Bukan satu kali saja Jokowi tertangkap kamera berbagi kasih sayang dengan cucunya.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]pel Akbar Santri Nusantara beberapa waktu menyisakan sejumlah cerita menarik. Acara saat itu memang tentang Presiden Joko Widodo dan para santri. Akan tetapi, netizen justru mengambil fokus pada hal yang lain. Kehadiran cucu pertama Jokowi, Jan Ethes Srinarendra justru menjadi obrolan utama para pengguna internet.
Putra pertama dari Gibran Rakabuming Raka tersebut bahkan sempat menjadi trending topic di media sosial Twitter. Begitu ramainya pembicaraan tentang Jan Ethes, membuat putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep sampai terlihat iri karena tidak mendapat perhatian sebanyak keponakannya itu.
Selain di gelaran tersebut, bukan satu kali saja Jokowi menunjukkan kedekatannya dengan sang cucu di mata publik. Pada pembukaan Asian Para Games beberapa waktu lalu misalnya, sang cucu juga menjadi sorotan netizen karena tingkah lucunya.
Terlihat bahwa Jokowi cukup rajin menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ia seperti menggambarkan bahwa ia tidak hanya seorang kepala negara, tetapi juga seorang kakek yang dekat dengan cucunya. Berdasarkan penggambaran publik seperti ini, apa yang bisa ia dapatkan bagi langkahnya di Pilpres 2019?
Family Man
Pengambaran kedekatan Jokowi dan Jan Ethes dapat dimaknai dari berbagai sisi. Salah satu yang mengemuka dari relasi antara kakek dan cucu ini adalah gambaran bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu tergolong ke dalam family man.
Meski sekilas terdengar tidak berhubungan dengan politik, gambaran sebagai family man nyatanya cukup memberi pengaruh dalam dunia tersebut. Banyak politisi dari seluruh dunia yang mencoba untuk menunjukkan dirinya sebagai sosok yang dekat dan mencintai negara.
Menurut Lewis L. Gould dari University of Texas at Austin, Presiden AS Theodore Roosevelt merupakan orang pertama yang menggunakan keluarga secara sadar untuk meningkatkan daya tarik personalnya. Boleh jadi, sejak saat itu, gambaran sebagai family man menjadi sangat penting bagi seorang politisi.
Beberapa tahun setelahnya misalnya, Barack Obama melakukan hal tersebut, di mana seluruh anggota keluarganya tampak hadir dan memberi dukungan pada karier politiknya. Padahal, presiden kulit hitam pertama AS tersebut termasuk jarang menunjukkan keluarganya sebelum kampanye.
Hal serupa berlaku pada kampanye Hillary Clinton beberapa waktu lalu. Dalam sebuah video kampanye berjudul family strong, Hillary menekankan pentingnya kekuatan keluarga dengan menunjukkan kedekatan keluarganya sendiri.
Menurut Ron Faucheux, seorang profesor dan ahli kampanye politik dari George Washington University, ketika seorang kandidat menunjukkan kedekatan dengan keluarganya, ada sesuatu yang ingin dituju. Menurutnya, hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan sisi humanis, nilai-nilai keluarga, dan kehangatan dari kandidat tersebut.
Faucheux menambahkan, langkah tersebut dilakukan untuk menekankan kepada publik bahwa mereka memiliki pernikahan yang baik. Secara khusus, para kandidat juga bisa saja ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki keluarga yang bahagia.
Jokowi tampaknya melakukan hal serupa dengan pemimpin-pemimpin tersebut. Tak hanya Jokowi dan Jan Ethes, kamera-kamera milik media dan masyarakat juga kerap menangkap penggambaran kedekatan sang presiden dengan anggota keluarganya yang lain.
Dengan banyak menunjukkan kedekatan bersama Jan Ethes, ia bisa mendapatkan citra diri sebagai sosok yang memiliki sisi humanis, punya nilai-nilai keluarga, dan juga hangat. Ia tidak hanya dipandang sebagai seorang kepala negara dengan berbagai formalitasnya, tetapi juga sebagai seorang kakek yang mencintai cucunya.
Dua cucu Mbah Owi @jokowi , Jan Ethes dan Sedah Mirah Nasution , jd bintang dlm keluarga Pak Jokowi dan Bu Iriana #JokowiBersamaCucu pic.twitter.com/FUnNUR6yYT
— ANDRE J.O SUMUAL #TJ (@andreOPA) October 21, 2018
Jika dilihat dari konteks Pilpres 2019, penggambaran citra family man ini tergolong kontras jika dibandingkan dengan penantangnya, Prabowo Subianto. Tak seperti Jokowi, Prabowo tidak memiliki keluarga yang utuh, sehingga tidak dapat memainkan citra sebagai seorang family man.
Berdasarkan kondisi tersebut, Prabowo boleh jadi tidak semudah Jokowi untuk menunjukkan sisi humanis, kekeluargaan, dan juga hangatnya keluarga. Mantan Danjen Kopassus ini tidak dapat mengirim pesan bahwa dirinya sosok yang memiliki pernikahan yang baik dan keluarga yang bahagia.
Secara umum, menurut Stephen D. Johnson dan Joseph B. Tamney, nilai-nilai tradisional keluarga memiliki peran yang lebih besar ketimbang perkara sosial ekonomi dalam konteks kepala negara. Kala itu, Johnson tengah menilai nilai-nilai keluarga terkait dengan kepemimpinan Preisden Bill Clinton di AS.
Merujuk pada hasil penelitian tersebut, bukan tidak mungkin kondisi serupa berlaku di Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut, menunjukkan kedekatan antara Jokowi dan Jan Ethes bisa saja memiliki konsekuensi secara elektoral.
Dekat dengan Anak-anak
Selain penggambaran citra sebagai seorang family man, kedekatan Jokowi dan Jan Ethes juga dapat memiliki makna yang lain. Terlihat bahwa ada unsur anak-anak yang lekat dengan Jokowi dalam usahanya menimbulkan gambaran publik tentang dirinya.
Secara umum, politisi memang tergolong gemar menggunakan anak-anak terutama bayi dalam kampanye politik mereka. Barangkali, sudah tak terhitung politisi di seluruh dunia yang mencium bayi saat melakukan kampanye. Hal ini juga berlaku dalam konteks politik Indonesia.
Jika kandidat tersebut memiliki bayi atau balita di keluarganya, sangat umum jika anak-anak tersebut diperkenalkan kepada publik. Jika ia tidak memiliki anak kecil di keluarganya, maka ia akan menggunakan anak lain dalam kampanye politiknya.
Salah satu momen pembeda dalam penggunaan anak-anak saat berkampanye adalah iklan kampanye Lyndon B. Johnson pada Pilpres di AS pada tahun 1964. Meski tidak serupa dengan penggunaan anak-anak di kampanye masa kini, iklan yang dikenal sebagai Daisy ini tetap diingat sebagai salah satu kampanye dengan anak-anak paling berpengaruh.
Memang, kampanye Daisy ala Johnson ini banyak menimbulkan kontroversi karena menggambarkan anak kecil dan ledakan nuklir. Ada gambaran bahwa jika masyarakat tidak memilihnya, ada bahaya besar berupa kehancuran seperti ledakan nuklir tersebut. Terlepas dari kondisi tersebut, nyatanya kampanye dengan anak-anak tersebut berhasil memberikan kemenangan baginya.
Jika dilihat dari maraknya interaksi anak-anak dengan politisi dalam kampanye, boleh jadi ada maksud dari penggambaran relasi tersebut. Menurut Kinsey, anak-anak adalah kendaraan yang efektif untuk menyampaikan pesan karena kepolosan mereka adalah sumber dari kredibilitas dan juga memiliki daya tarik pada rasa kasih sayang dan naluri orang tua para penonton.
Dalam kampanye politik, Susan A. Sherr memiliki pendapat mengenai makna simbol anak-anak. Ada beberapa hal yang dapat disimbolisasikan, di antaranya ketidakamanan ekonomi, kemiskinan, kejahatan, perang, dan juga harapan untuk masa depan.
Menurut Sherr, dalam kampanye politik, anak-anak dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa jika pemilih memilih kandidat lawannya, maka akan ada kehancuran yang menimpa anak tersebut dan juga seluruh negeri.
Jokowi belakangan kerap hadir dengan sang cucu, kenapa ya? Share on XDalam penggambaran yang lebih positif, menurut Sherr, anak-anak yang dihadirkan dalam kampanye dapat menggambarkan janji kesetiaan dan juga menyampaikan sentimen patriotik dan penuh harapan.
Bisa saja, ada simbol yang ingin ditunjukkan melalui gambaran kedekatan Jokowi dan Jan Ethes. Jika merujuk pada kondisi Indonesia saat ini, boleh jadi, pesan yang digambarkan bukanlah pesan serupa yang Johnson kirim melalui iklan Daisy. Indonesia saat ini tidak sedang menghadapi ancaman perang dan ledakan nuklir seperti AS di periode tersebut.
Meski begitu, kedekatan Jokowi dan Jan Ethes juga tidak bisa sepenuhnya dianggap tanpa makna. Jika merujuk pada Sherr, Jokowi bisa saja mendapat untung karena seperti tengah mengirim pesan tentang kesetiaan, patriotisme, dan juga harapan yang cerah di masa yang akan datang.
Berdasarkan kondisi tersebut, kedekatan Jokowi dan Jan Ethes dapat dikatakan memiliki konsekuensi khusus secara elektoral jelang Pilpres 2019. Hal ini tentu dengan syarat, aspek-aspek lain yang bersifat programatik tidak luput dari perhatiannya. (H33)