HomeNalar PolitikJalan TGB Menuju Istana

Jalan TGB Menuju Istana

Tuan Guru Bajang (TGB) tengah hangat dibicarakan untuk bertarung dalam Pilpres 2019.


PinterPolitik.com

[dropcap]T[/dropcap]idak pernah diperhitungkan, nama M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) tiba-tiba muncul di permukaan. Baik media sosial maupun media massa perlahan memberi perhatian pada Gubernur NTB ini. Beberapa kalangan tengah mempertimbangkan namanya untuk menjadi peserta pada gelaran Pilpres 2019 nanti.

Lihat saja saat TGB melakukan kunjungan ke Makassar beberapa waktu lalu. Beberapa orang tidak ragu untuk mendeklarasikan diri menjadi relawan bagi kader Partai Demokrat tersebut. Hal ini menjadi bukti namanya kian seksi menjelang pesta demokrasi nanti.

TGB sendiri saat ini masih belum menunjukkan sikap yang pasti. Sejauh ini, ia lebih banyak terlihat tersanjung dan bersyukur saat ditanya kesiapannya untuk menjadi kontestan di Pilpres 2019. Kondisi serupa berlaku pada partai-partai politik yang ada. Demokrat,  tempat TGB bernaung masih belum resmi memberi dukungan pada siapapun termasuk dirinya. Hal yang sama terjadi pada partai-partai lain.

Fenomena meroketnya nama TGB ini merupakan kondisi yang menarik. Beberapa orang menilai, ia memiliki modal yang mumpuni untuk menduduki kursi RI-1 atau RI-2. Sementara itu, beberapa pihak yang lain justru menganggap alumni Al Azhar, Kairo ini hanya melesat karena buzzer.

Merajut Karir Politik

TGB berasal dari keluarga yang cukup terpandang di NTB. Ia adalah pewaris darah ulama terpandang TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor) yang merupakan pendiri Nahdlatul Wathan (NW). NW sendiri dikenal sebagai ormas Islam terbesar di provinsi tersebut.

Kondisi ini menjadi modal tersendiri baginya dalam merajut karir di dunia politik. Memiliki garis keturunan ulama kharismatik NTB, membuat ia tidak harus banyak bekerja keras untuk mengenalkan diri di provinsi tersebut.

Jika melihat karir politiknya, TGB memiliki kaitan erat dengan Yusril Ihza Mahendra dan Partai Bulan Bintang (PBB). Di usia yang masih sangat muda, partai berhaluan Islam tersebut telah melirik TGB untuk menjadi salah satu kadernya. TGB pernah menjadi anggota DPR mewakili PBB pada tahun 2004.

Jalan TGB Menuju Istana

PBB juga mendorong anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut untuk menjadi Gubernur NTB. Awalnya, banyak pihak menyarankan agar ia menjadi wakil gubernur saja. Akan tetapi, Yusril justru meyakinkannya untuk menjadi orang nomor satu di provinsi tersebut hingga akhirnya benar-benar terpilih.

Yusril memang dikenal akrab dengan alumni Al Azhar Kairo tersebut. Bisa dibilang, Yusril menjadi salah satu orang yang mengarsiteki karir politik TGB. Jika Yusril tidak membuka jalan bagi TGB, bisa saja ia tidak pernah berkarir di dunia politik sama sekali.

Karir Gubernur NTB ini semakin tidak terbendung saat memutuskan pindah perahu dari PBB ke Demokrat. Berdasarkan kondisi ini, ada jasa Demokrat dalam perjalanan karir politik TGB. Demokrat terus memoles lulusan Al Azhar Kairo ini agar menjadi salah satu gubernur paling cemerlang di negeri ini. Di saat PBB tenggelam, Demokrat menjadi perahu yang mengantarkannya ke kursi NTB-1 untuk kedua kalinya.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Di Demokrat, ia pernah memegang jabatan penting. Di tingkat lokal, TGB pernah menjadi Ketua DPD Demokrat Provinsi NTB. Kiprahnya yang cukup baik membuatnya dilirik DPP untuk menjadi anggota Majelis Tinggi partai yang identik dengan warna biru tersebut.

TGB dan Sentimen Islam

Beberapa kalangan menilai TGB memiliki modal yang cukup mumpuni untuk bertarung pada Pilpres 2019 nanti. Salah satu senjata utamanya adalah pengalamannya menjadi pemimpin saat menjadi Gubernur NTB.

Tidak hanya  berpengalaman, kader Demokrat ini juga tergolong berprestasi. Ia pernah membawa provinsi yang dipimpinnya menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam kurun waktu 2014-2016. Ia juga pernah menaikkan daya saing NTB dari posisi 26 pada 2015 menjadi 19 pada 2016.

Selain itu, TGB juga dianggap paket sempurna untuk menjadi representasi massa Islam di Pilpres 2019. Ia merupakan tokoh dari ormas terkemuka di NTB, yaitu Nahdlatul Wathan (NW). Gubernur NTB ini juga paket komplet ulama sekaligus umara (pemimpin pemerintahan).  Di mata para pendukungnya, TGB juga disukai karena seorang hafizh atau penghapal Alquran.

Salah satu momen yang membuat namanya begitu terkenal di media sosial, adalah ketika terjadi insiden berbau etnis yang menimpanya di bandara. Kala itu, ia menjadi korban kata-kata berbau rasis dari seseorang. Akibat peristiwa itu, ia seolah menjadi simbol bagi perlawanan terhadap etnis tertentu. Namanya pun menjadi semakin harum bagi kelompok Muslim.

Meski begitu, banyak orang  yang menyangsikan kekuatan Gubernur NTB ini. Salah satu nada skeptis muncul dari kader Demokrat sendiri, yaitu Andi Arief. Menurutnya, meroketnya nama mantan kader PBB tersebut hanya bermodalkan buzzer saja.

Diprediksi, merebaknya TGB di berbagai media belakangan ini tidak lain hanya memanfaatkan sentimen identitas Islam saja. Gerilya orang yang mendukung TGB dapat dipandang sebagai luapan emosional kelompok Islam tertentu yang menginginkan pemimpin dengan identitas serupa. Gubernur NTB ini berada di momentum yang tepat, di kala kelompok tersebut tengah mencari sosok pemimpin.

Kondisi ini senada dengan penelitian Patrick J. Kenney dan Tom W. Rice dari University of Utah tentang momentum politik. Momentum ini menguntungkan bagi tokoh, mengikat publik, dan disebarkan oleh media. Berdasarkan kondisi tersebut, TGB tengah mendapatkan momentum yang baik di tengah menguatnya identitas politik Islam.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Saat kalangan Islam rindu akan pemimpin Muslim, sosoknya muncul ke permukaan. Kasus rasisme yang menimpanya, menambah sorotan publik kepadanya. Momentum ini semakin tidak terbendung melalui pembicaraan di media sosial sehingga namanya pun kian berkilau.

Jalan Berliku Menuju Istana

Menanjaknya nama TGB memang memukau banyak orang. Akan tetapi, jalannya menuju Istana diprediksi tidak akan benar-benar mudah. Ada faktor lain di luar kecintaan massa Islam yang berpengaruh pada suatu pemilihan.

Salah satu yang akan menyulitkannya adalah soal kendaraan yang akan membawanya ke Istana. Partai Demokrat, tempatnya bernaung saat ini, lebih banyak mengenalkan nama AHY sebagai pemimpin masa depan ketimbang dirinya.

Saat ini, di internal Demokrat, namanya dan AHY memang masuk bursa cawapres yang akan ditawarkan untuk Pilpres 2019. Akan tetapi, nama AHY disinyalir akan lebih didahulukan ketimbang mantan kader PBB tersebut. Ini terlihat dari kepercayaan yang diberikan pada AHY dengan menjadi Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat.

Secara rasional, langkah Demokrat mencalonkan AHY tergolong lebih realistis ketimbang TGB. Di berbagai survei, nama AHY selalu moncer baik untuk capres maupun cawapres. Hal ini berbeda dengan TGB yang di beberapa survei namanya bahkan masih belum disebut. Hanya satu kali saja ia unggul dari AHY, yaitu dalam survei yang dirilis Polcomm Institute. Sisanya, AHY selalu berada di atas dirinya.

Sejauh ini, massa riil TGB lebih banyak berasal dari kalangan Islam saja. Hal ini bisa saja menjadi ganjalan baginya untuk menarik perhatian kaum nasionalis. Kondisi ini bisa menyulitkannya jika harus berhadapan dengan kandidat lain.

Dibanding dengan AHY misalnya, TGB bisa saja sulit meraup massa kaum nasionalis. AHY dan Demokrat dengan citra Nasionalis-Relijius diprediksi lebih mudah mendapat suara ketimbang alumni Al Azhar Kairo tersebut.

Jika harus menggunakan identitas Islam sekalipun, TGB masih harus bersaing dengan nama-nama lain yang juga hangat dibicarakan untuk Pilpres nanti. Nama-nama seperti Muhaimin Iskandar (Cak Imin) atau Romahurmuziy (Romy) dianggap dapat menjadi magnet kuat yang mampu menyaingi TGB.

Hal ini berarti meski ia tergolong seksi untuk digandeng, identitasnya sebagai representasi kalangan Islamis masih bisa diisi oleh tokoh lain. Apalagi, tokoh-tokoh lain seperti Cak Imin atau Romy memiliki kekuatan tersendiri di partai masing-masing, karena menjabat sebagai ketua umum.

TGB memang tergolong rising star dalam dunia politik tanah air. Meski begitu, agar karirnya dapat terus melesat hingga ke Istana, ia sebaiknya melebarkan sayap terlebih dahulu. Identitas Islam yang masih begitu kuat didirinya, harus diperlebar agar dapat menjangkau kalangan lain, sehingga sinarnya yang tengah benderang tidak meredup. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...