Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru.
PinterPolitik.com
[dropcap]G[/dropcap]elaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan terasa. Di tengah gempita tersebut, CNN menurunkan laporan jika golongan putih (golput) ternyata masih menghantui dan belum benar-benar punah dalam gelaran Pilkada 2018.
Pemberitaan yang tampil di CNN memang belum menampilkan data dan angka yang pasti dalam menyebut aktivitas golput. Hal tersebut wajar sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau lembaga sejenis belum mengeluarkan laporan Pilkada 2018.
Namun bila hendak menelisik sendiri, partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilkada di beberapa daerah, terutama daerah dengan populasi penduduk terbanyak, mengalami peningkatan. Provinsi Jawa Barat yang menduduki kursi populasi terpadat di Indonesia mengalami peningkatan angka partisipasi politik dari yang hanya sebesar 63 persen di tahun 2013, sekarang bertengger di angka 73 persen.
Daerah Jawa Timur yang menempati daerah terpadat kedua di Indonesia, mengalami kenaikan dari angka 59,80 persen di tahun 2013, menjadi 62 persen di Pilkada 2018. Provinsi Jawa Tengah, yang hanya berkisar di angka 63 persen, kini melonjak di angka 77 persen. Dan Sumatera Utara, sebagai provinsi terpadat keempat di Indonesia juga mengalami peningkatan partisipasi di bawah 50 persen, lalu pada Pilkada tahun ini bergerak di angka 64,90 persen.
Berangkat dari sana, apakah benar golput akan selalu menjadi pilihan buruk? Apakah kenaikan angka partisipasi politik ini tak ada hubungannya sama sekali dengan keberadaan golput?
Golput, Dulu dan Kini
Pelawak asal Amerika Serikat (AS), Kin Hubbard, pernah berkata, “saya ingin memilih orang terbaik untuk menjadi pemimpin, sayangnya mereka semua bukanlah kandidat yang ada saat ini.”
Celoteh Hubbard bisa sejalan dengan kelompok yang melakukan golput, yakni kelompok atau individu yang tidak menggunakan hak pilih politiknya untuk memilih kandidat yang ada atas alasan tertentu. Karena enggan memakai haknya, kelompok golput seringkali dicap sebagai kelompok atau individu apatis, anti demokrasi, bahkan tak peduli dengan negara. Dalam beberapa kesempatan, bahkan kata golput juga menjadi momok tersendiri bagi pemerintah atau politisi sebab mampu mempengaruhi perolehan suara kandidat yang bertanding.
Dalam teori protest voting, gerakan golput tidak mengindahkan kandidat yang ada, walau nyatanya berpotensi sekalipun, guna mengirim sinyal protes kepada pemerintah dan harapan mendapatkan kandidat yang lebih baik.
Peyorasi yang berputar di kata “golput” makin mereduksi gerakan politik yang bisa dikatakan signifikan dan berani di masa Orde Baru. Gerakan golput ideologis yang dilakukan di tahun 1990-an dan digawangi oleh Arief Budiman, menjadi gerakan moral bagi rakyat Indonesia untuk menggunakan hak dan keyakinannya untuk tidak memilih siapapun. Golput saat itu juga menjadi kritik terhadap Orde Baru, karena dengan atau tanpa adanya Pemilu, kekuatan yang akan menang adalah TNI dan ABRI.
Gerakan golput ideologis dengan tujuan mengkritik rezim juga terjadi di Malaysia baru-baru ini. Pada masa Pemilu Raya yang mempertemukan Mahathir Mohamad dan Najib Razak, sekelompok pemuda Malaysia muncul dengan tagar #UndiRosak mempromosikan gerakan golput alias tidak memilih Najib Razak maupun Mahathir Mohamad.
Gerakan golputnya juga tidak dilakukan dengan meninggalkan tempat pencoblosan, namun juga merusak kertas suaranya, sesuai bunyi tagar #UndiRosak yang berarti rusak kertas undi. Hal tersebut dilakukan supaya partai politik tidak memanfaatkan kertas suara yang kosong tersebut. Gerakan ini juga diiniasi oleh para anak muda yang pernah berkecimpung di Barisan Nasional dan Pakatan Harapan, ikatan koalisi pemerintah.
Mereka mengaku lelah karena belum juga bisa memperbaiki sistem di dalamnya walau sudah bergabung dengan Barisan Nasional maupun Pakatan Harapan. “Terdapat defisit demokrasi, kami meninggalkan BN-PH sejujurnya karena ini semakin melelahkan,” ujar Maryam Lee, salah satu aktifis #UndiRosak.
Di Italia, bahkan gerakan golput mampu menjadi mesin politik baru, yakni partai politik Five Star Movement (M5S) yang berdiri di tahun 2009. Partai yang penuh kontroversi ini, karena didirikan oleh seorang komedian bernama Beppe Grillo, mengusung ideologi anti-establishment atau anti pemerintah. Kini setelah hampir satu dekade berdiri, para politisinya terus bergerak menyebarkan nilai populisme.
Melihat dari contoh-contoh yang ada, gerakan golput sulit untuk dikatakan sebagai sebuah ekspresi apatis, tak paham politik, apalagi anti-demokrasi. Arief Budiman dan kelompok #UndiRosak di Malaysia yang menggalakan gerakan golput, malah memperlihatkan kesadaran dan pemahaman politik serta keadaan negaranya.
Golput dipilih sebagai jalan menandingi rezim otoriter atau yang sedang memegang tampuk kekuasaan, karena itulah ekspresi protes yang paling dekat dilakukan. Dengan cara demikian pula, kelompok golput ini berusaha mengembalikan kembali makna demokrasi yang sesungguhnya. Bagaimana pula, golput juga merupakan bentuk sikap politik dan dilindungi oleh HAM.
Pilihan golput juga tidak otomatis membuat suatu kelompok atau individu, tak berhak mengkritik pemerintah, sebab kontrak politik rakyat berada di konstitusi, bukan berada di kertas suara.
Hal ini mengingatkan pada perkataan Horst Kahrs, peneliti Jerman sekaligus konsultan Rosa Luxemburg Foundation, bahwa golput secara sosial dan politik memiliki intensi, motif, dan preferensi politik yang heterogen nan beragam. Golput merupakan taktik ampuh yang dipegang oleh rakyat kebanyakan.
Dengan demikian, dari contoh dipaparkan, setidaknya ada gambaran lebih terang soal golput ideologis yang memang berangkat dari ketiadaan aspirasi atau ideologi yang tak terwakili oleh kandidat yang ada. Jenis golput inilah yang akhirnya menumbuhkan gerakan kritik dan “lawan” dari pemerintah yang sedang berkuasa seperti yang terjadi di Italia.
Kini Mulai Berbalik Arah
Partisipasi politik rakyat tentu saja tak hanya bisa diekspresikan dengan pencoblosan di bilik pemilihan. Mengawal pemerintahan yang sedang berjalan, mengadvokasi rakyat, hingga menciptakan pemilih yang cerdas, bisa pula dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik.
Bila melihat kembali maknanya, apakah di masa pasca Reformasi ini, golput menyumbang nilai-nilai tertentu?
Golput yang terjadi di masa Orde Baru memang lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis saat itu. Kini fenomena tersebut tentu berubah pasca Reformasi.
Angka Golput memang sempat naik di tahun 2009. Hal ini membuat pemerintah dan lembaga pemilihan gencar melakukan berbagai cara guna mengurangi angka golput dan menaikkan angka partisipasi politik yang ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Bismar Arianto, mengklasifikasikan adanya faktor internal dan eksternal golput. Faktor internal lebih disebabkan oleh persoalan teknis, seperti tidak menggunakan hak pilih karena sedang bekerja atau sakit. Sementara faktor eksternal terjadi karena persoalan seperti masalah administrasi, sosialisasi, dan sikap politik.
Dalam konteks ini, pemilih bisa saja tidak memilih karena terkendala administrasi. Atau karena faktor sosialisasi yang tidak merata sehingga pemilih merasa tidak perlu menggunakan hak pilihnya.
Menghadapi konteks internal dan eksternal, saat ini pemerintah mulai membenahi dan mengubah mekanisme pemilu. Bila berkaca pada Pilkada lalu, Presiden Jokowi menetapkan hari pencoblosan sebagai hari libur nasional guna mengurangi hambatan faktor internal. Serta sosialisasi yang gencar dilakukan jauh-jauh hari sehingga masyarakat mengetahui pelaksanaan Pilkada.
Golput bagaimana pula berkontribusi memaksa pemerintah untuk menyelenggarakan pemilihan dengan sistem dan mekanisme yang jauh lebih baik. Hal ini sejalan pula dengan teori perubahan paradigma alias paradigm shift yang berbicara tentang perubahan pola terdahulu yang berubah karena adanya sebuah momentum. Baik karena adanya tokoh tertentu maupun perbaikan mekanisme.
Momentum yang berbeda ini ditandai dengan partisipasi publik yang meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dengan demikian, golput tak perlu lagi disamaratakan dengan sikap apatis apalagi ekspresi alienasi terhadap politik dan negara. Tentu, tidak bila jenis golput yang diyakini adalah golput ideologis. Sebab, dengan adanya kesadaran golput itu pula, ternyata harapan politik baru ikut muncul. (A27)