Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD belakangan jadi kartu liar dalam bursa bakal calon wakil presiden (bacawapres) untuk 2024. Citranya sebagai menteri pemberani yang anti-korupsi membuatnya mendapat banyak dukungan publik. Tapi, apakah Mahfud memang perlu menjadi cawapres untuk bisa berperan lebih besar bagi negara?
Rasanya tidak terlalu imajinatif kalau kita mengatakan bahwa saat ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, telah menjadi salah satu bakal calon wakil presiden (bacawapres) yang paling menarik untuk Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti.
Ini bisa dibuktikan melalui hasil survei Charta Politika pada Juni lalu, yang menunjukkan bahwa elektabilitas Mahfud ternyata sempat mengalahkan bacawapres lainnya, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Erick Thohir, dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Well, tidak heran kalau banyak orang yang mengharapkan Mahfud menjadi cawapres pada 2024 nanti, karena semenjak dirinya menjadi “garda terdepan” dalam upaya menguak dugaan korupsi fantastis di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Mahfud berhasil mendapatkan kembali “sedikit” kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi. Ditambah dengan sosoknya yang kerap dicitrakan sebagai pejabat yang sederhana, wajar saja bila banyak orang yang mulai jatuh cinta padanya.
Namun, ada satu hal menarik tentang pembahasan soal Mahfud di media-media sosial. Taruh-lah di beberapa post akun Instagram @pinterpolitik tentang dirinya, misalnya, tidak sedikit warganet yang justru berpendapat bahwa meskipun Mahfud adalah sosok pejabat yang baik, ia seharusnya tidak maju dalam kontestasi politik di Pilpres 2024. Hal ini karena sebagian dari mereka takut permainan kotor dalam politik akan merusak Mahfud, politik akan membuatnya tidak lagi menjadi pejabat yang “jujur” dan “straightforward”, katanya.
Jujur saja, pesimisme yang diungkapkan orang-orang tadi merepresentasikan sebuah keresahan umum bahwa politik selalu memiliki kemampuan untuk merubah seseorang yang tadinya bersifat baik, menjadi jahat. Tapi, pernah-kah kalian bertanya-tanya, sebenarnya apakah ada penjelasan saintifik yang bisa menjelaskan anggapan yang demikian?
Dan mungkinkah sosok seperti Mahfud akan “ternodai” bila ikut terjun dalam kontestasi 2024 nanti?
Bagaikan Malaikat yang Jatuh
Sebelum kita bahas lebih lanjut, ada sebuah kisah menarik yang bisa menjawab pertanyaan besar kita tentang kenapa politik kerap dipandang bisa membuat seseorang menjadi “jahat”.
Pada tahun 1971, seorang profesor psikologi bernama Philip Zimbardo memimpin serangkaian eksperimen psikologi yang di Universitas Stanford, Amerika Serikat (AS). Bertajuk Eksperimen Penjara Stanford, Zimbardo bersama timnya membuat sebuah simulasi penjara di mana mereka merekrut 18 orang relawan yang stabil secara emosional untuk berbagi peran sebagai “penjaga penjara” dan “tahanan”, lalu ditaruh di lingkungan yang menyerupai sebuah penjara.
Tujuan penelitian itu adalah untuk meneliti keterkaitan antara pengaruh kekuatan faktor situasional dan pengaruh sosial, pada perilaku manusia, melalui sebuah skenario. Para penjaga penjara kemudian diberikan instruksi yang spesifik. Mereka diminta untuk “men-dehumanisasi” para tahanan, dan juga diperintahkan untuk mencegah para tahanan melarikan diri.
Dan ternyata, dari penelitian itu, Zimbardo berhasil memastikan bahwa dalam keadaan tertentu, perilaku manusia yang awalnya terlihat “normal” dan stabil dapat berubah secara drastis, dan bahkan mampu melakukan tindakan yang tidak bermoral dan berbahaya. Hal itu karena setelah enam hari eksperimen tersebut dilakukan, para penjaga penjara yang awalnya diketahui memiliki catatan psikologis stabil melakukan penyiksaan yang begitu keji pada para tahanan, sehingga akhirnya eksperimen tersebut terpaksa dihentikan.
Fenomena psikologis tersebut kemudian diberi nama “The Lucifer Effect” oleh Zimbardo, nama yang diambil berdasarkan kisah malaikat bernama Lucifer yang jatuh dari Surga untuk kemudian mengambil peran sebagai Setan, perwujudan dari kejahatan itu sendiri. Cerita Lucifer tersebut dikaitkan dengan kesimpulan eksperimen Zimbardo, bahwa manusia dapat beralih dari individu yang tadinya bermoral, menjadi jahat dan brutal, jika dihadapkan pada tekanan dalam keadaan kelompok tertentu.
Menariknya, setelah catatan-catatan penelitian tersebut diungkap Zimbardo pada tahun 2008, sejumlah peneliti politik mulai mengaitkannya dengan realita politik. Rose McDermott, misalnya, seorang ilmuwan politik yang pernah mengajar di Universitas Harvard, menilai bahwa penelitian Zimbardo ini akhirnya bisa mengungkap alasan di balik mitos politik terbesar, yakni kenapa politik bisa merusak moralitas seseorang.
Kalau dikaitkan, sejak dari awal munculnya pun politik adalah sesuatu yang selalu berkaitan dengan manajemen kekuasaan. Akibatnya, segala benturan yang terjadi dalam ruang politik pasti juga akan bersinggungan dengan bagaimana satu kubu bisa memenangkan dan mempertahankan kekuasaannya atas para kompetitornya. Situasi yang seperti itu lantas membuat lingkungan politik sebagai lingkungan yang begitu kompetitif.
Belum lagi bila politisi tersebut senantiasa mendapat tekanan dari beberapa pihak, seperti keinginan partainya, atau pendonor kampanyenya, misalnya. Situasi seperti ini memerlukan kelihaian yang khusus agar politisi itu tidak bisa diperalat oleh orang-orang yang menganggap dirinya lebih berkuasa darinya
Tentunya, dalam lingkungan yang seperti itu hanya orang-orang yang “kuat” saja yang akan bisa bertahan, bukan?
Ekosistem seperti inilah yang menurut Rose membuat politik hanya akan cocok bagi orang-orang yang tahu bagaimana caranya “berbuat licik” dan sadis terhadap para potensi ancaman kekuasaannya. Kalaupun ada politisi yang jujur dan baik hati memenangkan suatu pemilu, bila mempertahankan sifatnya yang seperti itu, ia bisa dipastikan tidak akan bertahan lama dalam kepemimpinannya.
Nah,oleh karena itu, bisa kita katakan bahwa sebetulnya ada benarnya bila ada orang yang berpandangan ingin menahan orang yang “baik” agar tidak terjun dalam politik. Wajar juga bila ada orang baik yang mengurungkan niatnya untuk tidak terjun secara langsung dalam kompetisi politik. Karena bisa jadi, ia sadar akan hal-hal ini dan tidak ingin merubah dirinya menjadi seseorang yang “kejam” dan “brutal” demi politik.
Lantas, bagaimana kita merefleksikan pandangan ini pada Mahfud?
Mungkin Sebaiknya Tidak Usah?
Sebagian dari kalian mungkin pernah melihat satu serial terkenal bernama Breaking Bad. Yap, di serial itu, sosok protagonis (atau antagonis?) utama, Walter White, awalnya digambarkan sebagai seorang pengajar yang begitu kaku dan sangat takut berkonfrontasi dengan orang lain. Tapi, karena tuntutan “pekerjaannya” sebagai pembuat methamphetamin membutuhkan seseorang yang berkarakter licik sekaligus kuat, Walter akhirnya menjadi seorang pengedar yang berani membunuh orang.
Yap, kisah Walter White di Breaking Bad kerap dijadikan sebagai contoh paling mudah dipahami tentang dampak buruk The Lucifer Effect, sejumlah psikolog pun mengamini bahwa apa yang terjadi pada Walter di serial tersebut bisa berlaku juga bagi semua orang yang berada di kondisi yang sama.
Oleh karena itu, belajar dari fenomena Lucifer ini, bila Mahfud memang adalah seorang tokoh yang jujur, anti-korupsi, dan “baik”, mungkin ada baiknya ia tidak maju sebagai cawapres. Karena seperti kata novelis di dalam politik tidak ada yang namanya hitam dan putih, melainkan semuanya akan bersifat “abu-abu”.
Ini artinya, kalaupun Mahfud masih bisa mempertahankan sifatnya sebagai politisi yang jujur, pasti akan ada momennya ia pun dituntut untuk menyampurkan sedikit aksi yang sifatnya “abu-abu” agar suatu permasalahan bisa ditangani, baik itu masalah hukum, ekonomi, atau politik. Kalau seseorang sudah terbiasa melakukan hal seperti itu, maka kembali lagi ke persoalan The Lucifer Effect, bisa saja sosok seperti Mahfud akhirnya melumrahkan tindakan-tindakan yang bersifat kotor.
Dengan demikian, meskipun gagasan Mahfud sebagai seorang cawapres untuk Pilpres 2024 adalah hal yang cukup menarik. Bisa dibilang, kalau kita tetap ingin memiliki sosok politisi yang anti-korupsi dan vokal terhadap isu korupsi seperti Mahfud, mungkin akan lebih baik bila pada 2024 ia tetap memegang jabatan seperti menteri koordinator, atau jabatan yang memiliki kekuatan hukum, bahkan mungkin seperti jaksa.
Tapi tentu, semua pembahasan ini hanyalah interpretasi belaka, bahwa di balik fenomena politik yang bisa membuat seseorang menjadi jahat, ada sebuah perenungan besar yang bisa kita ambil untuk menelaah nasib politik seperti apa yang menunggu Mahfud pada 2024 bila ia akhirnya memilih menjadi seorang cawapres.
Yang jelas, bagaimanapun nantinya, kita tetap perlu sosok-sosok kuat di balik budaya politik praktis yang sekarang merajalela. (D74)