusia.
Pernyataan Megawati tersebut seolah mendapat pembenaran, jika dilihat dari fenomena belakangan ini. Politik lingkungan masih amat jarang menjadi prioritas bagi politisi-politisi nasional. Dalam berbagai kampanye politik, isu lingkungan kerapkali absen dalam janji-janji kandidat.
Ada beragam penyebab dari rendahnya kepedulian politisi dalam politik lingkungan. Diduga politisi kerapkali mendahulukan kepentingan pengusaha meski berpotensi merusak lingkungan. Politik lingkungan juga umumnya baru akan naik ke permukaan jika ada peristiwa besar.
Sangat penting untuk melihat komitmen politisi dalam menjalankan politik lingkungan. Sebagai acuan, kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi perlu dilihat komitmennya dalam isu lingkungan. Apakah isu lingkungan juga luput dari pemerintahan ini?
Isu yang Kerap Luput
Isu lingkungan seringkali absen dalam agenda-agenda yang dibawa politisi. Banyak kepala daerah atau pejabat pemerintahan lainnya mengenyampingkan isu ini. Bagi banyak orang, isu ini memang memiliki prioritas yang rendah.
Bagi calon pejabat yang berkampanye, isu ekologi bukanlah barang jualan yang laku di masyarakat. Calon-calon pejabat tersebut kerapkali memilih isu lain yang berkaitan dengan kesejahteraan seperti kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan.
Muncul indikasi kuat pula bahwa ada transaksi antara politisi dengan pengusaha, sehingga politik lingkungan dijalankan setengah hati. Sebab para kepala daerah kerap mengobral perizinan eksploitasi sumber daya alam kepada pengusaha.
1)asosiasi pengusaha (APHI dn GAPKI)ajukan Judicial Review terkait UU 32th09 pasal 88 ttg prlindungn&pengelolaan lingkgn hidup. knp ya??
— WALHI (@walhinasional) May 29, 2017
Banyak kepala daerah yang akan lengser atau baru terpilih, memberikan izin eksploitasi kepada banyak korporasi. Pemberian izin ini kerapkali tidak memperhatikan studi terkait potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Tidak jarang, praktik ini melibatkan transaksi antara kepala daerah dengan pengusaha yang berujung korupsi. Kepala daerah enggan memperhatikan kondisi lingkungan, karena mendapat keuntungan secara pribadi.
Akibat kondisi-kondisi tersebut, politik lingkungan yang dijalankan hanya bersifat ‘pemadam kebakaran’ belaka. Kebijakan yang diambil lebih banyak reaksioner ketimbang jangka panjang. Padahal, masalah lingkungan adalah masalah jangka panjang yang menyangkut masa depan banyak orang.
Para elit politik umumnya baru akan bersikap, ketika terjadi suatu bencana besar. Jika banjir atau longsor sudah tiba, baru para elit tersebut mengemukakan berbagai masalah yang menjadi penyebab bencana. Baru saat itulah mereka menyadari pentingnya memasukkan agenda lingkungan pada program pemerintahan mereka.
Komitmen Lingkungan Jokowi
Jika menarik jauh ke belakang, pada saat kampanye, permasalahan lingkungan tidak disebut spesifik dalam Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla. Meski begitu, sembilan agenda prioritas ini bersifat umum sehingga masih dapat diturunkan menjadi beberapa agenda lain termasuk agenda lingkungan.
Komitmen pemerintah Jokowi terhadap masalah lingkungan dan sumber daya alam (SDA) disebutkan dalam Konferensi Nasional Lingkungan Hidup dan SDA. Pada kesempatan tersebut, Anies Baswedan sebagai Deputi Tim Transisi Jokowi-JK membacakan Komitmen Politik Jokowi terhadap Lingkungan.
Ada sejumlah poin yang menjadi komitmen pemerintahan Jokowi dalam isu lingkungan dan SDA di Indonesia. Namun strategi utamanya adalah melakukan perbaikan tata kelola sumber daya dan lingkungan, pemulihan sumber daya alam dan lingkungan, penegakan hukum tanpa kompromi, serta memperkuat organisasi lingkungan hidup.
Banjir bandang di Garut karena rusaknya alam. Tindak tegas pelaku perusakan lingkungan -Jkw pic.twitter.com/R9P05qUjJ6
— Joko Widodo (@jokowi) September 29, 2016
Berkaitan dengan agraria, pemerintahan Jokowi juga memberikan beberapa poin komitmen, antara lain melakukan peninjauan izin, melalui sistem satu peta yang terintegrasi. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan reformasi agraria, termasuk menyelesaikan konflik-konfliknya. Selain itu, tata ruang wilayah pun akan mengalami perbaikan.
Selain itu, pemerintah berjanji akan melakukan pemulihan pencemaran hutan dan kawasan kritis lainnya. Pemulihan daerah sungai juga menjadi perhatian, termasuk niat Pemerintah untuk melindungi hutan lama, lahan gambut, dan pesisir.
Dalam implementasinya, warga akan ikut dilibatkan sebagai bagian dari komitmen lingkungan dan Jokowi berjanji akan memperbaiki kanal aspirasi warga dalam isu lingkungan. Termasuk ditingkatkannya kesigapan dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana ekologis, baik di dalam maupun luar negeri. Termasuk akan terlibat aktif dalam diplomasi internasional yang menyangkut perubahan iklim.
Politik Lingkungan Era Jokowi
Sebagaimana presiden-presiden sebelumnya, pemerintahan Jokowi juga tidak kebal dari terpaan bencana ekologis. Berbagai bencana dari banjir, longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla), mewarnai tiga tahun pemerintahan Jokowi.
Di antara bencana-bencana tersebut, salah satu yang paling menarik perhatian adalah bencana karhutla di Sumatera pada 2015. Krisis ini melahap lahan hingga lebih dari 2000 hektar di Sumatera. Kabut asap akibat bencana ini begitu parah, bahkan hingga merambah ke negara tetangga. Kerugian dari bencana ini disinyalir mencapai Rp 200 triliun.
Jika dilihat dari kebijakannya, pemerintah telah berupaya untuk menyelesaikan berbagai masalah lingkungan. Salah satunya dengan berupaya memberi hukuman berat bagi perusahaan yang menyebabkan karhutla tersebut. Sayang, upaya tersebut kandas setelah hakim Parlas Nababan justru memenangkan perusahaan yang diduga sebagai pelaku pembakaran lahan.
Selain kebijakan tersebut, ada terobosan lain yang dilaksanakan pemerintahan Jokowi. Pada tahun 2016, Jokowi meresmikan Badan Restorasi Gambut (BRG). Badan ini disebut sebagai jawaban dari persoalan kebakaran lahan gambut, seperti yang terjadi di tahun 2015.
Sejumlah kebijakan juga diberlakukan agar lingkungan tetap terjaga. Misalnya, Pemerintah melakukan perpanjangan moratorium perizinan pada hutan primer dan gambut. Penataan dan re-orientasi konsesi juga telah dilakukan pemerintahan ini.
Sejalan dengan komitmennya, pemerintah juga telah meratifikasi Paris Agreement tentang perubahan iklim. Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah terlebih dahulu meresmikan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) pada tahun 2015.
Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris pada tanggal 31 Oktober 2016 dan mengirimkan NDC pertama pada tanggal 6 November 2016
— Kementerian LHK (@KementerianLHK) November 17, 2016
Meski memiliki sejumlah terobosan, ada berbagai catatan bagi politik lingkungan di era Jokowi. Salah satu yang paling utama adalah dalam hal penerbitan izin tambang. Sebanyak 11.142 ijin usaha tambang telah diterbitkan pemerintah dalam tiga tahun terakhir. Menurut Jatam, izin tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Pemerintah mengalami berbagai tantangan dari korporasi yang ingin meraup untung dari aktivitas bisnisnya. Ironisnya, banyak kepala daerah atau pejabat lain yang seolah membantu keinginan korporasi tersebut. Kondisi ini dapat dilihat pada kasus Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan Gambut.
Diduga, ada upaya dari korporasi agar PP tersebut dicabut. Ada indikasi pejabat di bawah Jokowi cenderung berpihak pada kepentingan investasi. Begitu pun dengan Surat Menteri Perindustrian No.150/M-IND/3/2017 yang mendesak Presiden Jokowi untuk merevisi PP 57. Surat serupa juga terlihat dari Surat Gubernur Kalimantan Barat No. 522/1345/Dishut-IV/2017.
Geliat pemerintahan Jokowi untuk mendorong pembangunan infrastruktur, memang sangat berpotensi membahayakan lingkungan hidup. Banyak pihak menyebut pemerintahan saat ini masih mengadopsi pola pikir lama dalam membangun infrastruktur, yaitu melalui eksploitasi sebesar-besarnya.
Salah satu yang paling dikhawatirkan oleh aktivis lingkungan adalah pembangunan PLTU yang menggunakan batu bara dalam proyek listrik 35.000 MW. Infrastruktur listrik ini cenderung mudah untuk memenuhi kebutuhan industri. Akan tetapi, sumber energi batu bara tergolong berbahaya karena menimbulkan limbah bagi masyarakat.
DKI Jakarta adalah ibukota yang dikelilingi PLTU Batubara terbanyak di dunia dalam radius 100km. Ini memperburuk kualitas udara kita pic.twitter.com/k2nMs9FCOE
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) October 24, 2017
Melihat komitmennya dalam melakukan reforma agraria, kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi justru melanggar janji kampanyenya sendiri. Sepanjang pembangunan berbagai proyek bandara dan jalan tol, ada banyak konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah.
Kasus yang terjadi di Majalengka atau Kulonprogo misalnya, adalah bukti dari janji lingkungan Jokowi di bidang agraria yang masih sulit diwujudkan. Hal ini dikarenakan prioritas utama Jokowi adalah pembangunan infrastruktur.
Melihat kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi memang ingin melirik isu lingkungan. Meski begitu, politik lingkungan tetap bukan prioritas dari pemerintahannya. Atas nama investasi dan pembangunan, persoalan dan janji soal lingkungan kerap dikesampingkan.
Idealnya, pemerintah seharusnya mulai meningkatkan prioritas politik lingkungan. Sama halnya dengan infrastruktur, lingkungan juga merupakan investasi jangka panjang. Jangan sampai akselerasi pembangunan infrastruktur justru berbuah bencana ekologis di masa depan. (Berbagai sumber/H33)