Belakangan ini ketidakpastian politik antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) terlihat semakin kentara. Tidak dipungkiri AS terlihat semakin berani menunjukkan kegarangannya pada Negeri Tirai Bambu. Pertanyaan menariknya kemudian adalah, akankah ini mempengaruhi Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) Indonesia?
Dinamika gontok-gontokan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok semakin hari tampak semakin panas.
Mulai dari pembentukan aliansi Australia, Inggris, AS (AUKUS), kontroversi kunjungan eks-Ketua DPR AS, Nancy Pelosi ke Taiwan pada Agustus 2022, penembakan balon udara Tiongkok, hingga rencana penguatan kepentingan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Asia, semuanya seakan menunjukkan bahwa hubungan kedua negara raksasa ini sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
Satu berita menarik terkait ini yang kemudian agak luput dibahas publik adalah rencana mengejutkan AS menggunakan empat pangkalan militer baru di Filipina. Berdasarkan kesepakatan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) pada tahun 2014, militer AS punya akses ke lima pangkalan militer Filipina. Tapi,kesepakatan itu diperluas menjadi sembilan pangkalan militer.
Secara garis besarnya, rencana ini dipandang perlu dilaksanakan karena AS memerlukan posisi militer strategis yang bisa memberikan efek takut (deterrent effect) pada Tiongkok atas cawe-cawenya Laut China Selatan (LCS), sekaligus memperkuat potensi militer mereka ke Taiwan, yang posisinya tidak jauh dari Filipina.
Walau kita tidak akan bisa pernah tahu secara pasti apakah perkembangan-perkembangan semacam ini akan berujung pada konflik terbuka, setidaknya seluruh negara yang tinggal di Asia Pasifik tetap patut merasa was-was dan perlu bersiap menjaga kepentingannya.
Menarik untuk kemudian kita coba tarik dinamika ini ke persoalan politik domestik. Seperti yang diketahui, negara kita sebentar lagi akan melaksanakan Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Dan di dunia yang semakin terkoneksi ini, hasil akhir event politik suatu negara sudah dipastikan akan berdampak pada permainan politik besar (great power politics) yang sedang dikonstruksikan di kawasan negara tersebut
Oleh karena itu, siapa pun presiden terpilih nanti, besar kemungkinannya para negara besar pun akan menyoroti gaya kebijakan seperti apa yang akan diterapkannya di Indonesia, apakah ia akan lebih condong ke Tiongkok, atau AS, misalnya.
Lantas, bagaimana kita perlu merefleksikan dampak kemenangan presiden Indonesia yang baru nantinya terhadap persaingan politik para negara besar di kawasan kita?
Harus Lebih Waspada Pada AS?
Seperti yang disebutkan di bagian awal tulisan ini, kita memang tidak akan tahu pasti apakah gertakan-gertakan politik dan militer yang ditunjukkan AS adalah indikasi bahwa persaingannya dengan Tiongkok akan mencapai tahap baru. Akan tetapi, kita sekiranya bisa sedikit mendapatkan jawaban dengan memahami doktrin politik yang kerap jadi orientasi politik luar negeri AS dalam memperlakukan negara-negara lain di dunia. Doktrin tersebut adalah Doktrin Monroe.
Doktrin yang dicetuskan oleh mantan Presiden AS, James Monroe tersebut awalnya digunakan untuk menangkal gerakan kolonialisme Eropa. Monroe melihat bahwa AS tidak bisa hanya bertindak defensif, tapi juga perlu melakukan tindakan-tindakan preventif terhadap potensi masalah yang ada agar tidak memunculkan masalah yang lebih serius ke depannya bagi Negeri Paman Sam.
Pandangan ini kemudian diadopsi hingga sekarang oleh AS untuk menjustifikasi sejumlah agendanya ketika mereka merasa perlu melakukan aksi preventif pada negara-negara lain di dunia. Salah satu bukti dari hal ini adalah upaya AS dalam menghalau semakin banyaknya negara komunis ketika Perang Dingin. Saat itu, AS bahkan sampai rela mengirimkan pasukannya ke Vietnam dan berbagai negara lain demi meredam pengaruh Soviet yang semakin meluas.
Negara kita pun mungkin sebenarnya pernah menjadi korban dari doktrin ini, khususnya terkait rahasia umum bahwa ada campur tangan AS dalam momentum-momentum penting transisi politik Indonesia, utamanya ketika kehancuran Orde Lama.
Nah, kalau memang benar bahwa sikap AS yang semakin “berduri” pada Tiongkok merupakan salah satu terapan dari politik luar negeri ala Doktrin Monroe, maka mungkin bisa kita simpulkan bahwa AS sebenarnya mulai melihat Tiongkok sebagai potensi ancaman nyata.
Catatan pentingnya, sebagai negara yang perannya cukup vital di wilayah Asia-Pasifik, Indonesia pun sepertinya perlu semakin berhati-hati dalam menunjukkan gestur politiknya pada Negeri Paman Sam. Bisa jadi, ini adalah momen di mana AS akan sangat sensitif bila ada negara yang menunjukkan keberpihakannya pada Tiongkok.
Dalam konteks Pilpres 2024, bila nantinya presiden yang menang adalah orang yang cenderung lebih condong ke Tiongkok, bukan tidak mungkin AS akan merasa perlu melakukan sesuatu agar Indonesia tidak sepenuhnya jatuh pada pangkuan Xi Jinping. Kembali pada Doktrin Monroe, hal ini bisa saja dibenarkan karena Indonesia akan ikut dipandang sebagai potensi ketidakstabilan hegemoni AS di Asia-Pasifik.
Ishan Tharoor dalam tulisannya The long history of the U.S. interfering with elections elsewhere, menyebutkan bahwa sesuai catatan sejarah, AS cenderung tidak akan ragu-ragu dalam menginfiltrasikan kepentingan politknya dalam negara lain. Macam-macam cara bisa dilakukan demi mengarahkan arah politik suatu negara agar bisa mendukung kepentingan mereka, mulai dari hal yang relatif tidak berbahaya seperti konstruksi opini publik, sampai hal yang cukup ekstrem yakni dukungan pada kelompok tertentu untuk melakukan kudeta.
Dari sini, sebagai bahan renungan dalam menyambut Pilpres 2024, mungkin ada baiknya bila presiden yang terpilih nanti adalah sosok yang lebih bisa diterima oleh AS. Hal ini berpotensi semakin nyata bila Donald Trump kembali terpilih menjadi presiden tahun 2024 nanti, mengingat Trump adalah salah satu politisi AS yang berani bertindak keras pada Tiongkok.
Lantas, dari nama-nama capres populer yang ada sekarang, siapa kira-kira yang paling cocok?
Asal Bukan PDIP?
Dari partai-partai besar lain di Indonesia, PDIP mungkin bisa dikatakan adalah salah satu yang memiliki hubungan paling dekat dengan Tiongkok.
Dikutip dari laman Tirto, kedekatan antara PDIP dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) setidaknya bisa dilacak ke tahun 2011, kala itu sejumlah pengurus PKT datang ke Kantor DPP PDIP di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kunjungan ini dalam rangka kerja sama antarpartai sekaligus agar hubungan Tiongkok dan Indonesia lebih erat. Dalam beberapa tahun mendatang, kedua partai tersebut bahkan diketahui saling mengirim kadernya untuk belajar dan mempererat hubungan.
Di sisi lain, meskipun Partai Gerindra sempat juga disebut memiliki hubungan dekat dengan PKT, citra capres andalannya, Prabowo Subianto kini lebih terlihat memiliki hubungan yang lebih kental dengan AS.
Sebagai contoh, selama menjabat Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo telah membangun serangkaian kerja sama dan latihan militer konkret hingga pemenuhan dan rencana pemenuhan alutsista bersama AS. Padahal, Prabowo sebenarnya selalu memiliki pilihan untuk membeli alutsista dari mitra lama pertahanan Indonesia, Rusia.
Kedekatan dengan Barat juga ditunjukkan oleh capres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan. Pada Februari tahun ini misalnya, AS tiba-tiba mengirim Duta Besarnya, Sung Yong Kim, ke kantor DPP PKS. Pakar Politik dari American Global University, Jerry Massie berpendapat bahwa kunjungan ini sebenarnya adalah sinyal bahwa AS menyukai wacana Anies sebagai presiden, mengingat PKS adalah salah satu partai pertama yang mengusungnya sebagai capres.
Nah, kalau memang dugaan bahwa sikap AS kepada para negara pendukung Tiongkok akan semakin keras ini benar, maka mungkin Anies atau Prabowo menjadi pilihan yang lebih aman dibanding Ganjar.
Tapi pada akhirnya semua ini hanyalah asumsi semata. Bagaimanapun juga pengaruh ataupun intervensi asing yang dapat memanipulasi takdir politik suatu negara adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Semoga saja permainan great power politics ini tidak sekelam yang kita bayangkan. (D74)