Ketika berbagai pihak mengkritik pemerintah, kita kerap mendengar jawaban, “pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin.” Ada pula penegasan moral, “tidak mungkin pemerintah tidak memikirkan rakyatnya.” Apakah jawaban-jawaban semacam itu dapat diterima?
“Politics have no relation to morals.” – Niccolò Machiavelli, penulis buku Il Principe
Ada cerita menarik dari sebuah kecelakaan pesawat di Amerika Latin. Ketika tengah menggarap ladangnya, Miguel, petani setempat mendengar ledakan keras yang membuatnya refleks mencari sumber suara. Setelah menelusuri perbukitan selama 30 menit, Miguel menemukan sebuah pesawat dengan keadaan pecah dan sudah terbakar.
Ia pun berinisiatif mengubur para korban di perbukitan tersebut. Selang beberapa jam, aparat kepolisian datang. Ternyata pesawat tersebut berisi rombongan politisi penting negara. Miguel ditanya, “di mana mayat para korban?”
“Sudah aku kubur semuanya,” jawab Miguel. “Apakah semua korban meninggal dunia?” timpal seorang aparat berseragam.
“Tidak juga, ada beberapa yang mengaku masih hidup. Tapi mereka politisi, kita tahu mereka kerap berbohong bukan?” jawab Miguel.
Cerita tersebut penulis baca dari sebuah halaman Facebook sekitar dua minggu yang lalu. Meskipun merupakan cerita fiksi, cerita semacam ini dapat dipahami sebagai keresahan berbagai pihak atas lumrahnya politisi melakukan kebohongan.
Tidak hanya pada saat melakukan kampanye, setelah menjabat pun kebohongan semacam itu kerap kita dengar. Pada bulan Juni kemarin, misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) sampai mengeluarkan meme kritik dengan tajuk Jokowi: The King of Lip Service.
Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?
Ada empat pernyataan RI-1 yang dinilai kontras dengan tindakan yang ada. Dua di antaranya adalah keinginan memperkuat KPK yang justru berakhir pada indikasi pelemahan, dan pernyataan dipersilahkannya Omnibus Law digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) begitu kontras dengan pernyataan agar MK menolak semua gugatan terhadap UU Cipta Kerja.
Akan tetapi, kendati banyak pernyataan yang dengan mudah kita deteksi kontras dengan tindakan, gelombang pembelaan terhadap kekuasaan terus saja berdatangan. Jurus utamanya adalah narasi moral, “tidak mungkin pemerintah mengabaikan masyarakatnya.”
Pertanyaannya, apakah jawaban-jawaban seperti itu dapat kita terima? Katakanlah niat baik benar-benar dimiliki, apakah itu menjustifikasi tindakan politisi?
Lihatlah Tindakannya
Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace memberikan penjelasan penting yang patut dijadikan acuan. Dalam teori realis, khususnya dalam politik internasional, terdapat dua kekeliruan yang umum dilakukan, yakni menentukan motif dan preferensi ideologis.
Menurut Morgenthau, adalah sebuah kesia-siaan dan menyesatkan apabila kita berusaha mencari motif negarawan atau politisi. Disebut sia-sia, karena motif merupakan data psikologis yang tidak baku dan begitu sulit untuk dikenali.
“Apakah kita benar-benar mengetahui motif kita sendiri?” tanya Morgenthau. Jika motif diri sendiri saja sulit kita kenali, lantas bagaimana kita mengenali motif orang lain?
Penekanan tersebut sama dengan penjabaran Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow ketika menggugat narasi free will atau kehendak bebas yang selama ini diagungkan peradaban manusia. Untuk menyebutkan manusia bahkan tidak mengetahui keinginannya sendiri, Harari memaparkan berbagai temuan studi psikologi.
Satu di antaranya adalah studi peraih Hadiah Nobel di bidang psikologi dan kedokteran, Profesor Roger Wolcott Sperry dan muridnya, Profesor Michal S. Gazzaniga terkait perbedaan kemampuan dua hemisfer (belahan) otak manusia. Kita kerap menyebutnya otak kanan dan otak kiri.
Dalam studi tersebut, seorang anak ditanya ingin menjadi apa ketika sudah dewasa nanti. Anak itu menjawab ingin menjadi juru gambar. Jawaban itu ternyata diberikan oleh hemisfer kiri, otak yang memainkan bagian krusial dalam penalaran logis dan bahasa. Penelitian kemudian dilanjutkan untuk mencari tahu apa yang diinginkan hemisfer kanan.
Karena hemisfer kanan tidak bisa mengendalikan bahasa lisan, para peneliti menggunakan kotak-kotak huruf Scrabble. Pertanyaan yang sama kemudian ditulis di kertas dan ditempatkan di ujung bidang visual kiri anak tersebut. Secara mengejutkan, tangan kiri anak tersebut mulai bergerak mengatur kotak-kotak huruf Scrabble untuk menulis “balap mobil”. Pertanyaannya, anak itu ingin menjadi juru gambar atau pembalap mobil?
Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi
Kembali pada Morgenthau. Menurutnya, kita tidak dapat menentukan kebijakan politik seorang politisi terpuji atau berhasil berdasarkan motif karena itu sangat menyesatkan. Selain karena argumentasi sebelumnya, melainkan juga karena motif tidak memiliki relasi kausal terhadap kebijakan yang bagus.
Morgenthau mencontohkan dua mantan Perdana Menteri Britania Raya, Neville Chamberlain dan Winston Churchill. Sejauh yang diketahui, Chamberlain dengan jelas memiliki motif yang baik dengan bersikap lunak terhadap Adolf Hitler untuk menghindari letusan Perang Dunia II.
Akan tetapi, seperti yang dicatat sejarah, langkah lunak Chamberlain justru membuat Hitler yakin untuk melakukan invasi. Sementara Churchill, meskipun motifnya tidak sebaik Chamberlain, ketegasannya dengan jelas merupakan langkah penting dalam menekan ambisi invasi Jerman Nazi.
Penjelasan Morgenthau ini memberikan arahan jelas dalam menyikapi jawaban-jawaban moral, seperti “pemerintah tidak mungkin tidak memikirkan rakyatnya”, ataupun “pemerintah pasti menginginkan kesejahteraan seluruh masyarakat”.
Ya, mungkin saja pernyataan itu benar-benar dilandasi oleh motif-motif baik. Namun motif baik tersebut baru akan mendapatkan justifikasi apabila kebijakan yang ditelurkan benar-benar berkorelasi dengan pernyataan yang ada. Singkatnya, ini bukan soal apa yang dinyatakan oleh politisi, melainkan bagaimana kebijakannya menggambarkan kata-katanya.
Siapa Machiavellian?
Selain penjelasan Morgenthau, penjabaran filsuf Jerman Hannah Arendt dalam tulisannya Truth and Politics juga penting untuk dicatat. Menurut Arendt, entah sejak kapan, politik tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengan kebenaran. Bahkan menurutnya, kebohongan selalu dianggap sebagai alat penting dan dibenarkan, tidak hanya untuk politisi dan demagog, melainkan juga sebagai keahlian seorang negarawan.
Dalam kesimpulan tulisannya, Arendt menulis, “Melihat politik dari perspektif kebenaran, seperti yang telah saya lakukan di sini, berarti mengambil sikap di luar ranah politik”.
Mengacu pada Arendt, jika benar kebohongan merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh politisi, ini jelas menguatkan hipotesis Morgenthau agar tidak menilai politisi dari pernyataannya. Melihat pernyataan politisi hanya akan membawa kita pada kebingungan karena kerap menunjukkan kontradiksi.
Baca Juga: Tidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?
Niccolò Machiavelli dalam bukunya yang terkenal Il Principe juga dengan gamblang menyebutkan, bahwa dalam kepentingan mengejar dan mempertahankan kekuasaan, kebohongan dan kejahatan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Bagi mereka yang mengikuti nasihat-nasihat dalam Il Principe, dapat menyebut diri sebagai seorang Machiavellian, atau kita sebut sebagai seorang Machiavellian. Namun pertanyaannya, jika seorang Machiavellian lumrah melakukan kebohongan, mungkinkah Machiavellian mengakui dirinya?
Penegasan ini juga dikemukakan oleh dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) Fristian Hadinata. Ungkapnya, “Machiavellian sejati tidak akan mengaku dirinya Machiavellian.”
Persoalan ini juga dapat kita pahami melalui paradoks kebohongan (liar paradox). Jika seorang pembohong mengaku tengah berbohong, apakah ia sedang berbohong? Bukankah ia sedang jujur tengah berbohong? Atau sedang berbohong mengatakan dirinya berbohong?
Jika politisi adalah apa yang digambarkan oleh Arendt dan Machiavelli, maka secara logis dan praktis, kita harus mengikuti saran Morgenthau untuk tidak menilai politisi dari pernyataannya, melainkan dari kebijakannya.
Kita dapat mengonversi hipotesis Morgenthau tersebut ke dalam salah satu bentuk silogisme hipotesis (hypothetical syllogism) yang disebut dengan modus tollens sebagai berikut:
Premis Mayor : A -> B (Jika politisi ingin menyejahterakan masyarakat, maka kebijakannya harus membuat masyarakat sejahtera)
Premis Minor : ~B (Kebijakan politisi ternyata tidak menyejahterakan masyarakat)
Konklusi : ჻ ~A (Politisi tidak ingin masyarakat sejahtera)
Well, pada akhirnya, seperti yang disebutkan Morgenthau, penegasan ini bukan dalam artian kita menolak eksistensi moralitas, melainkan untuk menghindari kekeliruan dalam menentukan kualitas kebijakan politik. Motif tidak pernah menjustifikasi kualitas kebijakan. Dampak kebijakan itu sendiri yang memperlihatkan kualitasnya. (R53)